"Kebohongan tidak selamanya buruk, bahkan kadang itu lebih baik daripada kejujuran."
🌞🌞🌞
Mentari mencengkram bajunya. Apa yang dikatakan Langit barusan? Dia tak mengerti untuk apa Langit melakukannya sampai harus pergi juga. Dia tak paham sama sekali. Apa karena merasa bersalah padanya? Mentari mengigit bibirnya, jika ada Bintang lalu kenapa?
Bintang juga mana mungkin akan bicara padanya setelah apa yang terjadi. Dimata Mentari, dia dan Bintang hanyalah sosok asing satu sama lain.
"Lo mau apa sih, Lang?"
"Gue mau jagain lo!" Langit mengucapkannya dengan sungguh-sungguh.
"Dari siapa? Bintang?"
"Iya, dia pasti mau deketin lo lagi."
"Terus kenapa?"
Mentari menahan sesuatu didadanya. Jika Bintang akan bicara lagi padanya bukannya bagus? Mentari bisa menjelaskan apa yang terjadi dan hubungan mereka akan membaik. Jadi kenapa? Apa salahnya?
"Cukup, ini masalah gue sama Bintang. Lo nggak perlu merasa bersalah. Gue bisa jaga diri dan lo sama sekali nggak bisa larang gue." Mentari menyerahkan handphone jadul kembali. Meski Langit tak mau menerimanya, Mentari tetap pada pendiriannya. Dia meletakkan handphonenya di samping Langit.
"Apa gue juga nggak boleh jadi manusia normal, Tar?"
"Hmm?"
"Gue nggak mau lo terluka lagi, gue nggak mau lo sakit hati lagi. Gue nggak mau lihat wajah lo murung karena si Bintang. Gue nggak bisa. Lo temen gue, temen gue paling tahu kondisi gue. Emang gue salah mau lindungin lo? Apa lo nggak bisa anggap gue sebagai temen lo?"
"Lang!"
"Gue juga mau kayak manusia lainnya. Bebas kemanapun, nggak perlu hidup dengan obat. Gue juga mau. Lo paling tahu kan, Tar?"
"Bisa nggak sih lo nurut?"
"Apa gue pernah nggak nurut, Tar?" Langit tersenyum sendu.
Mentari menutup wajahnya, dia tahu apa yang Langit rasakan. Namun ada hal yang Mentari tak bisa katakan.
"Janji satu hal sama gue, Lang. Kalau besok lo pingsan, lo harus pulang detik itu juga."
"Lo mau nolongin gue?"
"Setidaknya lo nggak akan penasaran lagi. Lo janji kan?" Mentari mengeluarkan jari kelingkingnya.
"Abang Langit yang ganteng ini janji." Langit menautkan jarinya.
Mentari tersenyum, setidaknya dia akan membuat Langit kapok. Jika besok saat dia pingsan dan membuat Mentari khawatir. Mentari tak akan segan-segan untuk memulangkan Langit secara paksa.
🌞🌞🌞
"Kenapa sih lo?" Afika menatap Mentari yang diam mengaduk makanannya.
"Gue kayaknya udah bikin hal buruk deh." Mentari tak berhenti memikirkan tindakannya kemarin.
Tentunya dia membuat sebuah alasan penuh kebohongan guna membantu Langit ikut camping. Permasalahan lainnya Abah mempercayakan Mentari untuk mengingatkan Langit meminum obatnya. Bahkan dari segala kondisi Langit harus Mentari pastikan. Itupun didukung mamanya sejak semalam.
"Apa? Lo habis curi barang?"
"Ck, bukan."
"Lo habis mukul orang?"
"Bukan juga."
"Terus? Apa?"
"Hah, gue habis bohong."
"Sama?"
"Orang, gue nggak bisa tenang sekarang."
"Ya, tapi kan. Bohong itu nggak selamanya salah. Selama itu berhasil baik lo nggak perlu merasa nggak tenang. Emangnya lo bohong soal apa? Lo bohong soal uang camping ya sama mama lo?"
Mentari melirik Afika, dia tak bisa mengatakan kebenarannya. Meski Afika temannya sekalipun. Rahasia Langit juga akan terungkap bila dia menceritakan keadaan sebenarnya. Dia tidak mau semua orang tahu nantinya.
"Mana mungkin gue berani bohong sama mama."
"Terus lo bohong apa, Tar?"
"Gue bohong harga minyak yang gue beli kemarin."
"Oh, kalau itu semua anak pasti pernah sih, Tar. Gue kemarin bohong ada biaya buat camping. Gue kayaknya lebih parah."
"Terus nyokap lo percaya?"
"Hehehe... Nggak sih. Soalnya nyokap gue telpon mama lo."
"Sabar ya!" Mentari menepuk pundak Afika.
Afika mendengus kesal, pertemanannya dengan Mentari sudah sampai di tahap para ibu mereka yang saling mengenal dengan baik. Bahkan ibunya Afika akan lebih percaya keluarga Mentari daripada anaknya sendiri.
"Eh, Tar!"
"Hmm?"
"Bintang nggak chat lo lagi?" Bisik Afika agar tak didengar orang lain.
"Nggak, buat apa?"
"Oh gitu."
"Ada apa? Jangan bilang lo masih ngerasa bersalah sama gue?"
"Gue cuma penasaran aja. Lagipula kalau sampai Bintang hubungin lo lagi entah itu bahas apa. Gue pasti pasang badan buat lo."
"Ya, makasih ya." Mentari tersenyum simpul.
"Yah, semoga aja nggak ada masalah lagi. Jujur aja sejak kejadian itu. Arez selalu chat gue. Tanya banyak hal sampai gue lebih merasa Arez perhatian kayak mau deketin gue dibanding dulu."
Mentari menatap Afika dengan wajah tak percaya. Nyatanya baik Arez maupun Afika masih berhubungan.
"Tapi, Tar. Gue sama sekali nggak merasa senang atau bahagia. Lo tahu kan, Arez udah punya pacar. Dia juga jadi begitu karena masalah Bintang. Gue bilang gini bukan buat lo semakin ingat kejadian waktu itu. Nggak. Gue cuma mau lo lebih banyak berteman dengan orang-orang yang lebih baik daripada Bintang. Mungkin ada konsekuensi kayak kemarin, tapi lo banyak punya pengalaman untuk menghadapinya. Kalau orang tulus pasti hasilnya juga bagus. Beda sama orang yang cuma manfaatin aja." Afika meremas kedua tangannya untuk menguatkan dirinya.
"Lo kenapa sih, Fik? Kayak bukan Afika."
"Soalnya lo cuma punya gue sama Langit kalau dia waras. Lo kan baik banget Tar, gue mau lo punya teman banyak."
"Fik, lo bukan temen gue. Lo sahabat gue. Kalau temen itu banyak, tapi kalau sahabat itu nggak bisa asal berteman."
"Tar, gue sahabat lo kan?"
"Iya, emangnya siapa lagi kalau bukan Afika?"
"Gue jadi lega lo masih anggap gue sahabat. Walaupun gue sering ejek lo jomblo lemes sekalipun. Lo masih setia sama gue."
"Apaan sih. Hari ini lo PMS ya?"
Afika menggeleng dan melepaskan pelukannya. Dia menatap Mentari lembut dan tersenyum penuh makna.
"Arez ngajak gue selingkuh, Tar."
"Hah?"
🌞🌞🌞
Salam ThunderCalp!🤗
Jangan lupa like, komen, dan share!
See you...
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Kaca ( END )
Teen FictionIni sebuah kisah tentang sebuah pendewasaan diri dari seorang anak yang memahami apa arti sebuah cinta.