Bab 2a

3.7K 497 18
                                    

Percakapan riuh terdengar dari ballroom hotel. Calon mempelai laki-laki menyambut tamu-tamu yang datang dengan hangat, didampingi oleh orang tuanya. Wajah tampan dengan kulit putih makin menawan dalam balutan tuxedo abu-abu. Tidak ada yang bisa mengalahkan ketampanan calon mempelai laki-laki. Warga di sini tahu kalau Lukas terkenal sebagai laki-laki paling tampan di kota. Banyak perempuan mengincarnya, karena selain tampan juga berasal dari keluarga terpandang. Sayangnya, pilihan Lukas justru jatuh pada Cleora.

Tidak ada yang salah dengan Cleora. Gadis cantik dengan pendidikan yang bagus. Membuka sebuah toko barang antik dan juga bekerja paruh waktu di surat kabar kota. Cleora juga seorang volunteer untuk kegiatan sosial misalnya penanggulangan bencana. Selain itu dia adalah anak anggota dewan kota yang terhormat. Hanya saja, gadis itu dianggap terlalu sederhana untuk Lukas. Mereka beranggapan, kalau Lukas lebih cocok dengan Carolina yang glamour dengan kecantikan yang lebih bersinar. Sayangnya, tidak ada yang bisa menentukan kemana hati akan jatuh.

"Pengantin laki-laki kita hari ini memang sangat tampan. Semoga pernikahan membawa kebahagiaan." Banyak orang memberikan doa dan ucapan selamat.

"Terima kasih sudah datang." Lukas menjabat tangan mereka dengan berseri-seri.

Seorang perempuan berambut pendek datang, membawa ponsel Lukas. "Tuan, ada pesan masuk,."

Luka meraih ponsel dan membaca pesan. Membalas cepat lalu menyerahkan ponselnya kembali pada si asisten. Ia menatap jendela kaca lebar yang menunjukkan pemandangan luar. Merasa puas karena hari ini sangat cerah. Harusnya tidak ada penghalang apa pun pada acara pernikahannya karena cuaca pun sangat mendukung. Lukas sedang membayangkan calon mempelainya yang cantik dalam balutan gaun pengantin. Sedari pagi, mereka hanya berkirim pesan beberapa kali karena masing-masing sibuk dengan urusan persiapan pernikahan. Tapi, ia sudah mengirim buket bunga untuk calon istrinya untuk menghibur. Buket bunga Peony kesukaan Cleora.

Luka menoleh saat dari pintu masuk muncul serombongan orang. Paling depan adalah seorang polisi berseragam. Polisi itu melepas topi, berdiri di depan Julian.

"Tuan, ada kabar penting yang ingin kami sampaikan. Anda ingin mendengarkannya di sini atau kita cari ruangan lain yang sepi?"

Lukas kebingungan. "Ada masalah apa, Pak?"

Seorang laki-laki berambut putih dengan tubuh kurus merengsek maju, berdiri di hadapan polisi. "Ada apa ini? Kenapa kalian datang dan merusak acara pernikahan anakku?" Ia mendekus kesal, melirik ke sekeliling ballroom, di mana para tamu mulai berkasak-kusuk. Kedatangan polisi di acara pernikahan, tentu bukan pertanda baik.

Polisi sekarang menghadap laki-laki itu. "Maaf Tuan Dario, tapi ini benar-benar mendesak."

Dario berpandangan dengan anaknya lalu kembali menatap polisi. "Baiklah, aku beri kalian kesempatan untuk bicara. Ada apa? Katakan saja langsung di sini."

"Anda yakin, Tuan? Kita bisa bicara di ruangan lain."

Dario menggeleng. "Di sini saja. Kami tidak melakukan kejahatan, tidak ada yang perlu ditutupi."

Si polisi berdehem, bertukar pandang dengan rekannya yang baru datang. Akan lebih bagus kalau pihak Dario menurut dan mendengarkan kabar dari mereka di ruangan lain. Karena yang akan mereka sampaikan bukan berita bagus. Melihat Darion dan juga Lukas bersikukuh, mau tidak mau mereka menurut.

"Begini, Tuan. Baru saja terjadi penculikan terhadap calon mempelai wanita."

Luka mengernyit bingung. "Maksudnya?"

"Calon pengantin Anda, Nona Cleora diculik sekelompok orang tidak dikenal dan mereka melarikan diri."

Luka meraih bahu si polisi dan mengguncangnya. "Pak Polisi jangan bercanda."

Si polisi menggeleng. "Kami selalu serius."

Dario maju, meraih bahu Lukas dan menariknya mundur. "Siapa orang-orang itu? Kenapa mereka menculik calon menantu kami."

"Belum tahu, Tuan. Kami kehilangan jejak mereka, tapi dugaan sementara pelakunya adalah ... Drex Camaro."

Lutut Lukas gemetar seketika saat mendengar nama Drex Camaro. Di negara ini, tidak ada yang tidak mengenal laki-laki itu. Penjahat paling kejam dan paling ditakuti, tidak ada yang ingin bermain-main dengannya. Masalahnya, ia tidak mengerti kenapa Drex menculik Cleora. Apa yang diinginkan laki-laki itu sebenarnya.

"Pa, ba-bagaimana ini? Cleora, dia...." Tenggorokan Lukas tercekat.

Dario menepuk bahu anaknya. "Jangan takut. Ada kepolisian yang akan membantu kita. Calon istrimu, pasti kita temukan."

"Tapi, Paa. Kami nggak pernah ada urusan dengan Drex. Kenapa dia mengganggu Cleo!"

"Nggak ada yang tahu cara kerja otak Drex Camaro. Kamu harusnya paham itu, Lukas."

Lukas mengepalkan tangan, memejam dengan tubuh menahan gemetar. Dengan enggan ia mengangguk, berusaha memahami keadaan. "Di mana keberadaan keluarga Cleora?"

"Mereka ada di kantor kami," jawab si polisi. "Silakan, ikut kami kalau ingin bertemu mereka."

Pesta dibubarkan, tamu-tamu pulang, dan ballroom kembali sepi saat Lukas dan keluarganya menuju kantor polisi. Dekorasi dirobohkan, lampu-lampu diturunkan, ribuan bunga peony berserak di lantai berkarpet. Suasana yang tadinya meriah, megah, dan mewah, berganti muram dan penuh kesedihan. Meratapi pernikahan yang gagal dilakukan.

**

Drex berdiri di dekat jendela kaca dengan teralis besi hitam. Kedua tangannya berada di saku celana, mata abu-abunya menyorot tajam pada keheningan di luar jendela. Samar-samar terdengar alunan musik klasik dari ruang tengah dengan aroma tembakau menguar dari saluran udara tempat mereka berkumpul.

Tidak jauh dari tempat Drex berdiri, dua laki-laki kembar duduk di sofa. Satu berambut pirang, sedang menggosok dan mengelap pedang panjang. Di sebelahnya saudara laki-lakinya yang berambut perak, sedang mengotak-atik pistol.

Drex memikirkan tentang seorang gadis yang sekarang sedang terbaring di ranjang lantai dua. Menurut perkiraannya, harusnya sebentar lagi gadis itu bangun. Dilihat dari cara gadis itu yang menendang dan berteriak keras saat melawannya, ia yakin akan ada keributan saat Cleora bangun. Drex juga yakin, saat ini di luar sana para polisi sedang mengejarnya, dan calon suami serta keluarga Cleora pasti bersusah payah ingin menangkapnya. Drex mendengkus dalam hati. Orang-orang kota itu, selama ini selalu takut padanya, tapi di saat bersamaan untuk mengutuknya. Dirinya adalah salah satu orang yang diharapkan mati oleh mereka.

"Tuan, aku baru ingat sesuatu. Sepertinya kita ada masalah besar." Jenggala mendongak dari pedangnya dan menatap Drex serius.

Drex mengalihkan pandangan dari halaman ke pengawalnya. "Masalah besar tentang apa?"

"Kita nggak punya pakaian perempuan?"

Janitra menoleh heran pada saudaranya. Begitu pula Drex. Mereka berdua beranggapan, Jenggala sedang bergurau.

"Ini masalah serius, Tuan. Kalau nanti Cleora siuman, bukannya dia akan jadi tawanan kita? Masa setiap hari pakai gaun pengantin?"

Terdengar dengkusan dari mulut Janitra. Ia mengetuk sisi kepala saudaranya dengan pistol dan mendengar Jenggala memprotes.

"Kamu kenapa, sih? Aku bicara tentang masalah penting. Tuan diam saja, kamu memukulku! Malas mikir aku jadinya!"

Terdengar langkah kaki dari ruang tengah. Seorang laki-laki berumur lima puluh tahun dengan rambut putih dan tubuh kurus, menghampiri Drex.

"Tuan, pelayan di lantai dua mengatakan, gadis itu sudah siuman dan sedang menggedor-gedor pintu."

Drex mengangguk. "Aku akan ke sana. Baron, kamu sudah menyiapkan apa yang aku pesan?"

Baron mengangguk. "Sudah Tuan, saya tidak tahu sesuai atau tidak ukurannya. Tapi, semuanya ada di lemari."

"Kerja bagus. Tolong tambah porsi makan malam untuk satu orang lain. Meskipun aku nggak yakin kalau dia akan makan bersama kita."

"Baik, Tuan."

Baron menghilang di ruang tengah. Drex memutar tubuh, menatap ke arah tangga. Sudah waktunya untuk menemui sang tawanan yang sedang memberontak.

**

Bab 5-6 sudah tersedia di Karyakarsa

Pengantin TawananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang