08. Cemburu

96 13 8
                                    

Selesai sudah tiga kelas hari ini. Ditutup dengan matematika minat yang cukup menguras energi. Untuk hari ini, Bian tak pergi ke cafe untuk kerja paruh waktu. Karna statusnya hanya sebagai pekerja part time, Bian hanya akan diundang pada hari-hari yang sekiranya akan lebih ramai. Itupun memiliki waktu nya masing-masing. Sehingga Bian bisa kembali menyesuaikan dengan jadwal yang ia miliki. Seperti hari ini ia memiliki jadwal untuk latihan bersama tiga sahabatnya.

Kini dirinya tengah sedikit berleha-leha di ruang kelas yang nampak sudah kosong. Pasalnya mereka baru akan memulai latihan pukul tiga sore nanti, dan saat ini masih kurang lima belas menit menuju pukul yang di janjikan.

Pada sunyinya ruang kelas, kepalanya terasa riuh. Memikirkan bagaimana bisa Tara pergi bersama orang yang sama dengan alasan yang jelas kepalsuan nya secara berulang.

Apa ia sedang cemburu? Entahlah, yang pasti sakit rasanya. Membahas percintaan masa remaja memang tak ada habisnya.

Melihat sahabat karibnya termenung meratapi nasib, Harsa berinisiatif untuk memberikan sedikit tambahan beban pada sahabat nya. Berupa beberapa catatan dari guru penanggung jawab atas lagu yang sudah ia pilih kemarin.

"Kiw, cowo," panggil Harsa dengan gaya nyentrik khas miliknya seorang.

"Punya nama gue,"

"Nih, dapet koreksi dari Pak Kepsek. Katanya kurang asik."

"Gak ada angin, gak ada ujan, tiba-tiba banget,"

"Lah, mana gue tau,"

"Terus yang lain pada kemana ini? Geo ama Rey berak berjamaah mereka?"

"Nggak, lagi pada bangun rumah."

"Nggak lucu lawakan lu,"

"Lah, siapa yang ngelawak? Tuh liat aja di halaman lagi pada ngapain."

Penasaran dengan apa yang Harsa maksud, Bian memilih untuk mengeceknya secara langsung. Dan benar saja, sebuah rumah kardus dengan cat berwarna merah sudah berdiri di tengah kerumunan siswa-siswi termasuk Geo dan Rey di pinggir halaman sekolah.

"Nggak bohong kan gue. Gini-gini gue orangnya amanah, alias dapat di percaya."

"Iya, iya. Si paling amanah."

Di tengah perbincangan keduanya Bian baru teringat, dengan siapa Tara pulang. Ponselnya pun tak mendapat pesan apapun dari sang kekasih. Bodohnya, ia juga lupa untuk bertanya selepas bel sekolah barusan.

Bian akhirnya memutuskan untuk mengubungi Tara melalui panggilan telpon. Namun tak terjawab sama sekali. Segera Bian menuju gerbang sekolah untuk mengecek keberadaan kekasihnya, namun lagi-lagi nihil hasilnya.

Tak menyerah, Bian kembali melakukan panggilan telepon pada kekasihnya. Kali ini berhasil, panggilan itu di terima oleh Tara–
atau, kekasih baru Tara?

"Tara aman sama gue." ucap seorang laki-laki dari panggilan telepon tersebut. Kali ini suaranya terasa agak asing di telinga Bian. Bukan suara mas Juan, bukan juga suara Papa. Lalu dengan siapa Tara saat ini?

"Lo siapa?" tanya Bian dengan suara yang sedikit bergetar. Tak dapat di pungkiri, hatinya kembali terasa ngilu saat ini.

Namun sepertinya ia kembali di buat bermain teka-teki bersama kekasihnya sendiri. Sambungan telepon tersebut telah lebih dulu terputus sebelum memberikan satu jawaban pasti.

"Bi, sad boy lagi?"

"Sok tau lo."

"Bukan sok tau, tapi muka lo menampilkan ratapan nasib."

ucapan Harsa barusan mendapat hadiah telapak tangan Bian yang mengusap kasar wajah berminyak nya.

"Tangan lo bau pesing! Abis cebok nggak cuci tangan?"

Biantara | Lee Jeno Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang