Dario mengibaskan kemejanya yang tersetrika rapi dan licin, mencoba mencari celah seandainya ada satu benang yang kusut atau tidak terjahit rapi. Dengan puas ia mendapati kalau kemeja yang dibelinya seharga puluha juta, memang layak untuk dipakai orang sepertinya. Kemeja dengan bahan terbaik, untuk orang yang juga terbaik sepertinya. Ia selalu bangga dengan dirinya sendiri, menyebut sebagai pengusaha sukses karena bekerja keras. Baginya, berbisnis itu semacam bernapas. Harus dilakukan berulang tanpa henti, untuk membuat perencanaan, mengendalikan, dan juga memantapkan tujuan. Kalau hal itu satu saja luput, jangan harap bisa ada di posisinya sekarang.
"Pabrik kontruksi kita di wilayah Utara sudah mulai berjalan, Pak."
Laporan dari sekretarisnya membuat Dario mendongak. "Akhirnya. Kita banyak mengeluarkan uang untuk pabrik itu." Ia menghela napas lega. "Kondisi pabrik yang sudah terlantar puluhan tahun, dengan lokasi yang tidak strategis, membuat kita kesulitan membangun."
Si sekretaris mengangguk. Perempuan pertengahan tiga puluhan yang sudah bekerja untuk Dario selama hampir sepuluh tahun, terlihat puas.
"Pabrik itu dulu, sepertinya dibangun oleh pemilik lama, Pak?"
Dario mengangguk. "Memang, sahabat yang juga saudaraku. Sayang sekali, saat pabrik belum selesai dibangun, dia mati."
"Menurut desas desus yang beredar karena kecelakaan?"
Wajah Dario menggelap seketika. "Benar, saat aku tiba di sana. Saudaraku itu sudah tidak tertolong. Yang bisa aku lakukan untuknya sekarang adalah, meneruskan apa yang dicita-citakan saat kami membangun perusahaan ini. Menolong orang-orang yang susah, agar mendapatka hidup layak."
Si sekretaris menatap Dario dengan penuh pemujaan. "Pak, Anda mulia sekali."
Dario tersenyum, mengangkat bahu. "Hidup harus seimbang Mariana. Kita nggak boleh berfokus sama keuntungan pribadi, sampai lupa menolong orang lain itu wajib."
Mariana mengangguk. "Anda benar, Pak. Saya jadi terharu."
Dario tersenyum tipis, sekali lagi mengibaskan kemejanya. Ia sudah terbiasa menerima tatapan menyanjung dari orang-orang. Menerimanya dengan lapang dada, karena memang itu adalah kebenaran. Semua orang di kota ini tahu, kalau ia tidak pernah pelit dalam membagi harta untuk mereka yang membutuhkan.
Lukas muncul di ruang kerjanya tanpa mengetuk pintu. Menatap papanya dengan pandangan bosan. "Papa tahu apa yang terjadi dengan Cleora?"
Dario mendengkus. "Dia sudah menjadi istri Drex."
"Memang, kalau begitu, apakah aku sudah bisa melepaskannya? Maksudku, tidak lagi mengejarnya? Sebenarnya, aku masih tidak terima karena kekasihku justru menikah dengan penculiknya. Keadilan dari mana itu. Tapi, Papa lihat sendiri, jangankan aku. Bahkan orang tuanya pun tidak bisa melakukan apa-apa."
Dario memberi tanda pada sekretarisnya untuk pergi. Menghampiri anaknya dan menepuk-nepuk pundaknya.
"Kamu takut sama Drex?" tanyanya.
Lukas mengangkat bahu. "Siapa yang tidak? Dia seolah punya kekuasaan lebih banyak dari setengah orang di kota ini, yang digabungkan bersama-sama."
"Kalau begitu, kamu belum pantas menjadi pewarisku."
Lukas terbelalak. "Apa maksud, Papa!"
Dario mendengkus. "Maksudku adalah, aku ingin seorang pewaris yang pemberani. Bahkan melawan dunia pun berani untuk membela keluarganya. Tapi, apa yang aku dapatkan darimu, Lukas? Apaaa? Hanya anak laki-laki cengeng, yang ketakutan melakukan sesuatu. Takut pada Drex Camaro, bukan padaku? Sepertinya kamu salah didikan."
Lukas menggeleng. "Nggak, Pa. Bukan begitu, masalahnya mereka sudah suami istri. Kalau selama ini hanya bersama, aku masih bisa merebut Cleora. Paling tidak bukan istri orang. Tapi, status mereka membuatku tidak bisa apa-apa." Ia berkata dengan putus asa. Tidak mengerti dengan jalan pikiran sang papa yang menginginkannya untuk bersanding bersama Cleora.
Dario menatap anaknya dengan jengkel, meski ada setitik rasa kasihan melihat Lukas menderita. Tapi, hidup di dunia memang kejam. Kalau tidak diajari keras dari sekarang, Lukas akan menderita kelak.
"Papa tidak memintamu untuk melakukan penyerangan secara langsung. Lakukan diam-diam. Kamu lebih mengenal Cleora dari pada bajingan itu. Tahu apa yang diinginkan perempuan itu, dan apa yang dibencinya. Bisa jadi, pernikahan mereka hanya sandiwara."
Dario meninggalkan anaknya yang termangu bingung. Ia mengerti kalau anaknya bingung, tapi Lukas harus tetap diingatkan kalau jodohnya adalah Cleora dan bukan perempuan lain. Terlebih lagi Carolina. Bukan ia tidak menyukai Carolina, toh, keduanya sama-sama anak Haman. Tapi, sebagai orang tua ia lebih paham dengan siapa anaknya akan bahagia.
**
**
Cleora bertindak sebagai nyonya rumah yang pemalu. Ia sedikit kikuk saat harus meminta pelayan membantunya memoles rumah. Tentu saja, rumah yang mereka tempati sangat bagus dan mewah, hanya kurang sentuhan cantik. Di rumah orang tuanya, yang punya kuasa adalah sang mama. Kiyoko yang mengatur perabot dan membuatnya menjadi elegan. Sedikit banyak ia belajar dari sang mama dan ditambah dengan cita rasa serta selerasnya, harusnya hasilnya tidak buruk.
Ia memberikan kesan feminin di ruang makan dengan menambah vas bunga, dan meminta pelayan mengganti bunga setiap beberapa hari sekali. Ia mengganti gorden jendela, menambah lampu hias berbentuk kuncup daun yang mewah dan banyak lagi. Satu-satunya tempat yang tidak disentuhnya adalah dapur, karena itu menjadi tempat eklusif Baron.
"Apa kamu menyukai interior kamar kita?" tanya Cleora pada suaminya yang baru saja selesai mandi.
Drex mengamati sprei dengan warna cerah, tapi tidak mencolok. Ada bantal-bantal lembut yang ditata rapi di bagaian atas ranjang, karpet bulu lembut di bagian bawah, dan tidak lupa ada lampu kristal berbentuk tetesan air di langit-langit. Sepasang kursi bulat dengan meja, ada di sudut dekat jendela. Di sampingnya, pot besar berisi tanaman hidup. Tanpa sadar Drex tersenyum.
"Kenapa senyum? Nggak suka?"
Drex merangkul istrinya dan mengecup pipinya. "Suka sekali. Benar-benar ada seorang wanita di kamar ini. Dibandingkan dengan kamarku di rumah hutan, sungguh berbeda."
Cleora tergelak. Merangkul leher suaminya. Mengendus aroma after shave yang harum dan tidak menyengat. "Aku nggak pernah lihat kamar kamu di sana."
"Kalau nanti pulang, kamu bebas untuk merombak sesuai keinginan kamu."
Mata Cleora berbinar, mengecup bibir suaminya. Ada rasa bahagia karena Drex memperlakukannya dengan sangat baik. Rasa bahagia yang bahkan ia takut hanya sekedar mimpi dan akan pergi kalau ia bangun.
Drex adalah seorang mafia, atau apa pun itu sebutannya karena pekerjaannya berhubungan dengan kekerasan dan dunia hitam. Setidaknya itulah yang didengarnya meskipun tidak pernah tahu secara langsung. Namun, apapun pekerjaan suaminya, ia tidak peduli selam Drex bersamanya.
"Baiklah, aku menunggu kita pulang."
Drex mengusap pinggul istrinya, mengangkat dan membawanya ke ranjang. "Kenapa harus menunggu nanti kalau sekarang kita bisa mulai?"
.
.
.
.
.
Tersedia di google Playbook.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Tawanan
Любовные романыKisah kedua dari keluarga Camaro, sang mafia Drex Camaro yang menculik pengantin orang lain, Cleora dan menjadikan tawanannya. Semuanya bukan tanpa sebab, keberadaan Cleora justru membahayakan bagi banyak orang. Bagaimana kisah Cleora yang harus men...