38. End of the Whises

80 4 0
                                    

Seperti yang sudah Tara dan Bian rencanakan sebelumnya, sepasang muda-mudi itu kini sudah tiba dalam suasana ramai khas pasar malam, berniat menyelesaikan perjanjian yang sudah keduanya buat. Meskipun langit sudah mulai kehilangan eksistensi matahari yang akan meneranginya, namun sang surya belum benar-benar menyembunyikan sosoknya, menyisakan semburat jingga yang nampak elok dan memikat atensi keduanya.

Lama keduanya terduduk pada salah satu bangku penjual jagung bakar sembari menikmati hidangannya, keduanya lantas berdiri dan memutuskan untuk menikmati senja dari atas bianglala.

"Yakin berani?" tanya Bian dengan raut wajah mengejek pada Tara.

"Yakin! Seribu persen yakin malah," ucap Tara sungguh-sungguh yang ternyata turut mengambil atensi penjaga wahana bak kincir angin raksasa tersebut.

Bian lantas mengangguk, menyetujui keinginan Tara untuk menaiki si roda berputar raksasa. Netra pemuda kelahiran Surabaya tersebut lantas tertuju pada ramainya antrian karcis untuk menaiki wahana yang diminta kekasihnya tersebut. Melihat tak ada satupun bangku di dekat antrian panjang itu berada, Bian lantas meminta Tara untuk duduk diam di tempatnya dan menunggu dirinya untuk mengantri diantara banyak pengunjung lainya.

"Kamu di sini aja, nanti kalau aku udah dapet karcisnya aku panggil." ucap Sabian sembari merapikan Surai hitam Tara yang sempat tersapu angin.

"Kamu kan ngantri buat aku juga, kenapa aku nggak ikut ngantri aja?" protes Tara lantaran merasa tak enak hati pada kekasihnya sendiri.

Sepasang bola mata Bian yang semula terfokus pada Tara kini ia alihkan ke arah panjangnya antrian loket karcis, mengisyaratkan agar Tara juga mengalihkan pandangannya ke arah yang sama.

"Tuh, liat! rame kan?" ucap Bian setelah meminta Tara melihat bagaimana kondisi antrian yang panjang tanpa ada bangku di dekatnya. "Nanti kalau pulang dari sini pegel-pegel gimana coba?"

"Minta pijetin Mas Juan," enteng Tara sembari terkekeh kecil.

"Yang ada nanti aku diomelin sama Mas Juan gara-gara ngajak jalan adeknya sampe pegel-pegel," sahut Sabian sembari membentuk senyuman dalam bingkai wajahnya. "Di sini aja, ya?" sambung pemuda tersebut masih dengan kalimat negosiasi yang sama dari sebelumnya ia ucapkan.

"Yaudah iya..." pasrah Tara yang dibalas dengan senyuman lebar dari Bian.

"Sip! duduk di sini yang anteng ya, bentar lagi balik bawa tiket buat kamu." ucap Sabian sebelum akhirnya meninggalkan Tara untuk turut bergabung dalam antrian panjang yang sebelumnya ia amati dari kejauhan. Setelahnya Tara hanya mengangguk dan menuruti apa yang Bian minta.

Dari posisinya duduk saat ini, Tara bisa menangkap banyak interaksi antar manusia yang terlihat begitu beragam, para pedangang makanan yang terlihat sibuk dengan riuhnya pelanggan, pasangan kekasih lain yang sedang bermesraan di dekatnya, hingga yang paling menyentuh hati Tara, melihat satu keluarga kecil yang nampak begitu serasi. Yang ia tangkap tadi bulir matanya, Ayah dan Ibu dari keluarga itu masih tergolong muda meski begitu pasangan tersebut nampak begitu telaten mengurus dua bocah cilik dengan baju setelan yang seragam.

Sesekali Tara tersenyum melihat interaksi keluarga kecil tersebut, sampai akhirnya perempuan yang Tara yakini adalah ibu dari dua anak kecil tadi menghampirinya bersama dengan salah satu anaknya.

"Canciii!" seru bocah laki-laki yang masih menggenggam erat kelingking sang Bunda.

"Lucu banget anaknya Mba," puji Tara sembari mencubit kecil pipi gembil bocah cilik tersebut.

"Alhamdulilah, ini daritadi anak saya salfok ngeliatin Mbanya, ngajak kesini mulu." ucap si Ibu dengan senyum ramah yang turut terulas. "Sendirian aja Mba? mau gabung sama kita barangkali?" lanjut ibu dua anak tersebut.

Biantara | Lee Jeno Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang