12. Geladi resik

81 12 3
                                    

Setelah berlelah-lelah setengah hari ini, Bian akhirnya bisa menghembuskan nafas lega dan mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Iya, hanya sejenak. Pukul tiga sore nanti ia akan berkumpul kembali di sekolah bersama Harsa, Rey, dan Geo, serta murid-murid lain yang akan terlibat pada pentas seni sekolah.

Meskipun pentas seni ini bersifat umum dan setiap kelas boleh menampilkan bakatnya masing-masing, namun hanya perwakilan ekstra kurikuler serta anggota kepanitiaan yang akan menghadiri geladi resik kali ini. Sisanya, akan persiapan esok pagi.

Event tahunan yang rutin di adakan SMA Sukma bangsa ini sudah sering kali terlaksana dan tak pernah mengecewakan. Karna itu para siswa-siswi yang bertugas untuk gelaran acara kali ini, tak ingin membuat kecewa.

Karna masih memiliki waktu senggang yang cukup panjang, Bian memilih menggunakan nya untuk kembali ke rumah, mengecek keadaan Bunda serta mengganti pakaiannya yang sudah cukup basah oleh keringat.

Setelah menempuh waktu kurang lebih lima belas menit, Bian segera menuju kamarnya terlebih dahulu sebelum menanyakan kabar Bunda pada sang kakak. Alasan nya, karna mas Bagas sungguh benci terhadap bau keringat di kamarnya. Ia hanya tak ingin niat baiknya di sambut lemparan bantal dengan sarung bermotif kotak-kotak milik sang kakak. Menurutnya, bau sarung bantal mas Bagas seperti kemenyan.

Selesai dengan urusannya mengganti pakaian, Bian lantas menghampiri kamar Bagas dengan aroma parfum yang sungguh sangat menyengat. Sepertinya Bian harus siap-siap menerima ocehan mas Bagas masalah aroma parfumnya.

Tok, tok, tok!

"Mas, boleh masuk nggak?" tanya Bian dari luar kamar.

"Masuk aja, nggak dikunci." sahut Bagas masih tetap pada posisi duduknya di depan layar.

Mendengar izin tersebut, Bian lantas masuk ke kamar kakak satu-satunya yang memiliki dekorasi dominan coklat kayu tersebut.

"Mas, bunda udah makan? Obatnya udah? Kalo aku samperin ke kamar di usir ngga ya?" cecar Bian sembari memandangi kakaknya yang masih sibuk menatap layar monitor laptop. Entah pekerjaan apalagi yang di ambil Bagas untuk menutup biaya hidup keluarga tercintanya.

"Bunda udah tidur. Udah makan dan minum obat. Kamu katanya mau ada acara, kok malah pulang?" Tanya Bagas yang kini telah mengalihkan pandangan pada sang adik yang berdiri tepat di belakang tubuhnya.

"Iya, bentar lagi juga berangkat. Ini tadi ganti baju. Ya udah deh kalo bunda udah tidur, Bian nggak mau ganggu." ucap Bian sembari melangkahkan kakinya meninggalkan kamar dengan aroma khas yang sulit dijelaskan.


***

Kini Bian tengah memacu motor miliknya melalui jalanan kota menuju sekolah. Menerjang teriknya matahari yang membuat tubuhnya semakin berkeringat. Meski begitu, hal ini sama sekali tak mengurangi antusiasme nya untuk menghadiri jadwalnya hari ini.

Awalnya ia hendak menjemput Tara terlebih dahulu sebelum menuju ke sekolah, namun Tara sudah lebih dulu mengabarinya bahwa ia sudah bedara di sekolah bersama Alya dan siswa-siswi lain anggota kepanitiaan.

Tepat sebelum ia masuk ke area sekolah, Bian mendapati gadis kecil seorang pemulung dengan pakaian yang cukup lusuh. Mendapati hal tersebut, Bian lantas segera memarkirkan sepeda motor nya lalu kembali ke depan gerbang sekolah untuk memberikan sedikit uang pribadinya kepada gadis kecil tersebut.

"Dek, ini dipake buat beli makan, ya!" ucap Bian sembari mengusap pucuk kepala gadis kecil dengan rambut panjang terurai.

"Aku bukan pengemis, Kak. Kata Mbah, nggak boleh minta-minta." jawab gadis kecil itu dengan tatapan yang begitu polos.

Biantara | Lee Jeno Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang