45. Pulang, tapi Bukan ke Rumah

215 12 0
                                    

Setelah berusaha keras menenangkan bisingnya isi kepala, Bunda mendengar sebuah ketukan pintu dari ruang tamu. Seketika senyumnya terbit, dadanya terasa lebih ringan seketika, berharap saat membuka pintu mendapati putra-putranya berdiri dihadapannya.

Tak ingin berlama-lama, Bunda lantas segera bangkit dan berlari ke arah pintu masuk utama dan membukanya. Namun saat pintu terbuka, senyum yang semula sudah nampak begitu berbinar harus kembali redup ketika bukan putranya yang ia dapati di hadapannya.

Tubuh jenjang Juan berdiri tegap di hadapan Bunda, sahabat putra sulungnya ini hadir dengan wajah yang nampak gelisah dan redup, Membuat perasaan Bunda kembali gelisah dibuatnya.

"Assalamualaikum, Bun." Ucap Juan lalu menyalami tangan kanan Bunda Ratih yang masih sedikit gemetar.

"Waalaikumsalam, ada keperluan apa ya nak Juan kemari magrib-magrib begini?" tanya Bunda sembari berusaha mempertahankan senyumannya.

"Begini Bun, Juan diminta Bagas buat anterin Bunda ke rumah sakit sekarang juga. Ada hal penting yang mau Bagas omongin di sana."

Setelah Juan menyelesaikan kalimatnya, dada Bunda berdenyut ngilu. Teringat kembali pengalaman pahit yang belum lama ia temui. Banyak bayang-bayang buruk seketika memenuhi benaknya, rasa khawatir pun tak kalah membuncah saat ini.

Sepersekian detik sempat Bunda habiskan untuk berusaha menerima berita dari Juan barusan. Setelahnya Bunda lalu dengan segera mengambil sebuah tas selempang berbahan kulit berwarna coklat tua dan langsung memberi isyarat pada Juan untuk segera membawanya bertemu putra bungsunya.

Sepanjang perjalanan, Juan bisa menangkap raut penuh ke khawatiran dari wajah Ibu sahabatnya. Tak pernah terpikirkan sebelumnya di benak Juan, lama sejak terakhir kali ia bertemu dan menatap langsung wajah ayu nan awet muda Ibunda sahabat kecilnya hingga saat ini justru kembali dipertemukan dalam keadaan yang sama sekali tidak bisa dibilang baik-baik saja. Tak hanya Bunda yang nampak begitu resah saat ini, Juan pun ikut gelisah sekarang. Pemuda itu tak bisa membayangkan bagaimana tangis Bunda akan pecah saat mendapati putra bungsunya hanya mampu bernafas lemah diatas bangsal rumah sakit nantinya.

***

"Bian... bisa denger Abang, dek?" tanya Bagas sembari mengelus pucuk kepala adiknya perlahan.

Lalu dengan sisa-sisa tenaga yang tak seberapa, Bian mengangguk memberi respon dari pertanyaan yang sang kakak layangkan padanya.

Air mata Bagas tumpah, tak bisa lagi ia bendung saat melihat Bian merespon pertanyaannya dengan tubuh lemah dan rapuh. Bagas bahkan seakan lupa, bahwa Bian bisa menangkap suara paraunya yang jelas terdengar karna posisi Bagas yang begitu dekat dengan telinga Bian.

"Abang..." rintih Bian begitu lirih, nyaris tak menembus gendang telinga Bagas.

Bagas lalu menyeka segera air matanya yang masih enggan berhenti. "Iya, dek?" sahutnya merespon panggilan sang adik.

Bukannya melanjutkan kalimatnya, Bian justru tersenyum tipis. Tangannya bergerak mencari wajah sang kakak, setelahnya ia raba perlahan dan mulai menyadari bahwa suara parau yang sebelumnya ia dengar adalah benar asalnya dari sang kakak berkat air mata yang belum terhapus bersih dari kulit wajah Bagas.

"Bang... Bian titip kado ulang tahunnya Bunda ya, Bang?" ucap Bian dengan tangan yang belum beralih meraba pipi halus Bagas. Suaranya terdengar begitu dalam, Bian tampak berusaha begitu keras untuk menyelesaikan satu kalimat sederhana tersebut.

Biantara | Lee Jeno Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang