42. Something Feels Bad

99 6 2
                                    

Dengan suasana rumah yang tenang dan pekarangan yang asri, Tara duduk di teras rumah Eyang sembari sesekali menyeruput teh hangat yang sudah ia seduh beberapa waktu lalu. Gadis itu mengawali akhir pekannya dengan merenungi nasibnya sendiri.
Tara tiba di kota Malang tepat pukul sebelas dini hari malam tadi dan langsung menuju ke rumah Eyang-nya dimalam yang sama.

Semenjak tibanya gadis itu di rumah bernuansa tahun sembilan puluhan itu, Tara tak menghabiskan banyak waktunya untuk berbincang dengan orang tua laki-laki dari Mamanya itu. Eyang pun tak merasa keberatan sama sekali, ia cukup paham bahwa perginya Tara ke sini untuk menenangkan diri. Jadi ketika dilihatnya suasana hati dan pikiran Tara sudah cukup tenang dan bisa diajak bicara, baru ia akan menanyakan apa yang terjadi sebenarnya.

"Sarapan nduk, itu di meja makan ada sayur lodeh sama semur daging," ucap Eyang sembari mengusak pucuk kepala Tara perlahan. Ia melihat kondisi Tara sudah jauh lebih tenang dari malam tadi.

Mendapat tawaran tersebut, Tara hanya mengangguk sembari mengulas senyumnya.

"Enak nggak tidurnya semalem? itu dulu kamarnya di pake Mamamu waktu masih gadis," ujar Eyang diiringi suara tawa lirih.

"Enak banget, Tara semalem tidur beneran pules banget tau, Eyang. Rasanya beneran istirahat badan Tara," jawab Tara. Gadis itu tidur sangat pulas semalam. Ia benar-benar merasa nyaman dan aman sekarang, tak ada ketakutan, dan tak ada rasa mengganjal yang membuat dadanya pengap.

"Kamu dulu kalo main ke sini bawa buku-buku novel gitu buat di baca di teras, sekarang bawa ndak?" Tara menggeleng sembari melengkungkan bibir mungilnya kebawah.

"Nanti kita cari buku-buku baru buat kamu baca," ucap Eyang yang terdengar bersemangat, seakan tak menerima penolakan. Sedang Tara hanya mengangguk, mengiyakan ucapan Eyang.

"Eyang, Tara nggak dilaporin ke Mama kan kalo Tara pulang ke rumah Eyang?" tanya Tara hati-hati. "Tara nggak mau dijemput..." ucap Tara sembari menundukkan kepalanya, takut-takut air matanya kembali jatuh tanpa aba-aba.

"Eyang sih ndak masalah kalau Tara mau terus di sini, itung-itung kamu nemenin Eyang kan," Eyang memberi jeda sejenak pada kalimatnya sembari mengusak lembut pucuk kepala Tara. "Tapi kalaupun Eyang ndak bilang Papa Mamamu kalau kamu di sini, cepat atau lambat mereka juga pasti bakal ngelakuin banyak cara supaya dapet letak keberadaan kamu nduk..."

Benar apa yang Eyang bilang. Surat yang semalam Tara tinggalkan tak mungkin memberi efek sebesar itu hingga Mama dan Papa tak akan mencari keberadaan dirinya. Tapi sungguh, ia terlalu takut untuk memberi kabar di mana ia berada saat ini. Tara tak ingin kembali di belenggu, ia tak ingin kembali diikat bersama dengan orang yang bahkan tak pernah ia minta hadir dalam hidupnya.

"Coba sekarang Tara cerita pelan-pelan sama Eyang, kita cari jalan keluarnya bareng-bareng ya nduk..." satu permintaan dari Eyang, yang berhasil membuat Tara sedikit merasa aman. Meski rasa ragu masih terbesit dalam dirinya.

"Beneran? Eyang janji?"

"Janji dong... apa yang nggak buat cucu cantik Eyang," Tara tersenyum mendengarnya. Gadis itu tak pernah merasa seaman ini sebelumnya. Ia merasa ada di tempat yang seharusnya sekarang.

Setelahnya, Tara mulai menceritakan semuanya. Awal dari semua kekacauannya, hingga puncak perasaan hancur dan kehilangannya. Tara tak menyembunyikan apapun dari Eyang. Ia berusaha menceritakan semuanya sedetail mungkin, meski rasa tertusuk dan sesak sesekali ia rasakan menjalar di dadanya.

Eyang pun menyadari bagaimana hancurnya perasaan cucu perempuan satu-satunya itu. Bagaimana gadis remaja itu merasa tak benar-benar pulang, bagaimana Tara merasa terus tersudut dan serba salah disetiap harinya. Pantas saja Tara berani pergi sejauh ini seorang diri, ternyata rumah yang seharusnya menjadi tempat paling nyaman untuk pulang, sudah tak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Ia paham bagaimana cucunya merasa kendali hidupnya tidak ia genggam sendiri.

Biantara | Lee Jeno Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang