03. Sepasang Luka

222 25 27
                                    

Tak berapa lama setelah bel sekolah berdering, Bian dan Harsa melenggangkan kakinya bersama menuju area parkir. Bak titik kumpul darurat, Geo yang selalu mengandalkan ojek online pun akan tetap menunggu kehadiran tiga sahabatnya itu meskipun berbeda kelas dan tujuan pulang.

Pada kesempatan ini pula Bian menyampaikan izinnya untuk tak hadir pada latihan band hari ini, tak perlu ditanyakan bagaimana respon Geo. Sudah pasti pemuda itu mengerti akan kondisi kehidupan sahabatnya yang memang harus menjaga sang bunda yang bahkan membenci hadirnya sosok Bian di dekatnya.

Sembari berbincang singkat bersama ketiga sahabatnya, netra kecoklatan Bian menangkap bayang sang kekasih tengah berbincang dengan Mahen, pemuda yang menjemput kekasihnya pagi tadi. Rasa kecewa itu bahkan masih sangat melekat di hatinya, namun Tara sudah kembali menyayat luka baru padanya.

Berusaha tetap tenang dan mencegah keributan konyol di area sekolah, Bian lantas menghampiri Tara untuk mengajaknya pulang bersama. Tak terdengar aneh, karna memang itu yang bisa terjadi pada sepasang muda-mudi itu.

"Tar, ayo pulang!" Ajak Bian sembari menggenggam pergelangan tangan Tara, namun justru penolakan yang Bian dapatkan.

Tara melepaskan genggaman Bian perlahan, merapalkan permintaan maafnya lalu memberi penjelasan mengapa ia tak bisa pulang bersama hari ini. Ini karena Tara yang sudah berjanji untuk pulang bersama Mahen untuk hari ini. Bian tau betul, Tara memang gadis yang pemalu dan cukup canggung untuk menolak sebuah permintaan. Tapi kali ini, rasanya sungguh berbeda.

Menyadari perubahan raut wajah sang kekasih, Tara lantas kembali menggenggam kedua tangan Bian.

"Kali ini aja kok, aku janji."

Tutur Tara lembut yang lagi-lagi mengguncang batin Bian. Sulit rasanya bersikap tegas pada wanita pujaannya, terlalu lemah hati ini menerima segala manisnya hal-hal sederhana yang ia dapat dari Tara. Mendengar kalimat bujukan tersebut, Bian lantas menghela nafasnya berusaha menerima meskipun sulit rasanya.


***

Seperti hari-hari biasanya, Bian kembali memacu kuda besi miliknya melewati jalan raya Darmo, jalan yang membuat segala kenangan terasa kembali nyata dalam pandangannya. Langit yang mulai menguning, membuat Bian merasa sedikit kembali hidup, meskipun hanya sesaat.

Kembali pada jalanan yang membuatnya merasa pilu, Bian kembali memandangi rumah sakit Darmo. Rumah sakit dengan cerita sejarah yang menarik, namun tidak dengan insiden kecelakaan yang terjadi pada ayahnya petang itu. Meskipun Ayahnya dinyatakan meninggal di tempat, namun Rumah sakit Darmo adalah saksi bisu bagaimana jasad sosok terfavoritnya harus terbujur kaku bergelangkan waktu kematian pada pergelangan kakinya.

Di jalan ini pula dirinya pernah menyantap seporsi rawon, semangkuk berdua bersama sang Ayah. Hal-hal sederhana yang mampu membuat luka lama pada batinnya kembali tergores dan terasa pedihnya.

Dirinya mungkin bisa terlihat baik-baik saja di mata orang-orang sekitarnya, namun sejatinya insan manapun tak akan pernah bisa membohongi dirinya sendiri. Sekuat apapun manusia itu, ia tetaplah makhluk yang memerlukan waktu untuk menerima segala rasa sakitnya.

Sebelum kepergiannya, Ayah sering sekali berpesan pada kedua putranya. Pesannya cukup sederhana, yaitu untuk tetap utuh selayaknya keluarga. Entah apa yang ada di benaknya saat itu, namun Bian rasa ayah sudah mempersiapkan semuanya. Teringat kembali momen dimana tiga sosok laki-laki tengah duduk bersantai pada balkon rumah yang di isi dengan tanaman cabai milik sang Bunda. Membahas topik-topik kehidupan yang mungkin akan terdengar sederhana.

Biantara | Lee Jeno Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang