47. Bian, Tara, dan Kota Surabaya

147 7 2
                                    

Pagi-pagi sekali, bersamaan dengan suara adzan subuh yang masih berkumandang, Tara terbangun karna dering sebuah panggilan telepon yang ia terima dari kakak laki-lakinya.

"Assalamualaikum, Dek. Apa kabar?"

"Waalaikumsalam, kabar baik Mas. Kenapa tiba-tiba telepon Tara subuh hari begini?" Tanya Tara sembari mengucek kelopak matanya yang masih terasa berat. Namun bukannya jawaban yang ia terima, justru sebuah hembusan nafas yang terdengar begitu sesak ia terima.

"Mas?" panggil Tara mencoba memastikan apa yang sebenarnya membuat Mas Juan menelponnya pagi-pagi begini.

"Mas mau ngabarin kamu kalo..." Mas Juan terdiam sejenak memberi jarak untuk melanjutkan kalimatnya. "Bian udah nggak ada, Tar."

"HAH?!" Tara jelas kaget bukan main. "Apasih Mas, nggak lucu sama sekali. Kalau mau bujuk Tara pulang nggak gini caranya."

"Mas nggak lagi bohong, Tar. Terus satu lagi..." Lagi-lagi Juan memberi jarak untuk melanjutkan kalimatnya. Kali ini ia terdengar seperti sedang menarik nafas panjang.

"Papa lagi diproses buat kasus tabrak lari yang korbannya Bian."

Mendengar apa yang Mas Juan ucapkan, tangan Tara terasa lemas seketika. Ponsel pintar yang sedang ia genggam bahkan jatuh begitu saja.

Tara tak tahu harus memberi respon seperti apa sekarang. Pagi-pagi sekali, dan berita buruk sudah menyapa dirinya. Rasanya air mata pun sudah tak ada artinya sekarang.

Tanpa ia sadari, dalam hatinya Tara bergumam menyudutkan takdir semesta. Mempertahankan mengapa jalan hidupnya harus seburuk ini. Apa dirinya memang sehina itu di mata semesta? Hingga semua sumber kebahagiaannya harus diregut satu-persatu secara paksa?

Tak berselang lama, Eyang pun masuk ke kamar Tara. Bukan tanpa alasan, gadis itu ternyata tak sadar jika sudah menangis tersedu-sedu. Suaranya bahkan terdengar saat Eyang sedang menunaikan kewajiban sholat subuh di kamarnya.

"Tara... Cucu Eyang kenapa kok udah nangis begini subuh-subuh?"

Tak memberi jawaban apapun, Tara langsung berhambur memeluk tubuh Eyang yang masih berdiri tepat di depan ranjang miliknya. Dan pelukan itu dibalas dengan begitu hangat oleh Eyang.

Saat tengah berusaha memberikan ketenangan pada cucu perempuan satu-satunya, dari ekor matanya, Eyang justru menangkap sebuah ponsel dengan layar yang masih menyala, bahkan masih tersambung dengan panggilan suara. Menyadari bahwa bisa jadi panggilan tersebut adalah penyebab cucunya menangis tersedu-sedu, Eyang lalu segera mengambil ponsel pintar milik Tara. Sayangnya, belum sempat Eyang menanyakan apa yang terjadi sebenarnya panggilan tersebut sudah terputus lebih dulu.

Lalu tak lama setelah itu, sebuah notifikasi muncul di bagian atas ponsel Tara, dan tanpa ragu Eyang membuka notifikasi pesan tersebut saat menyadari bahwa Juan yang mengirimkan pesan-pesan tersebut.

Mas Juan : Bian udah dimakamin kemarin, Tar.

Mas Juan: Hari ini Mas bakal ngurus persidangannya Papa.

Mas Juan: Kalau memang bisa pulang, pulang ya dek?

Mas Juan: Mama butuh temen yang terus di sampingnya waktu nanti Mas sibuk sana-sini.

Mas Juan: Tapi kalau memang belum bisa pulang, Tara jaga diri baik-baik ya di sana.

Mas Juan: Mas sayang banget sama Tara.

Setelah membaca rentetan pesan tersebut, Eyang sedikit banyak paham betapa kacaunya Tara saat ini. Tangannya memberi usapan lembut pada pucuk kepala cucunya.

Biantara | Lee Jeno Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang