Pagi hari, suasana pondok pesantren Al-Hamid saat ini begitu ramai. Banyak wali santri yang mulai berdatangan untuk menjemput anaknya masing-masing.
Santri putra maupun santri putri tengah berjajar di depan asrama, menunggu giliran namanya dipanggil untuk mengurus syarat perpulangan pesantren.
Afiza yang mengetahui orang tuanya akan tiba di ma'had sore hari, ia pun memilih untuk membaca buku islami di teras masjid. Tanpa disengaja ternyata Gus Aidan sedang murojaah hafalannya juga di teras masjid. Namun, jarak keduanya saling berjauhan."Assalamualaikum, Afiza boleh saya bertanya?". Ucap Gus Aidan langsung dengan jarak kurang lebih satu meter dari tempat Afiza duduk.
"Waalaikumussalam, tafadhol Gus". Jawab Afiza dengan kepala yang masih tertunduk.
"Dimana alamat rumahmu?".
"Kenapa Gus bertanya seperti itu?".
"Tidak, saya hanya ingin bersilaturahmi, sekalian ingin mengkhitbahmu, Afiza". Ucap Gus Aidan dengan raut muka datar yang senantiasa menundukkan pandangannya.
Degg!
Afiza menegang di tempat, ia tak percaya oleh apa yang dikatakan Gus Aidan pada dirinya.
Jantung Afiza kini berdegup kencang."Jangan becanda Gus. Njenengan seorang Gus, saya bukan Ning, saya juga fakir ilmu. Apakah pantas bersanding dengan Gus Aidan?".
"Jika memang berjodoh, tidak ada yang tidak mungkin, bagi Allah sangat mudah menyatukan langit dan bumi. Apalagi hanya mempersatukan hamba-Nya yang saling mencintai karena Allah. Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Saya pamit assalamualaikum". Ucap Gus Aidan yang langsung meninggalkan Afiza di teras masjid.
'Saya akan berusaha mencari tahu sendiri Afiza, tunggu saya!'. Batin Gus Aidan.
"Wa-waalaikumussalam Gus".
Afiza masih melongo tak percaya, beberapa kali ia telah menampar pipinya sendiri juga mencubit lengannya sendiri, dan tentu saja ia merasakan sakit."Hayo Afiza, kamu kenapa begitu? mana senyum-senyum lagi?". Tanya Sinta.
"Loh Sinta, kamu belum dijemput?".
"Belum, eh jangan mengalihkan pembicaraan dong!".
"Oh i-itu Afiza seneng aja, soalnya udah kangen banget sama mama papa". Jawab Afiza kelagapan.
"Oh gitu... Wah kayaknya aku udah dipanggil deh Fiz, ana awwalan ya, awas jangan ngelamun entar kesambet hahaha. Dah bye assalamualaikum".
"Waalaikumussalam".
'Ini bener gak sih perkataan Gus Aidan?! kok berasa mimpi ih, Afiza baper banget Ya Allah'. Ucap Afiza bermonolog seraya tersenyum kegirangan.
**
Malam hari pukul 20:15, Afiza sudah berada dirumah. Afiza yang notabene nya gadis tak bisa diam ketika dirumah, kini mendadak jadi pendiam, Zizah yang melihat perubahan sikap putri semata wayangnya itu pun keheranan.
"Afiza kamu gapapa kan nak?".
"Gapapa ma, emangnya Afiza kenapa?".
"Tumben banget kamu pendiem gini, biasanya kalau dirumah petakilan nggak bisa diem".
"Ih mama, kan Afiza udah gede, masa iya petakilan terus!". Afiza bersedekap dada seraya memajukan bibirnya.
Zizah terkekeh pelan. "Oh anak mama sekarang udah besar ya? eh tapi ada yang kurang loh kalau kamu diem terus gini Fiza".
"Iya, semenjak tadi dari pondok diem, senyum, diem, senyum. Kenapa lagi nih anak?". Sahut Andre.
KAMU SEDANG MEMBACA
Uhibbuka Fillah Gus [END]
Teen FictionAfiza Nur Zahra, seorang santri yang sangat mengagumi Gus nya, Muhammad Aidan Ghazanfar. Putra dari seorang kyai besar pemilik pondok pesantren Al-Hamid. Gus muda yang paham agama dan cuek terhadap lawan jenis. Namun, seiring berjalannya waktu pera...