"Yang paling cocok lo sama gue! Yang lain nggak akan cocok kalau bukan lo yang gue suka."
🌞🌞🌞
"Haciin..."
Mentari menatap Langit yang baru saja bersin, tidak mungkin Langit sakit disaat mereka baru berangkat. Sekarang Mentari sangat khawatir semua kebohongannya akan berakhir sia-sia.
"Lang, lo udah minum obat?"
"Hah? Udah, idung gue aja yang gatel."
Afika menguap dengan membawa tas yang sangat banyak ditangannya. Kali ini Mentari yakin bahwa temannya akan pergi untuk liburan menyenangkan bukan camping di alam bebas. Bahkan Afika membawa benda dari salah satu boyband favoritnya. Mentari tidak tahu namanya tapi yang jelas benda itu sangat mahal.
"Lo bawa apa itu?" Tunjuk Langit pada benda yang dibawa Afika.
"Lightstick!"
"Buat?"
"Hah, susah jelasinnya sama orang yang nggak suka K-Pop! Ini benda yang harus dibawa saat konser!"
Langit menyipit, benda ditangan Afika mirip dengan senter besar yang memancarkan cahaya keunguan. Dia tidak tahu untuk apa benda itu Afika beli tapi yang jelas Langit tidak mau untuk mencoba menyentuhnya. Jika terjatuh atau rusak, pasti Afika meminta ganti rugi yang amat banyak darinya.
"Lo mau konser atau mau camping?" Tanya Sadam melihat batang bawaan Afika.
"Kenapa? Lo aja bawaannya Wibu! Jaket apa itu? Norak!" Sindir Afika tidak mau kalah.
"Norak? Lo yang norak, bawa apaan lighting?"
"Lightstick! Lo budek?"
Mentari menutup telinganya dan mendorong Langit untuk menjauh dari pertarungan antara Suku K-Pop vs Suku Wibu! Tidak ada habisnya untuk mereka berdebat mungkin perlu waktu sampai sebuah hal mempersatukan mereka. Mentari tidak ingin ikut campur terlalu dalam. Dia masih sayang telinga, mulut, dan nyawanya.
"Lang, udah bawa semuanyakan? Ada selimut nggak? Lo bawa termos mini kan? Dimana obat lo?" Tanya Mentari bertubi-tubi.
"Ada semuanya, emak yang bawain sama masukin. Obat nya gue simpan di tas ini!" Langit menepuk tas kecil yang dibawanya.
"Beneran?"
"Iya!"
"Jaket lo mana? Disana nanti dingin, pakai sekarang aja. Gue tahu lo itu kuat tapi kalau soal dingin lo lemah. Pakai ya!"
Langit menahan senyuman dan memakai jaketnya dengan cepat. Padahal dia tidak merasa dingin sama sekali saat ini. Mentari sangat mengkhawatirkannya! Langit membuang wajahnya dan tersenyum lebar. Hatinya menjadi lebih hangat!
"Kenapa senyum-senyum?" Tanya Mentari memperhatikan.
"Ah, enggak. Itu gue lihat Afika sama Sadam, kayaknya kalau mereka jadian bakalan seru."
"Hah... Terus setiap hari ribut? Nggak deh, mending mereka nggak usah jadian ada. Bakalan susah!"
"Kenapa lo nggak suka? Mungkin mereka bakalan cocok, kita juga nggak tahu."
"Lo tahu darimana kalau mereka bakalan cocok?"
Bahkan Mentari tidak akan pernah bisa membayangkan kedua orang itu menjalin sebuah kisah asrama yang nyatanya mereka sering meributkan sesuatu yang bagi Mentari tidak perlu diributkan. Mereka hanya mengejek dan menghina satu sama lain. Untuk apa mereka menjalin asmara kalau begitu? Untuk apa mereka mengikat kata pacaran pada hubungan mereka jika setiap hari mereka akan bertengkar tanpa henti. Mentari tidak menyukai pertengkaran atau perdebatan aneh yang ada disekelilingnya. Tiap kali dia terus mendengarkan pasangan saling tuduh menuduh, saling mencerna, saling menipu, saling berbohong, saling membuat pasangan mereka marah. Untuk apa mereka menjalin hubungan kalau begitu?
"Sini gue kasih tahu! Lihat itu Lilis sama Haikal, mereka cocok satu sama lain." Tunjuk Langit pada Lilis yang berbicara pada Haikal.
Mentari masih ragu dengan pendapat sok tahu Langit. Dia masih belum bisa menemukan kecocokan diantara mereka. Cocok darimana?
"Riyani, Arya!" Tunjuk Langit lagi pada teman lainnya.
"Ck, masa sih?" Mentari menjadi sangat ragu. Mereka tidak terlihat cocok tapi mereka sering terlihat bersama.
Mungkin saja mereka memang pacaran dan Langit tahu akan hal itu.
"Terus siapa?" Tanya Mentari.
"Lo sama gue!"
"Hah?" Mentari terpaku beberapa saat melihat Langit yang tersenyum cerah padanya.
Dia tidak salah mendengarnya, Langit memang mengatakan kalimat seperti itu. Dihadapannya masih Langit tapi dia merasa anak laki-laki ini tidak seperti biasanya.
"Heh... Sana jauh-jauh dari gue!" Mentari memukul tubuh Langit.
"Auhhh... Sakit, Tar!"
"Rasain!"
"Tar, dada gue Tar!" Langit memegangi jantungnya tiba-tiba.
"Apa Lang? Lo sakit?" Mentari menghentikan aksinya dan melihat keadaan Langit yang terus memegangi dadanya.
"Dada gue penuh sama lo, Tar!" Langit membuat sebuah hati kecil yang biasa Afika lakukan.
"Nggak lucu! Ah, Langit!"
"Hahaha... Lo khawatir banget sama gue. Kenapa? Lo sayang banget sama gue ya?"
"Abah titipin lo sama gue! Gue nggak khawatir sama lo, gua cuma jaga pesen Abah. Gue males sama lo!" Mentari membawa barangnya dan masuk ke dalam bis besar yang mengantarkan mereka pergi.
"Kok marah? Abang Langit cuma bercanda Dedek Tari. Ayo, dong jangan marah! Nanti cantiknya ilang lho!" Langit membawa barang-barangnya dan mengikuti langkah Mentari memasuki bis.
"Diem atau gue pukul ya, Lang!"
"Pukulan cinta boleh sih!"
"Sana!"
"Aduh, marah tambah cantik aja! Hahaha..."
Bintang terdiam melihat Mentari dan Langit yang saling berbicara dengan sangat akrab. Dia menatap mereka sejak awal. Kenapa mereka begitu dekat? Bintang tahu mereka adalah teman tapi kenapa Langit terus menggoda Mentari di depan matanya?
"Bin, ayo masuk!" Ajak Haikal pada Bintang yang diam di luar bis.
"Iya!"
Sejauh apapun Bintang menghindarinya semuanya terjadi di hadapannya tanpa bisa dia cegah. Bintang mencengkram tas miliknya dan masuk ke dalam bis. Dia benar-benar kesal pada segala hal yang terjadi hari ini.
🌞🌞🌞
Salam ThunderCalp!🤗
Langit adalah kang modus🤭
Jangan lupa like, komen, dan share!
See you...
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Kaca ( END )
Teen FictionIni sebuah kisah tentang sebuah pendewasaan diri dari seorang anak yang memahami apa arti sebuah cinta.