Bab 5a

2.6K 422 7
                                    

Suatu hari di musim panas yang indah, satu keluarga kecil berlibur. Sepasang suami istri dan anak mereka, menyewa pondok peristirahatan di tepi hutan yang teduh. Malam hari mereka habiskan untuk bercengkrama, dan bermain kembang api. Sedangkan siang hari mereka habiskan di luar pondok untuk memanggang daging. Tidak memedulikan nyamuk musim panas yang biasanya besar-besar dan saat menggigit akan terasa gatal-gatal. Suara serangga berbaur dengan desiran daun dan gemeretak batang pohon tertipu angin, adalah suasana impian mereka untuk melepas penat.

Seorang anak perempuan berusia empat tahun, dengan rambut dikuncir berlarian ke sana kemari sambil berteriak. Sesekali ia tersandung dan terjatuh lalu bangkit lagi dengan cepat.

"Cleora, jangan pergi jauh-jauh, nanti tersesat."

"Nggak, Mama. Cleora main ke kebun."

"Awas ada binatang buas."

"Iya, Mama."

Cleora berlarian di sekitar kebun bunga yang rimbun, sementara kedua orang tuanya sedang memanggang daging dan makanan lain di halaman. Ia melihat kelinci dan berusaha menangkapnya. Kelinci putih itu berlari ke arah pemanggang daging. Cleora melompat dan berhasil menyambar kelinci sebelum jatuh di atas tanah yang keras lalu tertawa terbahak-bahak.

Ia tidak tahu kalau rumah pondok mulai mengeluarkan api. Cleora tidak paham saat asap membumbung dari pintu belakang pondok yang terbuat dari kayu.

"Sayang, apa itu? Kebakaran!" Sang mama mulai berteriak.

"Pergii! Bawa Cleora menjauh. Cepaat!"

"Cleora, ayo, Nak. Kita pergi!"

Cleora yang masih asyik main dengan kelinci, terperenyak saat tubuhnya disambar dan dipeluk sang mama. Keduanya bergulingan di tanah yang keras saat terdengar ledakan dari pondok. Yang terakhir diingat Cleora adalah tubuh laki-laki yang terpental dengan kulit terbakar.

Cleora tersengal, dan bernapas pendek-pendek. Keringat membanjiri tubuh dan ia mencercau dalam keadaan mata tertutup. Sesuatu yang lembut menekan dahi dan pipinya.

"Cleora, bangun! Cleora!"

"Tidaak! Jangan! Panaaas!" Cleora menggelepar dalam tidur.

"Cleora! Sadar!"

Cleora membuka mata saat merasakan sesuatu yang lembut menyentuh bibirnya. Ia menatap sepasang mata abu-abu yang begitu dekat dengan wajahnya. Mengerjap dan bangkit dengan terburu-buru. Dahi mereka berbenturan dengan Cleora menjerit sakit dan Drex menyumpah.

"Kenapa kamu ini?" Drex meraba keningnya.

Cleora melotot, dengan tubuh bersimbah keringat, meraba keningnya yang sedikit nyeri. "Ke-kenapa kamu ada di sini?" Ia melihat sekeliling dan bernapas lega karena mendapati ada di kursi malas dekat kolam renang.

Drex bangkit dari sebelah kursi, menatap Cleora tajam. "Kamu sepertinya mimpi buruk. Berteriak dan merintih. Aku hanya mencoba membangunkanmu."

Cleora meneguk ludah. "Be-benarkah?"

"Kebakaran. Kamu mimpi itu."

Cleora menurunkan kaki dari kursi malas, mengusap dahinya yang basah. Ia masih mengingat dengan jelas isi mimpinya. Tentang musim panas, liburan, dan api. Mimpi yang sering sekali datang dalam tidurnya. Cleora pernah bertanya pada orang tuanya, apakah mereka pernah mengalami kebakaran dulu? Sang papa membenarkan tapi tidak ingin membahas lebih lanjut, barangkali sama sepertinya sang papa juga mengalami trauma.

Drex mengamati bagaimana gadis di depannya terlihat lelah. Padahal baru saja bangun dari tidur. Cleora seperti baru saja berlari kencang puluhan kilo meter tanpa istirahat. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan gadis itu dan tidak ingin bertanya, apalagi dilibatkan dalam masalah.

Suara langkah kaki membuat keduanya menoleh.

"Tuan, Miss, makan malam sudah siap. Mari!"

Cleora menggeleng. "Aku makan di kamar saja."

Baron tersenyum tipis. "Miss, cuaca kebetulan sedang cerah. Makan malam bersama yang lain akan terasa lebih nikmat."

Cleora ingin menolak sekali lagi tapi kata-kata tertelan di tenggorokannya. Drex meninggalkan mereka tanpa kata, seolah itu pertanda kalau ia diijinkan untuk bergabung. Tidak ingin membuat tuan rumah marah dan akhirnya berdampak pada dirinya, Cleora bangkit dari kursi malas dan mengikuti arah yang ditunjukkan Baron

Di meja makan sudah ada si kembar. Keduanya mendongak heran saat melihatnya datang. Baron menarik kursi dan ia duduk sambil tersenyum lemah. Jenggala menatap tak berkedip padanya, sinar matanya berbinar penuh keingintahuan. Sedangkan Janitra bersikap acuh tak acuh, meneguk perlahan segelas anggur.

"Hei, kamu betah di sini?" tanya Jenggala.

Cleora menatapnya tak berkedip, merasa kalau itu pertanyaan yang konyol.

"Pasti belum terbiasa aja. Makanya nggak betah. Tapi, bisa aku pastikan kalau tuan kami sangat baik. Masakan Baron pun luar biasa enak. Kamu pasti betah nanti."

Cleora tidak menwab, tapi menghargai sikap Jenggala yang bersahabat. Dibandingkan dengan sudara kembarnya yang cenderung pendiam, Jenggala terlihat lebih mudah didekati.

"Cleora, kamu tahu siapa yang kamu pergoki keluar dari hotel tadi siang?"

Janitra memberikan tatapan tajam ke arah saudaranya, tapi Jenggala seolah tidak menyadarinya. Cleora mengangkat bahu.

"Nggak ada hubungannya sama aku."

Jenggala terkekeh. "Ada tentu saja. Bahkan orang yang sangat dekat denganmu. Dia itu—"

"Diam!"

Teguran Drex membungkam Jenggala. Laki-laki berambut pirang itu menutup kembali mulutnya. Drex sudah mencopot jas, menggantinya dengan kaos polo dan celana jin. Cleora yang semula penasaran dengan cerita Jenggala, dibuat terpana heran oleh penampilan Drex. Duduk di sebelahnya dan minum anggur yang dituang Baron, laki-laki itu terlihat seperti manusia pada umumnya. Bukan Drex si mafia yang terkenal kejam. Ia melirik Drex dengan gugup, dan menyadari menjadi satu-satunya perempuan yang ada di rumah ini.

Baron menghidangkan asparagus panggang dengan saos istimewa, dilanjut dengan sup kental, kentang goreng dan sepiring besar steak yang dimasak setengah matang. Aroma daging menguar di udara. Cleora mengiris dagingnya tanpa bersuara, berusaha menikmati makanannya dan mau tidak mau mengakui kalau masakan Baron memang enak.

Ia melihat kalau Jenggal dan Janitra tidak cukup makan satu porsi. Mereka menambah dengan steak lagi setelah piring pertama selesai. Ketiga laki-laki itu bercakap-cakap tentang sesuatu yang tidak ia mengerti dan Cleora memilih untuk mendengarkan, berharap menemukan informasi yang akan membantunya melarikan diri.

"Cleo, makanmu terlalu sedikit," tegur Jenggala saat melihat Cleora hanya menghabiskan setengah steaknya.

"Porsi terlalu besar," jawab Cleora.

"Kecil sekali lambungmu."

Protes Jenggala membuat Cleora menunduk. Ia meraih serbet dan mengelap tangan. Tidak menolak saat Baron menawarkan hidangan penutup berupa es krim dengan irisan buah segar. Ia melihat, hanya dirinya yang makan es krim, sedangkan yang lain lebih suka minum anggur. Ia mencecap rasa manis yang menyegarkan di lidah, dan sesaat lupa kalau dirinya menjadi tawanan di rumah ini.

Tadi Jenggala mengatakan kalau memergoki orang terdekatnya keluar dari hotel. Siapa gerangan? Memangnya apa yang salah kalau keluar dari hotel? Kalau bukan karena Drex yang menghentikan Jenggala untuk bicara, ia pasti bisa mengetahui kebenarannya.

Ia berdehem, lalu menatap Drex tajam. "Maaf menyela percakapan kalian, tapi sampai kapan aku ada di sini?"

Drex mengalihkan pandangan pada Cleora, menatap gadis itu dengan tatapan menilai. Ia tidak langsung menjawab, menggoyang gelas dan meneguk isinya perlahan. Mencecap rasa anggur yang sedikit manis di lidahnya. Mengamati dalam diam, bagaimana gadis itu terlihat sangat tertarik dengan percakapan mereka. Meskipun tidak diungkapkan, dar cara Cleora bersikap, ia tahu kalau sedang mendengarkan dengan tekun apa yang ia bicarakan bersama Jenggal dan Janitra. Bukan hanya sekedar mendengar tapi menelaah.

"Sampai aku mendapatkan apa yang aku mau."

Jawaban Drex membuat Cleora mendongak. "Apa yang kamu mau tepatnya. Dari siapa? Orang tuaku atau Lukas?"

Drex menatap tajam. "Menurutmu?"

Pengantin TawananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang