16. Mendung

76 6 0
                                        

Acara pensi berjalan dengan sangat baik. Selain penampilan nya yang memanjakan penonton, stand makanan serta photobooth juga sangat digemari.

Menjelang sore hari langit senja yang harusnya nampak cerah, justru tak bersahabat dengan acara yang tengah berlangsung.

Bian yang sedari tadi menikmati pentas seni dari lantai tiga gedung sekolah, mulai melengkungkan bibirnya kebawah. Binar matanya tak lagi cerah. Perasaan gelisah kembali menghantui dirinya. Teringat kembali kejadian yang menewaskan sang Ayah sore itu.

Senja hari yang dinaungi awan tebal adalah satu mimpi buruk bagi Bian. Bian benci hujan dan awan hitam, ia ketakutan. Saat dimana ia begitu menyalahkan dirinya sendiri, saat dimana ia harus kehilangan dan menjadi alasan dari kehilangan itu sendiri, meskipun sebenarnya bukan itu yang terjadi.

Bian mengepalkan tangannya, derup jantungnya berdebar. Ketakutan, kacau, resah, semua perasaan tak nyaman berkecambuk dalam dadanya. Bahkan bibirnya mulai tertekuk kedalam, ia jepit dengan deretan gigi rapih miliknya.

Bian beranjak dari tempatnya, berlari menuju ruang aula yang kasong lalu menutup erat kedua daun telinganya ketika suara rintikan hujan dan gemuruhnya mulai terdengar. Tubuhnya gemetar, kulitnya pun seketika memucat. Segala hal yang ada di hadapannya seakan mengancam. Kakinya yang tertekuk ia peluk sekuat tenaga saat ini. Bian kacau, rasa takutnya benar-benar menyelimutinya saat ini.

"Ayah..." lirih Bian memanggil sosok yang biasa ia peluk ketika dirinya hancur.

***

Melihat cuaca yang mulai tak bersahabat, para panitia memutuskan untuk mengistirahatkan sejenak acara yang tengah berlangsung. Pertimbangannya adalah kabel-kabel yang terhubung rawan terkena cipratan air dan di khawatiran terjadi hubungan arus pendek yang menyebabkan kebakaran.

Tara dan beberapa panitia lainya membantu mengamankan kabel-kabel listrik yang sekiranya rawan konsleting.

Setelahnya ia mulai menyadari keberadaan Bian yang tak ada di sekitarnya. Khawatir? Tentu saja. Tara tau betul bagaimana Bian begitu membenci dirinya ketika senja disertai cuaca buruk tiba.

Segera ia berlari, mencari Bian yang terakhir ia lihat berada di teras lantai tiga gedung sekolahnya. Beberapa siswa yang ada pun sempat ia tanyai tentang keberadaan Bian. Namun nihil hasilnya.

Tara juga menilisik ruang kelas satu persatu, namun hasilnya masih sama. Bian tak ada di salah satunya. Satu-satunya ruangan yang tersisa hanya ruang aula. Dan Tara cukup yakin dengan firasat nya.

Tungkai nya berlari menuju ruangan luas dengan pintu yang tertutup. Benar saja, ia mendapati Bian tengah ketakutan di dalamnya.

Perlahan Tara mendekat. Tangan lembutnya perlahan mengusap surai halus sosok di hadapannya. Bian yang merasa di ketahui kehadirannya lalu mengangkat kepalanya. Mendapati gadis cantik yang ia cintai tengah tersenyum menatap dirinya.

Tubuhnya masih terasa gemetar. Bian sama sekali tak merespon kehadiran Tara di hadapannya dengan sepatah kata. Ia hanya mampu menatap netra indah kekasihnya dengan dagu yang masih terlihat gemetar.

Melihat tak ada kemajuan, Tara lalu duduk tepat di hadapan kekasihnya. Lengannya terbuka lebar, perlahan memeluk sosok Bian di hadapannya.

Hangat, Bian merasa sedikit lebih tenang sekarang. Tubuhnya menghangat, merasakan bagaimana aliran cinta tersalur pada raganya. Bian bahkan memejamkan matanya, menikmati setiap belaian lembut Tara pada rambut hitamnya. Perlahan ia benar-benar merasa aman sekarang.

Biantara | Lee Jeno Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang