44. Lembaran Luka Lama

166 9 1
                                    

Setelah menyelesaikan pembayaran, Bian lantas bergegas keluar dari toko pernak-pernik tersebut lalu langsung menghampiri motor kesayangannya. Pemuda itu nampak begitu merona, wajahnya nampak berseri-seri menatap sebuah paper bag yang berisi kado untuk sang Bunda yang ia beli sendiri.

Setelah memakai helm dan membangunkan mesin motor yang akan ia bawa melaju pulang, Bian ingin mengaitkan paper bag berisi kado yang baru saja ia beli di stang sebelah kiri. Namun saat baru saja pemuda itu ingin melakukan kendaraan roda duanya, Bian memilih untuk mengambil kado yang ia beli dan ia masukkan kedalam tas ransel yang ia bawa. Alasannya sangat sederhana, Bian hanya ingin memastikan kadonya akan selamat sampai tujuan. Lalu setelah memastikan barang tersebut aman, Bian dengan senang hati melajukan kuda besinya untuk kembali pulang dan memberikan hadiahnya pada Bunda.

Langit Surabaya yang sebelumnya nampak masih begitu mentereng, kini sudah mulai meredup. Perpaduan warna jingga, sedikit merah muda dan keunguan nampak begitu cantik, membuat Bian semakin tersenyum lebar selama diperjalanan.

Seperti yang banyak orang ketahui, sore hari seperti ini adalah waktu-waktu padat di mana banyak orang berlalu-lalang menggunakan jalanan. Meskipun hari ini adalah akhir pekan, Bian tak bisa memungkiri bahwa jalanan masih sama ramainya dengan hati-hati biasanya. Sepertinya banyak orang yang memanfaatkan waktu liburnya untuk mengeksplor sudut-sudut kota.

Sampai di sebuah perempatan dengan lampu merah, Bian berhenti dan menunggu lampu tersebut memberi isyarat untuk kembali melajukan kendaraannya. Di tengah ramainya pemberhentian lampu merah tersebut, Bian sesekali melirik kue coklat yang ia beli untuk sang Bunda. Memastikan kue tersebut dalam posisi aman ia bawa berkendara sampai ke rumah. Dalam pemberhentian tersebut pula Bian mengingat kembali bagaimana ia berusaha menempatkan diri dalam hidup sang bunda, bukan hal yang mudah bagi remaja tujuh belas tahun tersebut beradaptasi dengan asingnya sosok sang Bunda dalam hidupnya, begitupun sebaliknya, dan Bian bersyukur semuanya sudah terlewati dengan akhir yang tak sia-sia.

Kalau diingat-ingat lagi, rasanya masa-masa tersebut berat sekali bagi dirinya, namun satu hal yang Bian syukuri, Tara pernah selalu ada di sisinya waktu itu. Sebuah kenangan indah yang rasanya tak mungkin terulang kembali, Bian hanya mampu menyimpannya dalam bayang-bayang memori indah dalam benaknya.

Seratus detik terlewati, Bian lantas bersiap melajukan motor miliknya menyebrangi perempatan jalan tersebut. Dengan kecepatan dalam batas wajar, Bian menyebrangi perempatan jalan tersebut, posisi jalan saat ia menyebrang pun dapat dibilang cukup sepi karna memang Bian berada di barisan cukup akhir dalam antrian lampu merah sebelumnya.

Semuanya berjalan lancar dan baik-baik saja, hingga tak sampai sepuluh detik kemudian sebuah mobil dari arah kanan melaju dengan kecepatan tinggi. Pajero Sport tersebut menabrak motor yang Bian kendarai begitu keras, menyeret Bian dan motor miliknya hingga beberapa meter jauhnya dari posisi awal Bian ditengah perempatan jalan tersebut. Hingga kurang lebih sepuluh meter jauhnya, Bian dan motor miliknya terhempas ke pinggiran jalan dan mobil tersebut melanjutkan perjalanannya dengan kecepatan tinggi tanpa rasa bersalah.

Pengguna jalan yang melihat langsung kejadian tersebut lantas ramai mengerumuni tubuh Bian yang sudah lemas dan tak berdaya. Benturan keras yang pemuda tersebut terima sudah cukup membuatnya tak mampu lagi memberi respon atas rasa sakitnya. Darah mulai mengalir dari kepalanya yang juga sempat terbentur trotoar. Dan tak lama, Bian menangkap sebuah cahaya begitu terang dari sebuah mobil ambulans yang hendak ia masuki.

Tubuhnya yang sudah terasa hancur, rasanya sakit sekali diangkat menaiki bangsal untuk dibawa masuk kedalam ambulans tersebut. Dari pelupuk matanya, beberapa air mata menetes. Tak banyak yang pemuda tersebut ingat tentang apa yang terjadi selanjutnya, hanya saja Bian ingat bagaimana aroma khas obat-obatan menguar menyapa rongga hidungnya selama berada diperjalan menuju rumah sakit, dan dengan begitu Bian tersenyum sesaat sebelum memejamkan kelopak matanya.

Biantara | Lee Jeno Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang