48. Epilog: Tentang Biantara, Kepergian, dan Mawar Putih

196 8 0
                                    

Banyak orang bilang, jatuh cinta di masa SMA hanya akan bertahan sebentar saja. Cinta monyet istilahnya. Namun sepertinya itu tidak berlaku untuk Tara. Terhitung sudah lebih dari lima tahun ia mencintai sosok yang sama; Sabian Pram Kendrick.

Dari jumpa pertama keduanya, hingga maut meregut paksa salah satunya, Tara masih menyimpan ruang kosong di hatinya untuk pemuda yang ia cintai begitu luar biasa tersebut.

Bukan hal yang mudah bagi Tara untuk tetap mencintai Bian selama beberapa tahun terakhir. Jika di putar ulang ke lima tahun yang lalu, mungkin awal pertemuan Bian dan dirinya akan nampak seperti kisah romansa idaman para remaja pada umumnya. Namun seiring berjalannya waktu, banyak sekali hal-hal yang menghantam hubungan keduanya. Kehilangan, kebencian, perjodohannya paksa, hingga harus berakhir dengan perpisahan paling menyakitkan yang tak pernah ia duga—kematian.

Dua tahun lalu adalah masa paling berat yang pernah Tara lalui dalam hidupnya. Rasanya terlalu banyak tragedi yang terjadi dan menghampiri tanpa memberi aba-aba sedikitpun. Dua tahun terakhir ini, Tara menghabiskan banyak waktunya di rumah. Setelah lulus dari sekolah menengah akhir pun, Tara masih belum seterbuka itu pada orang-orang di sekitarnya. Ia menjadi gadis yang jauh lebih pendiam, pasif, dan terkesan penuh tanda tanya. Intraksinya dengan sesama makhluk sosial pun nampak minim, hanya dengan Mama, Mas Juan, dan beberapa kali ia bicara pada Papa saat jadwal penjengukan tiba, pasalnha saat ini Ayah dua anak tersebut tengah mendekam dalam sel tahanan sebagai bentuk pertanggung jawabannya atas dosa yang telah ia buat. Setelah kepergian untuk selama-lamanya, Kalingga Maheswara resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus tabrak lari dan dikenakan hukuman enam tahun penjara.

Tara tau ia tak dapat merubah alur yang sudah semesta rangkai untuknya, jadi satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah memberi jarak untuk dengan orang-orang yang datang ke kehidupannya. Tujuannya sederhana, Tara ingin menghindari rasa kecewa.

Tara pun tau, hidupnya masih begitu panjang jika hanya ia lalui seorang diri. Maka dengan kesadarannya tersebut, Tara menghabiskan banyak waktunya untuk mengabdi pada sebuah panti asuhan di kotanya dan memilih untuk lebih banyak bercengkrama dengan anak-anak di sana. Dengan begitu, sedikit demi sedikit Tara bisa mengaplikasikan ilmu yang ia dapat di bangku perkuliahan.

Setelah lulus dari sekolah menengah akhir, Tara mengambil jurusan psikologi di salah satu universitas swasta di kota Surabaya. Tara sadar ia tak punya bakat menonjol yang nampak dan bisa ia kembangkan, jadi dengan mengambil jurusan ini Tara berharap setidaknya ia bisa lebih memahami perilaku orang-orang di sekitarnya dan juga dirinya sendiri. Tara berharap dengan mengetahui banyak hal tentang ilmu yang membahas betapa kompleksnya  manusia, ia bisa lebih menerima perlakuan-perlakuan yang mungkin kurang berkenan di hatinya.

"Mau kemana pagi-pagi udah rapih begini? Ada kelas pagi?" tanya Mama ramah pada anak gadisnya.

"Mau ke panti. Hari ini ada ulang tahun Ma, jadi Tara mau berangkat lebih pagi biar bisa bantu ibu panti siapin tumpengnya." Jelas Tara sembari menyiapkan kotak bekalnya.

"Yaudah Tara berangkat ya, Ma. Assalamualaikum..." Pamit Tara sembari mencium telapak tangan Mama.

"Waalaikumsalam, hati-hati ya!"

"Siap Mama!"


***

"Umi lagi nungguin Kak Tara ya?" tanya seorang anak perempuan berumur sekitar enam tahun.

"Iya nih, Tiur lihat nggak?" tanya si Ibu panti yang lebih akrab di panggil Umi tersebut. Si bocah hanya menggelengkan kepalanya sebagai respon dari pertanyaan Umi barusan.

"Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam, nah itu yang ditunggu udah dateng."

Biantara | Lee Jeno Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang