41. Kelana Rindu

61 5 0
                                    

Malam setelah menghabiskan banyak waktunya untuk orang lain, kini Bian kembali memberikan ruang untuk dirinya sendiri. Di kamarnya dengan cahaya dari lampu tidur miliknya, Bian merebahkan dirinya di atas kasur dan menyimak lagu dengan judul Perahu Kertas untuk yang kesekian kali.

Sembari telinganya menerima alunan musik dari speaker yang ia putar tepat disampingnya, Bian kembali mengingat bagaimana ia dan Tara bertemu untuk pertama kalinya.

Sepasang muda-mudi itu dulunya hanya dua orang asing biasa, hingga suatu ketika Bian bertemu Tara pada salah satu festival musik di Surabaya, kota di mana mereka merajut kisah asrama. Pertemuan pertama yang cukup manis mereka dapatkan, pasalnya dipertemuan pertama yang sama sekali tidak disengaja itu keduanya berbincang cukup lama hingga akhirnya menyadari bahwa keduanya bersekolah di sekolah yang sama. Setelah pertemuan pertama itu, keduanya semakin sering menghabiskan waktu bersama, masih sebagai seorang sahabat kala itu. Beberapa kali Bian menghampiri rumah Tara untuk mengajaknya keluar dan menikmati berbagai macam jajanan pinggir jalan bersama, hingga akhirnya resmi menjadi sepasang kekasih tepat satu bulan setelah hari ulang tahun Tara.

Ngomong-ngomong tentang hari di mana mereka menjadi sepasang kekasih, Bian jadi teringat dengan momen yang keduanya habiskan bersama sebelum akhirnya menyudahi semuanya. Bian ingat, masih ada satu janji yang belum ia tepati pada Tara. Dari lima permohonan yang ia setujui bersama Tara, Bian menyisakan satu poin terakhir untuk semua permintaan Tara. Namun kini, sebelum pemuda itu menyelesaikan janjinya hubungan keduanya justru telah menyelesailan halaman terakhirnya.

Bian merasa bersalah sekarang, harus kah ia kembali menemui Tara untuk menuntaskan janjinya?

Tapi rasanya itu terlalu mustahil untuk ia lakukan, ia tak ingin kembali hadir dalam hubungan yang sudah ia selesaikan sendiri akhirnya. Bian tak ingin kembali melukai dirinya dengan kemungkinan-kemungkinan buruk jika ia kembali menemui Tara. Katakanlah Bian egois sekarang, pemuda itu tak ingin kembali menuang cuka pada lukanya yang bahkan belum kering sepenuhnya.

"Kalau ada Ayah, pasti sekarang bisa ngobrolin ini diatap rumah." gumam Bian lirih sembari berjalan menuju kearah meja belajarnya.

Pemuda itu duduk di bangku tersebut dengan nyaman, lalu mengambil sebuah album tebal dengan sampul berwarna coklat tua dari susunannya yang sudah nampak berdebu. Album itu berisi kumpulan fotonya dari kecil hingga yang paling akhir, foto saat ia mengenangkan kompetisi menyanyi sebelum akhirnya Ayah meninggalkan dirinya dengan banyak air mata sore itu.

Ia pandangi setiap halamannya dengan perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Mungkin, Bian rindu. Ia ingin kembali ke masa di mana sosok Ayahnya bukan seorang yang sulit ditemui untuk dimintai saran dan pendapatnya, sedang kini Bian hanya bisa kembali menemuinya lewat mimpi, itupun hanya sesekali jika tuhan menghendaki. Dulu, Bian tak begitu mengerti tentang pesan-pesan dari sang Ayah tentang hidup sebagai seorang manusia, namun kini satu persatu Bian paham apa yang Ayahnya maksud lewat kiasan dan kata-kata rumit yang dulu terdengar asing di telinganya.

Bian ingat sekali, dulu Ayah Raden pernah berpesan. Katanya, "Hidup sebagai seorang manusia itu pahit, makanya tuhan menciptakan rasa cinta. Tapi bodohnya manusia, kadang terlalu berlebihan menikmati sebuah rasa yang seharusnya hanya menjadi pemanis belaka."

Dulu, Bian keheranan dengan maksud dari kalimat tersebut. Hingga kini ia merasakan sendiri, bagaimana dirinya jatuh dalam perasaan berbunga-bunga hingga rela mengabaikan banyak hal-hal menyakitkan yang tak pernah ia hiraukan.

Sampai di halaman terakhir album foto itu dibuka, Bian langsung mengalihkan pandangannya. Ia tutup buku tebal itu tanpa melirik isinya. Lalu setelahnya, ia tatap lamat-lamat plafon kamarnya. Bian berusaha untuk tidak kembali menumpahkan air matanya.

Biantara | Lee Jeno Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang