27. Kosong yang Tak Mungkin Terisi

62 5 0
                                    

Masih di area sekolah, Bian menggandeng tangan Tara untuk segera menuju ke parkiran motor. Sudah bisa ditebak, pemuda itu sangat antusias untuk menuntaskan perjanjian nya bersama Tara tempo hari lalu.

"Sabar, dong, Bi."

"Hehe, iya, iya..."

Dengan hati-hati, Bian memasangkan helm berwarna coklat tua pada Tara. Setelahnya ia mengetuk beberapa kali pengaman tersebut sambil tersenyum lucu. Atau malah, sangat lucu? Mata Bian yang sudah sipit bahkan nyaris menghilang karna tersenyum terlalu lebar. Berbeda dari keadaan Bian tadi pagi, bibirnya sudah tak sepucat sebelumnya. Membuat Tara sedikit lebih lega dengan kondisi kekasihnya.

"Siap?" Tanya Bian dengan mata yang berbinar cerah. Tara bisa menangkap sinyal bahagia dari pancaran netra Bian.

"Siap!"

Tak butuh waktu lama, keduanya lalu segera meninggalkan area sekolah. Waktu yang memang belum terlalu sore membuat sepasang muda-mudi ini punya lebih banyak waktu untuk mengelilingi kota sembari menikmati setiap desiran angin. Sepertinya, Tara sudah memasukkan -berkendara bersama bian- sebagai salah satu daftar kegiatan paling membahagiakan dalam hidupnya. Meskipun, kadang cuaca kota kelahiran Bian ini sering sekali terasa menyengat, namun Tara akan tetap dengan senang hati menikmati setiap inci perjalanannya, asal bersama Bian.

"Matahari terbenam masih lama, gimana kalo kita tuntaskan permintaan pertama dulu?" Ujar Bian yang terdengar samar karna hembusan angin.

"Apa?"

"Street food date, kali ini yang beneran. No tipu-tipu."

"Terserah, Aku ngikut aja." tandas Tara yang dijawab dengan anggukan oleh Bian.

Sepanjang jalan, netra Bian sibuk menelisik pinggiran kota. Biasanya di sekitar taman atau tempat-tempat umum lainnya, ada beberapa penjual jajanan jalanan. Mulai dari pentol, siomay, kembang tahu, dan lain sebagainya. Jadi untuk mempermudah menemukan para penjual jajanan, Bian memilih untuk mengitari beberapa area publik di kota kelahirannya. Dan pilihannya akhirnya jatuh pada sekelompok penjual jajanan jalanan yang sedang mangkal di pinggiran taman kota.

Segera Bian meminggirkan kendaraan nya untuk menghampiri segerombol pedagang kaki lima tersebut.

"Kamu mau yang mana, Tar?"

"Aku mau beli dawet aja deh, haus." Bian hanya mengangguk sebagai jawaban.

Langkah kakinya lalu segera menghampiri penjual dawet yang sudah nampak berumur. Memesan dua gelas dawet ayu tanpa toping durian di dalamnya. Selain memesan dawet ayu, Bian juga membeli seporsi pentol bumbu kacang serta pangsit rebus isi daging ayam giling. Ia menghabiskan total dua puluh delapan ribu untuk beberapa variasi jajanan tersebut. Tak terlalu mahal, karna memang hanya jajanan jalanan biasa. Meski begitu, Bian tak pernah kecewa dengan cita rasa jajanan jalanan yang mengingatkan nya dengan masa kecilnya, dimana ia tak memiliki beban apapun dalam hidupnya.

"Bapak udah lama jualan disini?" Tanya Tara pada penjual dawet ayu yang sedang meracik pesanan nya.

"Udah nduk, dari taman nya belum diperbaiki sampe sekarang ini. Alhamdulillah rezekinya lancar disini."

"Emang nggak ada razia, pak?" sahut Bian yang turut mengintrogasi penjual dawet ayu.

"Ya sering, Mas. Tapi gimana lagi, cuma disini kita bisa jualan tanpa mikirin biaya sewa tempat yang makin lama makin mencekik." Kali ini penjual pentol yang membuka suara. Dari wajahnya, seperti nya penjual pentol ini belum terlalu tua.

"Ini Mas sama Mbak nya pacaran?" tanya pedagang dawet sembari memberikan pesanan sepasang muda-mudi itu.

"Kayanya sih gitu, tapi manusia ini nggak ada romantis-romantisnya, Pak." Jawab Bian setelah menyeruput dawet ayu miliknya.

Biantara | Lee Jeno Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang