Malam Minggu yang cukup indah untuk dinikmati. Kini Bian tengah menyeruput sedikit demi sedikit secangkir susu coklat hangat yang baru saja ia seduh. Asapnya pun masih terlihat jelas menguap dari sebuah gelas berbahan dasar tanah liat dengan motif bunga sakura di seluruh sisi nya.
Menikmati malam Minggu seperti ini menjadi hal cukup ia gemari. Siapa sih yang tak girang menyambut hari libur? Ya, meskipun ia akan kembali mengambil kerja paruh waktu esok pagi.
Menunggu rasa kantuknya datang, Bian memilih untuk menulis jurnal hariannya. Menulis tentang apa saja yang terjadi selama beberapa hari ini, dan apa saja yang ia simpan didalam hati.
Tok, tok, tok!
"Bi, ke atap yuk!" ucap Bagas bersama nampan berisi dua buah mangkuk yang Bian yakini itu adalah mie rebus rasa Soto Lamongan.
"Yuk! Seneng nih kalo ada bau-bau sedap kaya gini."
Bagas hanya menggelengkan kepala nya sambil tersenyum. Bian memang tak akan bisa menolak aroma harum semangkuk mie rebus rasa soto Lamongan. Mungkin tingkat kecintaannya pada makanan ini bisa menduduki peringkat tiga besar di hati nya, setelah bunda dan Tara pastinya.
Keduanya bergegas menuju atap rumah yang dulu hampir setiap hari mereka kunjungi. Sekedar hanya untuk menikmati secangkir kopi, bersama petikan gitar yang mereka mainkan sendiri.
"Sini-sini, taro sini aja, Mas. Kasian aku liat nya masih di bawa-bawa gitu." Ujar Bian sembari mempersilahkan Bagas menaruh nampan tersebut pada sebuah meja kosong di dekatnya.
"Kasian atau kamunya yang nggak sabar?"
"Dua-duanya. Beda tipis doang." Bian menerbitkan senyum nya hingga kelopak matanya ikut tersenyum.
Bagas segera duduk lalu meletakkan nampan yang sedari tadi sudah mengambil hati Bian. Imajinasinya bahkan sudah melayang, membayangkan bagaimana sedapnya menyeruput kuah hangat dengan taburan bubuk koya meskipun jumlahnya seperti di subsidi.
"Ini mau nggak? Malah cuma diliatin doang," ucap Bagas membuyarkan lamunan Bian.
"Mau dong... Ini mah Bian mau mengucap rasa syukur dan terimakasih sebanyak-banyaknya kepada Mas Bagas tercinta."
Bagas terkekeh mendengar celotehan Bian yang terdengar berlebihan. Padahal ia hanya ingin menghemat gas kompor dengan sekaligus membuat dua porsi. Toh ia tau kalau Bian tak akan menolak mie instan kesukaannya.
"Lebay kamu."
"Nggak lebay, ini namanya mengapresiasi. Mas dulu jarang diapresiasi, ya?"
"Enak aja! Gini-gini mas dulu sering dapet pujian sama Ayah karna pijetan Mas enak."
Bagas jelas tak terima. Sebagai kakak satu adik, bukan berarti Bagas kekurangan kasih sayang. Ayah dan bunda selalu memberikan yang terbaik untuknya dan Bian. Itu fakta. Buktinya, Bagas sama sekali tak pernah merasa iri pada Bian sedikit pun.
"Diterima, Mas, kuenya?" Tanya Bian tiba-tiba membuat Bagas sedikit tersedak di buatnya.
"Diterima." Jawab Bagas singkat lalu kembali menyeruput kuah mie instan yang kini ada di pegangan nya.
"Alhamdulillah ..."
Bian menghembuskan nafasnya lega. Ia jadi sedikit lebih optimis sang bunda akan menerima kehadirannya kembali.
Bagas sedikit merasa bersalah pada adiknya, meski Bunda tak menolak atau memberi reaksi negatif pada pemberian si bungsu, Bagas pun tak tau apa yang terjadi setelah kepergiannya dari kamar sang Bunda siang itu.
Keduanya kembali fokus menikmati makanannya masing-masing. Sembari menatap indahnya langit malam setelah beberapa hari ini terlihat mendung.
Di tengah hening nya suasana dan hanya terdengar suara dentingan garpu dengan mangkuk, Bian justru berpikir bagaimana bisa laki-laki baik, tampan, dan sangat penyayang seperti mas Bagas belum kunjung menemukan tambatan hati. Terakhir kali Bian mendapati mas Bagas tengah berbunga-bunga saja sudah sembilan tahun lalu, ketika mas Bagas masih duduk di bangku SMP. Itupun tak sampai jadian, mas Bagas bilang ia tak percaya diri kalau cintanya akan di terima mbak Eca.
"Mas, nggak mau ngenalin cewe gitu ke aku?"
Bagas kembali tersedak mendengar pertanyaan Bian.
"Mulut mu, Bi! Mau selingkuh kamu? Siapa yang ngajarin kaya gitu?" omel Bagas dengan penuh emosi. Disaat itu pula Bian sadar bahwa dirinya salah merangkai kata.
"Bukan gitu... Maksud ku, Mas Bagas emang nggak pengen punya cewe gitu? Terus dikenalin ke aku."
"Kalo ada yang mau juga mas nggak nolak, Bi. Masalahnya siapa sih yang mau sama Mas?"
"Mbak Eca? Anaknya Pak Badrun itu lho, Mas. Temen Mas waktu masih SMP. Aku aja inget kok, masa Mas lupa."
"Itu kamu tau sendiri kalo dia anaknya Pak Badrun. Lagian Mas nggak bilang kalo lupa sama dia." ucap Bagas sebelum meneguk air mineral dalam botol satu liter yang tadi juga ia bawa.
"Emang kenapa kalo anaknya Pak Badrun? Pak Badrun sama aku ramah kok, kemaren sempet minta mangga muda nya buat ngerujak bareng si Harsa dan kawan-kawan."
"Tuh kan, apalagi kamu suka mintain mangga muda. Makin malu lah Mas mau deketin anaknya."
Bian tertawa puas melihat telinga kakaknya memerah. Ia paham betul bahwa telinga Bagas hanya akan memerah pada saat-saat tertentu. Bian jadi semakin yakin bahwa mas Bagas masih menyimpan rasa pada Mba Eca, anak pak lurah.
"Mas kalo masih suka bilang aja, kupingnya merah tuh." ejek Bian sambil tertawa puas.
"Shut! Wes, wes, kamu ini malah minta dijewer." ucap Bagas yang sudah mulai kesal dengan kejahilan Bian yang tak berhenti menggodanya.
"Kamu gimana sama Tara?" kini Bagas melempar sebuah pertanyaan.
Sebenarnya ia hanya ingin tau bagaimana hubungan adiknya itu, tanpa maksud menyindir atau lain nya. Tapi Bian yang mematung sejenak justru membuat Bagas berpikir bahwa ada hal yang tak menyenangkan dari hubungan mereka berdua.
"Mas kenapa tiba-tiba nanya gitu?" Tanya Bian setelah menyelesaikan sesi makan malamnya.
"Nggak apa-apa, nanya aja. Kenapa? Kok tegang gitu, ada masalah?"
Bian hanya cengengesan mendengar pertanyaan dari kakaknya. Jujur, ia bingung harus menceritakan tentang apa yang sebenarnya terjadi atau tidak.
"Cerita aja, Bi... kaya sama siapa aja kamu ini." celetuk Bagas melihat sang adik yang tak kunjung memberi jawaban.
"Baik kok. Mas tau sendiri aku anak baik-baik," Bagas mengangguk mengiyakan ucapan Bian.
Benar memang yang Bian katakan. Seumur hidup Bagas menjadi kakak bagi seorang Sabian Pram Kendrick, ia memang anak baik-baik. Namun sebuah hubungan tak hanya tentang satu pihak bukan? Jika ia bisa yakin bahwa Bian anak baik-baik, maka Tara seharusnya juga membalas hal yang sama.
Suasana sempat kembali hening sejenak. Bian mengingat kembali bagaimana cemburu menggerogoti hati nya. Bagaimana ia merasa bahwa apa yang ia perjuangkan untuk kekasihnya masih jauh dari kata cukup. Ia tak ingin berburuk sangka pada kekasihnya sendiri. Ia yakin bahwa Tara adalah sosok yang baik, tak mungkin rasanya kalau sampai Tara menduakan dirinya. Mungkin ini hanya sebuah kesalahpahaman yang belum terpecahkan.
"Malah ngelamun. Baik-baik sama Tara?"
"Baik kok, Mas... Tenang... Adik mu ini bukan generasi galau kok," Bagas hanya membalas ucapan Bian dengan gelengan kepala.
Dalam hatinya ia bermonolog "Bian kok anti galau."
Mustahil rasanya, Bian ini orangnya perasa, buka media sosial lalu menemukan akun overthinking juga sudah galau duluan ia dibuatnya. Tapi di satu sisi ia juga berharap bahwa semua baik-baik saja.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Biantara | Lee Jeno
Fanfiction❝Hidup itu penuh kejutan, nak. Dan dunia nggak pernah nunggu kamu siap untuk nerima semua candaannya.❞ *** Ini tentang sepasang remaja yang berusaha berdamai dengan alur hidupnya. Sabian Pram Kendrick, remaja yang harus kehilangan sosok ayahnya dan...