36. Pelangi Setelah Hujan

66 5 0
                                    

Banyak sekali rasanya afirmasi yang ingin Juan ungkapan pada adik perempuannya. Tentang bagaimana hidup terus berjalan disaat hal-hal yang tak pernah diharapkan memaksa masuk kedalamnya, tentang bagaimana waktu mengambil paksa hal-hal favorit seorang manusia secara tiba-tiba, atau bahkan sebaliknya, menarik segalanya perlahan, seolah menyiksa jiwa-jiwa yang diangganya mampu menahan duka. Namun dibalik itu semua, tak ada yang amerta dalam sebuah lingkup fana. Akan selalu ada kata bahagia disetiap curahan air mata, begitu pun sebaliknya. Jadi, Juan harap Tara bisa sedikit berbahagia dengan menyadari bahwa ada dirinya yang tetap berdiri di sisinya. Bukan dengan cara membenarkan kesalahan yang Tara buat, tapi dengan mendengarkan bagaimana adik kecilnya itu merasa lelah dan mengeluh tantang banyaknya hal baru yang ia temui, memaksanya untuk lebih cepat beradaptasi bahkan saat ia masih belajar mengenal dirinya sendiri.

Juan bisa paham bagaimana Tara khawatir dengan jalan yang ia pilih sendiri. Juan juga pernah merasakan bagaimana berada dititik krusial dalam masa remajanya. Masa dimana perasaan seorang manusia seringkali diabaikan oleh sesamanya. Mengacuhkan segala emosi dengan banyak dalih, menyepelekan rasa yang tak pernah digali lebih dalam apa penyebabnya. Sedang orang-orang disekitar hanya akan terus berkata bahwa "kurang bersyukur." adalah kata yang tepat disematkan pada sebuah keluhan seseorang yang hanya butuh tempat bersandar dan pulang dari riuhnya isi kepala.

Tara bilang, ia minta ditemani untuk mampir sejenak untuk mencetak beberapa tugas bahasanya. Juan sih tak keberatan sama sekali, toh setelah ini ia tak punya acara yang membuatnya harus buru-buru pulang ke rumah. Juan bahkan berpikir untuk mengajak Tara mengitari kota sambil membicarakan banyak hal dalam hidup keduanya. Mengajak adik perempuan satu-satunya untuk berinteraksi dengan lebih banyak hal-hal tak terduga yang mereka temui sepanjang jalan, mengurai resah, dan menampung kenangan indah di hidupnya.

Sekarang, sepasang kakak adik itu sedang duduk dengan tenang pada bangku yang sudah disediakan oleh tempat fotokopi langganan Juan. Kata Juan pada Tara, tukang fotokopi yang satu ini berbeda. Mukanya ramah, tidak hemat senyum, bahkan tak segan menawarkan cemilan pada pelanggannya. Jaraknya memang cukup jauh dari rumah maupun sekolah Tara, tapi masa bodo, Juan malas kalau datang ke fotokopian hanya untuk disuguhi sungutan penuh amarah.

"Tar, ada tukang siomay tuh, mau?" tawar Juan saat melihat seorang bapak tua penjual siomay berhenti tepat didepan tempat fotokopian tersebut.

"Mau kalo gratis mah," balas Tara sambil tersenyum cukup lebar menampilkan deretan gigi rapihnya.

Juan lalu beranjak dari tempat duduknya menghampiri pedagang siomay yang sudah bergerak meninggalkan tempatnya.

"Pakde! Siomay dua porsi," ucap Mas Juan suara yang sedikit berteriak, mencegah pedagang siomay itu pergi.

"Alhamdulillah... bungkus, Mas?" tanya bapak penjual tersebut yang dijawab dengan anggukan kepala.

Dari kejauhan, Tara memandangi Mas Juan yang masih sibuk memilih apa saja yang akan ada dalam satu porsi siomay miliknya. Tangannya mengisyaratkan kepada si penjual untuk tidak memasukkan pare kedalamnya, Tara tau Mas Juan tidak pernah suka dengan rasa pahitnya.

"Pake kentang nggak, Tar?" tanya Juan dari posisinya yang masih berada tepat di samping gerobak penjual.

"Pake!" balas Tara sambil mengacungkan jempol, memberi isyarat bahwa ia setuju akan ada kentang dalam satu porsi siomaynya.

"Mbak, ini dijilid?" tanya tukang fotokopi saat Tara masih sibuk mengamati kakaknya.

"Eh, iya, Mas. Warna putih, ya."

"Siap, Mbak! Ngomong-ngomong, itu pacarnya pelanggan setia saya lho, Mbak." celetuk mas-mas sambil mencari-cari plastik jilid buku berwarna putih.

Tara jelas tertawa mendengarnya, "Kakak saya itu, Mas. Belum punya pacar dia," jelas Tara pada tukang fotokopi barusan.

Biantara | Lee Jeno Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang