"Perasaan orang mana ada yang tahu!"
🌞🌞🌞
"Tahu darimana lo?"
Jantung Langit tak bisa tak berdetak lebih cepat. Tangannya merasakan keringat yang berlebih. Dia merasa gelisah setelah tahu Afika mengatakan ini.
"Gue nggak sengaja lihat foto dikamarnya. Itu foto lo kan sama Mentari waktu kecil? Tiap kali dia lihat lo jalan sama mantan lo, dia sedih Lang. Gue kira itu perasaan seorang teman aja. Ternyata gue salah, anak itu suka sama seorang bernama Langit. Gue nggak tahu Mentari sadar atau nggak. Tapi gue bisa lihat gimana dia selama ini."
Langit terdiam memikirkan kelakuannya sering mengajak Mentari menemaninya membeli hadiah untuk mantannya. Bahkan sering malah. Apa selama ini dia salah? Tentu saja. Tapi mungkin hanya asumsi dari seorang Afika yang sok tahu. Foto juga apa? Dia tak pernah foto bersama Mentari. Bahkan dia tak ingat betul waktu kecilnya. Mungkin Afika salah lihat saja.
"Gue harap lo jangan masalahin ini. Toh lo nggak suka sama Mentari kan?"
Langit masih diam tak mau menjawab.
"Gue pulang dulu, awas lo ganggu mereka. Lo masih gue awasi."
Afika pergi meninggalkan Langit yang masih terpaku ditempat. Dia tak tahu jika Mentari menyukainya dulu. Apakah sekarang hatinya telah berubah? Tapi sejak kapan? Dia tak pernah tahu. Dia selalu melihat Mentari cuek padanya dan selalu menghindarinya. Meski mereka tetangga meski mereka berteman dan sering bertemu. Mereka tak banyak bicara satu sama lain.
"Sial."
🌞🌞🌞
Mentari menenteng helmnya, dia sudah siap untuk pergi bersama Bintang. Hari ini dia minta pendapat Afika untuk pakaiannya. Dia memilih memakai celana agar mudah saat mengendarai motor Bintang. Berdandan sedikit agar tidak pucat dan menggerai rambutnya. Dia membawa ikat rambut juga saat dia merasa gerah nanti. Semua ini adalah usul Afika.
"Tar!"
Bintang memanggil Mentari. Dia memperhatikan Mentari dari atas ke bawah. Ada yang berbeda tentu saja.
"Mau mampir dulu nggak?"
"Hmm, nanti aja. Ayo." Bintang menunduk dan memperhatikan jalanan depan.
"Oke. Ada apa Bin?"
"Kamu beda."
"Iya, nggak bagus ya? Malu-maluin nggak?"
Mentari tak nyaman sebenarnya tapi dia juga tidak mau membuat Bintang malu dengan penampilannya. Terutama ketika melihat penampilan Bintang yang selalu enak dipandang. Dia ingin sedikit berbeda dari biasanya.
"Kamu cantik, Tar."
Degg...
Jantung Mentari berdebar-debar, Bintang memujinya cantik. Cantik! Kata mujarab membuat hatinya aneh tak karuan. Sepanjang jalan dia hanya diam. Mulutnya kelu saat ingin bicara. Dia begitu gugup hari ini entah kenapa.
"Tar?"
"I-iya."
"Saya kira kamu tidur."
"Mana mungkin sih."
"Kalau kita makan aja gimana?"
"Boleh. Kemana?"
"Pegangan Tar. Ada tempat bagus."
Mentari berdehem dan memegangi jaket Bintang erat. Mereka menghabiskan waktu 30 menit untuk sampai disebuah restoran di sebuah bukit. Mentari terpaku dan melihat matahari yang hampir tenggelam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Kaca ( END )
Teen FictionIni sebuah kisah tentang sebuah pendewasaan diri dari seorang anak yang memahami apa arti sebuah cinta.