29. Acquiescent

50 4 0
                                    

Malam ini, Kalingga mengundang calon menantu pilihannya pada salah satu resto untuk makan malam bersama. Entah apa yang sedang pria paruh baya itu rencakan, yang jelas ia nampak begitu serius saat ini. Sesekali ia menyeruput secangkir kopi hitam pesanannya sambil mengamati sekitar, memastikan kehadiran pemuda yang ia maksud untuk dapat segara memulai pembicaraan.

Pertemuan kali ini pun cukup tertutup, tak ada Juan ataupun Tara disana, Mahen pikir ini akan menjadi perbincangan yang cukup serius antara dia dan calon mertuanya.

Tak berselang lama, yang ditunggu pun akhirnya tiba. Mahen dengan setelan kemeja berwarna coklat muda dan celana bahan hitam langsung menyalami pria yang ia yakini akan menjadi calon mertuanya di masa depan.

"Maaf bikin Om nunggu lama." ucap pemuda Agustus tersebut setelah menyalami Ayah Tara.

"Nggak masalah. Saya juga belum nunggu terlalu lama," dalam hatinya, Mahen sungguh berkecamuk dengan perasaan yang entah apa namanya. Di benaknya terus terputar pertanyaan, apakah langkah yang ia ambil untuk tidak menolak perjodohan ini adalah hal yang tepat?

"To the point aja, tempo hari kamu nganter Tara ke rumah pacarnya itu 'kan?" Tanya Kalingga dengan raut wajah yang nampak begitu mengintimidasi.

"O-om? T-tau dari mana?" tanya Mahen ragu-ragu. Yang ada ia resahkan bukan tentang dirinya sendiri, masa bodo jika setelah ini ia akan menerima banyak pukulan dari pria dewasa di hadapannya tersebut. Ia akan lebih memikirkan nasib Tara setelah Kalingga mengetahui semuanya.

"Saya nanya doang, nggak perlu panik gitu. Benar 'kan?" Tanya Kalingga sekali lagi dengan wajah yang lebih santai.

"Benar, Om."

Entah apa yang Ayah dua anak itu pikirkan, pria paruh baya itu lantas tertawa sambil bertepuk tangan setelah mendapat jawaban pasti dari calon menantunya.

"Saya mau kamu jujur sekarang, masih seberapa dekat Tara sama pacarnya itu?" Pertanyaan yang lagi-lagi terdengar begitu mengintimidasi. Sungguh, Mahen cukup khawatir dengan topik pembahasan yang sedang mereka bincangkan saat ini. Mahen yang memang masih ragu untuk menjawab pertanyaan calon mertuanya itu pun hanya terdiam tanpa memberi jawaban apapun.

"Oke kalau kamu nggak mau jawab, dengan begitu sama saja kamu mengakui kedekatan Bian sama Tara yang masih cukup dekat nampaknya." Ujar Kalingga sembari kembali menyeruput kopi hitamnya.

"Mahen, kamu tau 'kan, seberapa besar harapan saya buat kamu. Seberapa percaya saya buat nitipin putri tunggal saya, satu-satunya milik saya sama kamu. Jadi saya harap kamu nggak mengecewakan saya yang sudah berkomitmen sama kamu di awal. Saya sangat berharap kamu bisa jagain Tara, Termasuk dari Bian. Dalam kondisi apapun, saya harap mereka bisa sedikit demi sedikit mengurangi intraksi satu sama lain. Dan karna sepertinya ini masih terlalu sulit untuk terealisasi, Saya punya satu rencana untuk semakin mempermudah kita untuk sampai ketujuan."

Kalingga nampak begitu yakin dengan ucapannya, berbeda dengan Mahen yang justru semakin lama semakin resah dengan pembicaraannya dengan sang calon mertua malam ini. Dari rumah, ia sudah bertekad untuk tetap menyetujui apapun yang akan terjadi dengan perjodohannya dan Tara, bagi Mahen ini satu-satunya cara untuk membalas segala jasa mendiang sang Bunda yang sudah lebih dulu dipanggil yang maha kuasa.

"Rencana? Om nggak lagi membahayakan anak Om sendiri 'kan?"

"Jelas nggak lah, kita tunggu orang yang bakal bantu kita buat nyelesain rencana kali ini." Mahen hanya mengangguk menanggapi ucapan Kalingga barusan. Di detik ini ia sudah cukup paham bahwa akan ada pihak ketiga yang terlibat pada rencana kali ini.

***

"Mas, Papa kemana sih?" Tanya Tara tiba-tiba. Saat ruang keluarga nampak sepi dan hanya ada Juan yang sedang mengutak-atik stik game di depan layar tv berukuran lima puluh inch tersebut.

"Tadi keluar, tapi nggak tau kemana. Kenapa emang?"

"Dicariin Mama tau, kayanya Papa gak bilang Mama dulu deh perginya." Juan pun hanya mengangguk setelahnya.

"Eh, Tar, Main PS yuk!" Ajak Juan dengan wajah yang nampak begitu sumringah.

"Besok aku ada presentasi, mau buat power point nya dulu malem ini."

"Enggak asik banget kamu, Tar!"

"Ya lagian, Mas kan tau sendiri aku nggak bisa main PS. Main GTA aja bisanya muter-muter doang, Mas mau berharap main game macam apa sama orang kaya aku."

"Iya juga sih," Ada benarnya apa yang Tara ucapkan barusan, adiknya itu memang tak piawai memainkan permainan semacam PS dan lain sebagainya. Namun apa boleh buat, Juan sudah kepalang bosan saat ini.

"Mas bosen tau, Tar. Kamu nggak mau ngajak jalan gitu? Atau minimal kita deep talk lah biar kaya anak muda pada umumnya." ujar Juan dengan wajah memelas. Sebenarnya Tara bisa dibilang cukup iba pada kondisi kakak laki-lakinya ini, sudah masuk umur dua puluh tiga tapi perempuan satu pun tak ada yang mendekatinya.

"Makanya, Mas tuh cari pacar sana. Biar kalo bosen ada yang nemenin, masa Tara terus yang haru jadi tumbalnya kaya gini. Lagian nih ya, Mas mau deep talk kaya apa coba sama Tara? Soal makalah yang gak selesai-selesai? Soal danusan kampus yang gak laku-laku? Kita aja nggak ada topik."

"Kok jatuhnya kamu ngejek, ya? Ini lagi merendahkan?" Juan muslim berdiri dari duduknya, memasang ancang-ancang untuk segera menggelitik tubuh adiknya. Tara yang mendapat sinyal berbahaya itu pun segera menjauh dari posisi sebelumnya.

"Ng-nggak, Mas aja yang mikirnya kesana." Tara semakin menjauh dari Juan yang justru semakin mendekat kearahnya.

"Masa sih..."

Satu, dua, tiga!

Terdengar suara pekikan nyaring dari mulut Tara. Itu berarti Juan berhasil menerkam mangsanya. Gelitikan dari Juan akan selalu berhasil menjadi pemicu suara tawa renyah milik Tara.  Suara tawa Tara akan selalu menjadi peramai suasana rumah, sayangnya akhir-akhir ini suara itu jarang sekali menyapa telinga.

"Mas, udah, cape ih ketawa terus!" Protes Tara yang sudah mulai merasa lelah dengan serangan yang Juan berikan.

"Baru juga bentar, nih, lagi nih." Juan justru menambah kecepatan dan intensitas gelitikannya pada Tara.

"Mama!"

Mama yang sedari tadi mengintip dari lantai dua rumah tersebut pun hanya bisa tertawa melihat tingkah sepasang putra putrinya, jujur wanita paruh baya ini cukup merindukan suara ceria Tara seperti saat ini. Rumah ini pun rasanya sudah lama menjadi tempat yang sunyi semenjak Tara lebih sering menyendiri. Untuk saat ini, Mama memilih untuk tidak melakukan apapun kecuali mengamati dua malaikatnya yang tengah sibuk menyerang gelitikan satu sama lain.





Bersambung...


Bersambung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Biantara | Lee Jeno Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang