❝Hidup itu penuh kejutan, nak. Dan dunia nggak pernah nunggu kamu siap untuk nerima semua candaannya.❞
***
Ini tentang sepasang remaja yang berusaha berdamai dengan alur hidupnya.
Sabian Pram Kendrick, remaja yang harus kehilangan sosok ayahnya dan...
Usai sudah jam istirahat pertama, para siswa-siswi pun kembali ke kelasnya masing-masing. Bian yang sedari awal terburu-buru berangkat ke sekolah, akhirnya kembali menggeledah tasnya untuk mencari keberadaan buku pelajaran bahasa Indonesia miliknya. Namun malang nasibnya, buku itu sepertinya tertinggal di meja belajar tepat setelah semalam ia mengerjakan tugasnya.
"Tugas yang kemarin Ibu berikan kumpulkan di meja tugas ya, yang tidak mengerjakan, silahkan maju kedepan!" Seru bu Tiyas kepada seluruh siswa/siswi kelas dua belas IPA dua.
Melihat raut wajah sang sahabat karib yang nampak kembali kacau, Harsa lantas menepuk pundak sahabatnya. Ia paham jika Bian melupakan 'lagi' tugas sekolahnya. Meskipun ia tak tau pasti bagaimana kejadian itu terjadi.
Harsa lantas menyimpan kembali buku yang hendak ia kumpul, lalu mengajak Bian untuk maju kedepan bersama.
"Lo nggak ngerjain juga, Sa?" tanya Bian dengan raut wajah bingung. Rasanya baru saja ia melihat Harsa hendak melangkahkan kakinya mengumpulkan tugas sekolahnya. Tapi kenapa Harsa kini justru merangkul nya untuk maju kedepan bersama?
"Gua tau lo nggak ngerjain, udah deh, gak usah terlalu di pikirin. Anggep aja jamkos bonusan." Ujar Harsa sembari menepuk bahu sosok yang ia rangkul.
"Harsa, Bian, kalian ga mengerjakan lagi?" Gertak seorang tenaga pengajar wanita yang dibalas dengan anggukan kepala kompak dari kedua putra didiknya.
"Bian, kamu itu anak berprestasi lho. Jangan terus-terusan ga ngerjain tugas gini nak, sayang sekali rasanya kalau sampai nilai rapor mu turun." Nasehat Bu Tiyas kembali berkumandang menembus gendang telinga dua pemuda yang berdiri tertunduk bak tersangka pelaku kejahatan. Bian rasanya ingin sekali memukul dirinya sendiri, atas kekacauan yang ia sebabkan dalam hidupnya sendiri. Bahkan kini ia turut membawa Harsa kedalamnya, sahabat karibnya sendiri. Sungguh ia membenci keteledoran seperti ini.
"Maaf, Bu." Ungkap Bian atas rasa bersalahnya, begitu juga Harsa yang turut mengungkapkan rasa bersalahnya, meskipun hanya sebuah rekayasa.
"Ya sudah, seperti yang sudah di sepakati di awal masa pembelajaran. Kalian keluar kelas sampai jam mata pelajaran ibu selesai. Ibu harap kalian tidak mengulanginya lagi." Bian dan Harsa hanya mengangguk mengiyakan segala cecaran guru bahasa Indonesia itu, sembari melangkahkan kakinya meninggalkan kelas untuk yang kedua kalinya bagi Bian hari ini.
"Bi, lu kenapa sih? Pagi pagi gini udah kusut aja muka lu, kalo ada apa apa tuh cerita ... Biar gue ada gunanya jadi temen lo." masih dengan suasana hujan rintik-rintik, dua pemuda selisih tiga bulan itu duduk termenung pada bangku panjang tepat di teras kelas.
Untuk saat ini, bukan Bian tak ingin menceritakan hal mengganjal dalam hatinya. Hanya saja, ia tak ingin di anggap konyol oleh sahabatnya sendiri. Bian paham betul sosok seorang Harsa yang begitu menyepelekan masalah cinta. Bian bukan tak sadar bahwa apa yang baru saja terjadi pada hubungan nya dengan Tara kekasihnya adalah hal yang tak bisa ia wajarkan. Namun bisa apa Bian jika hatinya tetap bersemi dikala teringat sosok pujaan hatinya.
"Soal Tara? Asal lo tau, kemaren gua liat dia ke minimarket berdua sama si Mahen." Cetusan Harsa yang di balas tatapan sinis dari sang kekasih yang tersulut emosi nya.
"Nggak usah nyiram minyak tanah di lahan terbuka, Sa..." ujar Bian berusaha menenangkan dirinya. Bagaimana tak tersulut? Saat situasi bahkan belum kondusif, Harsa kembali menambah informasi yang cukup membuat dadanya kembali terasa sesak. Membuat sang empu bahkan bertanya, apakah sesakit ini terluka karna cinta?
"Gue bukan mau menyulut api, Bi. Gue cuma mau lo buka mata sedikit aja. Berapa banyak sakit yang lo tahan selama bareng sama Tara? Apa harus gua ingetin kejadian minggu lalu? Atau gue harus buatin jurnal kegalauan lo selama hampir setahun ini?" tegas Harsa tak ingin perbincangan ini menuju pada arah keributan tak bermakna, apa yang Harsa tuturkan memang ada benarnya.
Bian seringkali mengorbankan dirinya sendiri untuk sang kekasih, namun Tara seakan terus membalasnya dengan luka dan rasa sakit baru. Meski begitu, tetap Tara lah yang menjadi obat dari segala perih, pedihnya hidup yang Bian alami.
Tepat Minggu lalu...
"Tara!" seru Bian memanggil kekasihnya. Di pinggir danau buatan, tempat dimana ia berjanji menemui kekasihnya sepulang kerja paruh waktu. Tepat pada hari ini, sosok perempuan yang begitu Bian syukuri kehadirannya setelah sang Bunda, lahir ke dunia.
Merasa terpanggil, gadis tujuh belas tahun itu lantas berbalik lalu mendapati sang kekasih berdiri membawa sebuah rangkaian bunga mawar putih kesukaannya. Bian tau betul hal-hal kecil yang disukai wanitanya. Bahkan demi serangkai bunga mawar ini, ia harus rela menyisihkan uang part time nya demi menyenangkan hati kekasihnya.
Tara berlari menghampiri Bian, melebarkan tangan nya siap memeluk tubuh kokoh milik Bian. Namun bukannya berucap terima kasih atas apa yang telah Bian berikan, Tara hanya mengambil buket bunganya lalu berpamitan dengan alasan tugas kelompok malam ini. Bian benar benar membeku rasanya, selarut ini? Kerja kelompok? Rasanya begitu tak masuk akal. Tapi lagi-lagi Sabian hanya tersenyum lalu membiarkan kekasihnya pergi begitu saja. Dan benar saja, ternyata Tara tak benar-benar pergi mengerjakan tugas kelompok, melainkan pergi bersama seorang pria yang bahkan tak pernah ia tau siapa laki-laki itu sebenarnya.
Sekarang, Bian bisa benar-benar mendapatkan julukan bulol alias bucin tolol dari teman-temannya.
"Gua punya alasan buat nggak marah ke Tara." Ungkap Bian tertunduk menyadari betapa bodohnya ia di perbudak cinta. Pemuda ini sadar bahwa dirinya sudah jatuh terlalu dalam palung asmara. Namun bukankah itu yang seharusnya terjadi saat seorang tengah jatuh cinta? Sikap mati rasa ketika seorang yang dicintai memperlakukan sesuka hati, namun terus dibalas dengan mencintai sosoknya lagi dan lagi. Hingga tak ada satupun harapan, selain membuat sesuatu dalam hatinya puas akan hausnya rasa yang tak kunjung terobati.
"Karna lo nggak mau kehilangan? Iya?" tanya Harsa yang tak mendapat respon apapun dari lawan bicaranya.
"Apapun itu, jangan pernah nutupin sesuatu dari gua sama yang lain. Kita sahabat, dan gua nggak mau hubungan baik ini hancur gitu aja cuma karna kisah cinta yang konyol." tegas Harsa yang lagi-lagi membuat Bian cukup termenung.
Sebodoh itukah dirinya di tengah kepungan asmara? Sosok keras kepala yang kini tengah terpojok pada sudut redup tanpa tanda arah.
Entahlah, Bian hanya ingin menikmati setiap detik dalam hidup nya dengan sebaik-baiknya. Layaknya syair tulus dalam lagunya "kita tak pernah tau, berapa lama kita diberi waktu." Seperti itulah Bian ingin menikmati setiap tarikan nafasnya. Menikmati segalanya meskipun terkadang terasa perih dan kecewa dalam dirinya.
"Kisah cinta ini nggak konyol, Sa. Cuma butuh waktu untuk dimengerti," ucap Bian terputus. Ia cukup denial disaat-saat seperti ini. "Dan gua rasa, lu masih belum ngerti itu sampe sekarang." Sambungnya dengan suara yang lebih lirih dari sebelumnya.
Bersambung...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.