1

32K 1.1K 3
                                    

Hari yang dinantikan oleh sepasang suami istri yang sudah bertahun-tahun menanti berkat dari Tuhan, yaitu seorang anak kecil demi melengkapi keluarga mereka.

Bukannya menghadirkan sukacita bagi setiap orang yang menunggunya, hari itu malah menjadi hari yang paling menyakitkan dan awal dari kehancuran keluarga kecil itu.

"Ooeekk oeekkk" suara tangis pertama dari bayi itu, menghantar kepergian seorang wanita yang melahirkannya.

"APA MAKSUDMU?!! SELAMATKAN ISTRIKU DASAR TIDAK BECUS" teriak seorang pria yang sedang menolak kenyataan, dia adalah Telerdo ayah bayi yang baru lahir itu.

Dalam kehidupan pasti ada kelahiran dan kematian, tinggal dari diri kita sendiri yang akan menerima kenyataan atau malah menyalahkan orang lain agar luka yang kita rasakan sedikit berkurang. Kata dewa kematian pada dewi kehidupan "mereka menganggap kamu sebagai kehidupan yang manis tapi palsu, dan aku sebagai kematian yang menyakitkan tapi nyata" begitulah kira-kira.

"Maaf Tuan Erdo, tapi nyawa Nyonya Lillie sudah tidak bisa diselamatkan lagi" kata dokter yang menangani persalinan tadi.

"TIDAK!! HARUSNYA BAYI SIALAN ITU YANG PERGI, BUKAN ISTRIKU. DIA TIDAK PANTAS HIDUP SETELAH MERENGUT SATU NYAWA" kata Telerdo ingin merebut bayi mungil itu dari rengkuhan seorang suster muda yang sedang bertugas.

"Tenanglah Erdo, aku tau kamu belum bisa menerima kepergian Lilie. Tpi Lilie akan sangat sedih jika kau berperilaku seperti ini" kata Mory selaku teman Lilie dan Telerdo mencoba menahan. Dalam sekejap Telerdo akhirnya tenang, walaupun dalam hatinya dia sedang memaki bayi mungil itu.

Hari pemakaman sedang berlangsung, bayi mungil itu sedang dalam pelukan Mory yang sedang menangis. Sedangkan ayah dari bayi itu hanya terdiam, melihat peti mati yang sedang dimasukkan ke dalam tanah basah. Betapa marahnya Telerdo melihat istri tercintanya dimasukkan ke dalam tanah kotor itu, dia tidak bisa menahan amarahnya lagi.

Dengan cepat Telerdo berjalan ke arah Mory ingin meraih bayi itu, namun dengan cepat ditahan oleh ayahnya yaitu Dordioz.

"Jangan bertingkah Erdo, ayah sudah muak melihat kelakuanmu. Ayah pikir kau sudah berubah, ternyata itu hanya kedok agar Lilie tahan bersamamu" ucap Dordioz mencela.

"Aku bisa menahan diri didepan orang yang kucintai, tapi tidak didepan pembunuh itu" balas Telerdo.

"Bagaimana bisa kamu menyebut bayi mungil itu pembunuh? Dimana akal sehatmu" kata Emerald yang sudah tidak tahan dengan pertengkaran suami dan anaknya.

"Ibu tidak perlu membela pembunuh itu, harusnya aku setuju dengan dokter untuk tidak memaksa Lilie mengandung. Karena pada akhirnya hanya bayi pembunuh itu yang ada."

Satu tamparan mendarat dipipi Telerdo, dengan keras Emerald menampar Telerdo karena tidak menyangka perkataan anaknya yang menyakitkan.

"Ibu dan ayah tidak pernah mendidikmu menjadi manusia yang tidak punya hati, tapi entah darimana datangnya sifat buruk itu. Ibu akan memastikan kau menjaga anak ini, sesuai kemauan Lilie dan tidak ada penolakan" ucap Emerald lalu menarik suaminya serta Mory pulang ke rumah, meninggalkan Telerdo sendiri.

Sesampainya mereka dikediaman Aeroze, Mory menyerahkan bayi itu pada Emerald. Karena sebentar lagi Mory harus melaksanakan perjalanan bisnis, dia tidak bisa tinggal lebih lama untuk menemani bayi itu.

"Apa dia akan baik-baik saja Aunt? Erdo bahkan belum memberinya nama. Aku sangat sedih."

Mory mengkhawatirkan nasib bayi itu.

"Tenang saja, aku akan menjaganya. Dan juga Lilie pernah memberikan beberapa nama, dan aku sudah menemukan salah satunya. Fidellia Aeroze, nama yang cantik dan cocok untuk cucuku."

Senyum tipis hadir diwajah Emerald yang sudah menua, diikuti senyum dari Mory yang merasa jika Fidellia akan selalu bahagia dimasa depan.

Malam dingin dan sunyi telah tiba, Telerdo pulang ke rumah dengan keadaan mabuk. Memaki setiap hal yang dilihatnya, bahkan terus meneriaki nama istrinya yang sudah tiada.

Kedua orang tuanya yang sedang menunggu, hanya bisa pasrah dan menyuruh beberapa pengawal untuk membawa Telerdo ke kamarnya.

Pagi diawali dengan hujan, Telerdo dan Dordioz sudah pergi ke kantor. Sedangkan Emerald memandangi cucu perempuan yang ada dalam dekapannya dengan tatapan teduh. Bayi kecil itu tidak menangis lama, hanya beberapa isakan lalu diam saat diberi susu.

"Nenek akan menjagamu hingga dewasa sayang, hanya satu harapan nenek yaitu kamu bisa hidup bahagia dimasa depan. Nenek yakin ayahmu menyayangimu, namun kesedihan sedang mengukungnya saat ini."

Perlahan Emerald membaringkan Fidellia dikasurnya, lalu membalutkan selimut kecil agar Fidellia tidak kedinginan.

5 tahun berlalu, kehidupannya masih sama. Ditelantarkan oleh ayahnya, cinta pertamanya yang malah membiarkannya.

"Aunty, ayah nda suka sama Dell ya? Ayah nda pelnah peluk Dell ato cium Dell."

Mory memandang keponakannya dengan tatapan sedih yang tidak bisa disembunyikannya, sembari mengelus kepala anak itu.

"Kata siapa hm? Ayah cuma sibuk bekerja mencari uang, supaya kamu bisa makan dan sekolah seperti anak-anak yang lain."

"Tapi emm ayah nda mau lihat Dell, nda mau deket-deket juga."

"Sstttt udah sayang jangan berpikir seperti itu, ayah cuma lelah. Kamu juga punya Aunty yang jagain kamu, jadi jangan sedih ya?"

"Eum iya Aunty, maafin Dell ya."

"Tidak apa-apa, kamu bisa bertanya banyak hal sama Aunty. Karena Aunty sayang kamu."

Perlahan Fidellia mengangguk membenarkan perkataan Mory, mungkin benar ayahnya sibuk jadi tidak bisa bermain dengannya.

Tak lama setelah itu, suara mobil berbunyi. Fidellia yang sudah hafal dengan suara mobil ayahnya langsung cepat berlari keluar, berniat menyambut ayahnya.

Namun yang didapatinya malah ayahnya sedang menggendong seorang anak kecil yang lebih tua darinya, dan seorang wanita yang sedang menggandeng lengan ayahnya.

Mory yang melihat pemandangan didepannya itu hanya bisa menahan amarah, dan berusaha menenangkan diri.

Telerdo, Annata dan anak kecil yang bernama Sharon itu masuk ke dalam rumah, mengabaikan kehadiran Fidellia dan Mory.

"Apa maksud dari semua ini Erdo? Apa otakmu masih waras?" Mory membuka suaranya.

"Aku melakukan apa memangnya?" Balas Telerdo sembari duduk memangku Sharon diikuti Annata yang duduk disebelahnya.

"Dell masuk ke kamarmu. Ada yang harus Aunty bicarakan dengan ayahmu" ucap Mory, dan dengan cepat Dell masuk ke dalam kamarnya.

"Kau membawa wanita lain ke rumah milikmu dan Lilie, bahkan membawa anak orang lain sedangkan kau menelantarkan anak kandungmu sendiri."

Dengan amarah, Mory menunjuk Telerdo dengan telunjuknya dan menatapnya dengan sinis.

"Ini rumahku, bukan rumahmu. Jadi tau diri sedikit Mory. Aku mengizinkanmu tinggal disini untuk menjaga anak sialan itu, bukan untuk mengatur kehidupanku."

"Lalu kau bangga menjaga anak orang lain sedangkan anakmu sendiri tidak pernah kau pikirkan?"

"Sstttt urus dirimu sendiri, kau sudah terlalu tua untuk hidup sendiri tanpa pasangan hingga mencampuri rumah tanggaku. Lagipula ibu dan ayahku sudah setuju Annata tinggal disini selagi aku bisa mengurus anak sialan itu."

"Perkataan sampahmu tidak dapat dipercaya" ucap Mory yang sudah tidak tahan.

"Atur barang-barangmu dan keluar dari sini, kau bisa berkunjung kapan-kapan. Dan berhenti mengurusi hidupku, aku akan menjaga anak itu tanpa perlu perintah darimu."

Dengan amarah Mory pergi ke kamarnya lalu membereskan barang miliknya. Betapa keterlaluannya Telerdo, mempermalukannya didepan wanita busuk itu. Mory tidak akan tinggal diam jika sesuatu terjadi pada keponakannya itu.

Setelah berpaminat pada Fidellia dengan alasan pekerjaan, Mory pergi akhirnya pergi dari rumah itu. Telerdo menyuruh istri keduanya itu dan anak tirinya untuk pergi ke kamar mereka masing-masing. Sedangkan gadis kecil yang sedang berada didalam kamarnya, hanya bisa memikirkan hari depan yang sepertinya tidak akan menyenangkan.

Meet My King [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang