Cleora menyandarkan kepala pada jok sambil memejam. Berusaha menghilangkan bayangan Lukas dan Carolina yang bermesraan sambil masuk hotel. Ia pergi belum lama, hanya tiga bulan dan dalam waktu singkat mereka sudah melupakannya. Apakah dari dulu mereka sudah bersama tanpa sepengetahuannya, atau baru dekat sekarang-sekarang ini? Diliputi tanda tanya, Cleora menatap Drex.
"Kalian tahu dari kapan?"
Drex mengangkat bahu. "Cukup lama."
"Setelah aku pergi?"
Drex menatap Cleora tajam. "Iya, setelah kamu diculik."
"Menyedihkan."
Cleora membuang muka, menatap Jenggala dan Janitra yang berada di dalam minimarket dan meninggalkan dirinya hanya bersama Drex. Tadinya, ia berpikir dibawa ke kota untuk menemui orang tuanya, ternyata salah. Drex justru menunjukkan hal yang paling menyakitkan untuknya. Cleora bertanya-tanya, apakah kehadirannya memang tidak diharapkan oleh mereka? Sampai-sampai mereka tidak mencari keberadaannya dan bahkan sibuk bermesraan satu sama lain. Jangan-jangan, Lukas terlibat dala rencana penculikannya.
Cleora menatap Drex, menggigit bibir bawah. "Bisakah Tuan mengatakan satu hal jujur padaku?"
Drex mengedip lalu mengangguk. "Tentu. Ada apa?"
"Apakah Lukas membayarmu untuk menculikku?"
Dengan cepat Drex menggeleng. "Bukan. Mereka memang kaya tapi belum bisa membeliku."
Cleora merasakan kelegaan. Menganggap kalau Lukas memang seharusnya tidak sebejat itu. Kalau memang ingin menyingkirkannya, cukup memutuskan hubungan. Tidak perlu sampai membayar Drex untuk menculiknya.
"Apa kamu ingin menemui orang tuamu?"
Cleora terbelalak. "Bisakah?"
Drex mengangguk. "Bisa, tapi hanya dari jauh. Kamu lihat dan amati. Setelah kamu melihat mereka dan masih ingin bertemu, aku ijinkan."
Perkataan memicu tanda tanya lain dari dalam diri Cleora. Kalau memang ia bisa bertemu orang tuanya, kenapa harus dari jauh? Kenapa juga harus mengamati? Apakah tidak bisa kalau sekarang langsug bertemu? Semua pertanyaan terkumpul dalam otak Cleora, dan tidak memperhatikan saat Jenggal dan Janitra masuk dengan dua buah kantong besar berisi cemilan dan minuman dingin.
"Tuan Drex, ada keriping kentang dan minuman. Miss juga bisa makan kalau mau." Jenggala menawarkan dengan senyum tersungging. Laki-laki berambut pirang itu bersikap seolah mereka sedang piknik.
Drex mengambil sebotol air putih, dan Cleora menggeleng saat ditawari. Ia meringis karena perutnya bergolak. Seperti sedang diaduk-aduk untuk dimuntahkan. Keripik dan minuman dingin bukan sesuatu yang diinginkan sekarang. Saat kendaraan mulai meninggalkan minimarket, Cleora makin tidak tenang dibuatnya. Sikap Drex sungguh misterius, ia bertanya-tanya sebenarnya apa yang telah terjadi di sekelilingnya. Masalah besar apa yang melingkupi keluarganya? Kenapa harus dirinya yang menjadi korban?
Suasana kota yang ramai membuat Cleora tertegun. Selama beberapa bulan ini tinggal di dalam rumah besar dan terpencil, ia menjadi sedikit asing dengan bising kendaraan dan kesibukan orang-orang kota. Rumah-rumah serta bangunan yang dulu akrab dengannya, kini terasa berbeda. Apakah benar bangunan itu yang berbeda atau dirinya?
"Kita mau kemana?" tanya Cleora memecah kesunyian. "Ke rumahku?"
Drex mengangguk. "Ke rumahmu. Apa pun yang kamu lihat nanti, kuatkan hatimu."
Cleora mengangguk, meremas-remas tangannya. Makin gugup setelah mendengar peringatan yang dilontarkan Drex berkali-kali. Setelah berkendara selama setengah jam, mereka tiba di komplek perumahan elite. Mobil dengan mudah melewati penjaga yang membawa detektor. Menyusuri jalanan yang komplek yang sedikit lengang. Cleora menatap sekilas pada banyaknya papan bunga di jalan, menduga ada yang sedang menikah. Mereka tiba di depan rumah berlantai dua. Janitra memarkir mobil tepat di seberang.
Cleora tidak membuka kaca mobil, menatap ke arah rumahnya sambil mengernyit, menyadari kalau deretan papan bunga berawal dari rumahnya. Ia menajamkan pandangan dan membaca kalimat di papan bunga.
"Turut berduka cita atas meninggalkan puteri tercinta dari Tuan Haman?"
Menoleh cepat ke arah Drex. "Siapa yang mati?"
Drex menunjuk papa bunga yang lain, dengan tulisan lebih besar. "Baca yang itu."
Mengikuti arah pandang Drex, Cleora membaca papan bunga itu dan terbelalak. "Apa-apaan ini? Me-merekan kira aku mati?"
Drex tidak mengatakan apa pun, begitu pula Jenggal dan Janitra. Mereka membiarkan Cleora membaca papa bunga satu per satu dengan bibir bergetar.
"Ba-bagaimana mungkin mereka mengira aku mati? Aku pergi hanya beberapa bulan. Apa kamu yang memberitahu mereka tentang ini?" Cleora bertanya dengan suara tercekat dan dada sesak. Ia masih hidup, duduk di seberang rumah dengan papan bunga bertuliskan duka cita ditujukan untuknya. Kenapa keluargnya mengira ia mati?
"Tidak!" jawab Drex tegas. "Aku tidak pernah memberitahu mereka apa pun. Terakhir aku mengirim tiaramu ke rumah, hanya sebagai tanda kalau kamu di tempatku. Hanya itu."
"La-lalu, mereka menyimpulkan dari mana?"
Drex menatap Cleora yang memucat. Rasa kasihan timbul di hatinya. Gadis itu memang belum sepenuhnya pulih dari kecelakaan di hutan. Kalau bukan demi menahannya melakukan hal bodoh, ia tidak akan membiarkan Cleora melihat semua ini. Namun, gadis itu harus tahu kalau apa yang sebenarnya terjadi bukan seperti yang dipikirkannya.
"Sebenarnya, dari awal keluargamu tidak pernah mencarimu."
Cleora menoleh cepat. "Maksudmu?"
"Memang, rumahku tidak mudah ditemukan. Tapi, mereka bisa mencarimu kalau mau. Nyatanya, pencarian hanya dilakukan selama seminggu, setelah itu dihentikan. Beberapa bulan kamu nggak kembali, orang tuamu mengumumkan kematian."
"Tanpa menemukan jasadku?"
"Iya, tanpa menemukan jasadmu."
Entah bagaimana mulanya, Cleora menangis sekarang. Terisak perlahan dan meratapi nasibnya. Ia tidak peduli kalau Drex dan anak buahnya mengoloknya cengeng. Tapi, orang tuanya tidak seharusnya memperlakukannya seperti ini. Kenapa mereka menyerah untuk mencarinya? Bukankah ia masih anak mereka?
"Apakah karena ini, Lukas bersama Carolina?" Sebuah pertanyaan yang cukup bodoh terucap dari bibirnya. "Apakah mamaku nggak sedih, aku nggak ada? Bagaimana papaku?"
Jenggala yang berada di jok depan membalikkan tubuh dan mengulurkan ponsel pada Cleora, "Sebaiknya kamu baca berita ini. Tentang orang tuamu."
Cleora menerima dengan tangan bergetar, mengusap air mata di pipi dan mulai membaca. Perlahan, kata demi kata ia telaah. Tiba di bagian terakhir ia masih tidak percaya dan akhirnya memutuskan untuk membaca ulang. Ketiga kalinya, masih sama dan akhirnya ia menangis tersedu-sedu. Perasaannya pecah berkeping-keping. Tidak peduli meski ada Drex dan dua pengawalnya, ia hanya ingin menangis.
Cleora tidak habis pikir, bagaimana papanya menggunakan berita kematiannya untuk kampanye. Sang papa menarik perhatian publik sambil menangisi dirinya yang tidak pernah ditemukan dan dianggap mati. Padahal, mereka sama sekali tidak mencarinya. Bisa saja ia tidak percaya dengan perkataan Drex, tapi nyatanya itulah yang terjadi. Ia sama sekali tidak dianggap oleh keluarganya dan juga Lukas.
"Cleora, kita pulang?" tanya Drex lembut.
Cleora mengangguk. "Iya, aku ikut pulang." Ia melanjutkan kata-katanya dengan suara serak. "Aku tidak mungkin muncul di rumah yang menganggapku sudah mati. Lagipula, aku tidak tahu akan kemana."
Musik mengalun lembut dari stereo mobil yang melaju kencang. Jenggala sempat memprotes pada Janitra, kenapa memutar musik itu. Saat melihat Cleora yang melamun sambil menatap jalanan, akhirnya ia terdiam. Mereka mengalah demi gadis yang baru saja patah hati karena perbuatan orang tuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Tawanan
RomanceKisah kedua dari keluarga Camaro, sang mafia Drex Camaro yang menculik pengantin orang lain, Cleora dan menjadikan tawanannya. Semuanya bukan tanpa sebab, keberadaan Cleora justru membahayakan bagi banyak orang. Bagaimana kisah Cleora yang harus men...