Bab 1b

4K 525 11
                                    

Dencitan ban beradu dengan aspal terdengar nyaring di samping kendaraan mereka, membuat Cleora kaget. Sebuah mobil berhenti di sembarang ruas jalan. Cleora terbeliak saat melihat beberapa orang keluar dari dalam mobil dengan senjata laras panjang.

"Ap-apa yang terjadi?" tanya Cleora kebingungan. "Ke-kenapa sama orang-orang ini, Ma?"

Kiyoko menggeleng, sama bingungnya dengan sang anak. "Mama, nggak tahu."

"What the hell!" maki Haman dan memencet ponselnya. "Halo, kantor polisi. Ada gangguan di sini!"

Detik itu juga mereka menjerit saat terdengar letusan senjata. Rupanya, para pengawal mereka melakukan penembakan. Cleora menjerit, begitu juga sang mama. Suara peluru beradu dengan kaca mobil membuat kepanikan dan juga takut yang mencekam. Orang-orang yang berada di sekitar mereka, menjerit dan berusaha melarik diri, tidak ingin menjadi sasaran peluru.

Seorang laki-laki bermata abu-abu berdiri tenang sambil merokok di tengah gempuran peluru. Di sampingnya, sepasang laki-laki kembar menembaki para pengawal.

"Jangan melukai siapa pun yang berada di mobil pengantin," teriaknya mengatasi bisingnya senjata.

Laki-laki pirang mengangguk. "Beres, Tuan. Kita maju sekarang?"

Laki-laki yang dipanggil tuan mengangguk, membuang putung rokok di jalanan. Ia melangkah mendekati mobil pengantin dengan tenang. Seolah tidak ada adu tembak di sekelilingnya. Dua pengawal pengantin terjatuh dan disusul yang lainnya. Sementara mobil pengiring yang lain, banyak yang memutar arah dan melarikan diri.

Pengecut, pikiranya geli. Manusia cenderung mencari selamat untuk dirinya sendiri dan tidak peduli kalau ada keluarga atau teman yang sedang terancam.

Di dalam mobil, Cleora yang berkeringat dingin menatap sekeliling yang mencekam. Kemana mobil pengiring yang lain? Bukankah mereka harusnya menolong? Kenapa hanya para pengawal yang membantu mereka. Carolina dan yang lain? Apakah mereka selamat?

"Aaargh! Ada apa ini, Paaa." Kiyoko berteriak panik, memegang kedua telinganya yang berdengung karena suara tembakan.

"Tiaraap! Awas peluru!" Haman memerintah istri dan anaknya saat beberapa peluru memberondong mobil.

Sementara sang mama menjerit sambil menangis, Cleora tak hentinya berdoa. Keringat dingin membajiri tubuh dan telapak tangannya. Ia begitu takut akan menjadi sasaran tembak mereka sedangkan ia tidak mengerti masalah yang terjadi. Kenapa mendadak ada orang menghentikan mobil mereka dan menyerang dengan berondongan peluru. Siapa mereka? Cleora bertanya-tanya dengan benak menyimpan ketakutan. Teror mengerikan yang terjadi, membuat napasnya sesak.

Ia menjerit, saat pintu di sebelahnya didobrak. Pintu juga berusaha dicongkel. Mengandalkan keberanian yang tersisa, ia berusaha mempertahankan pintu tetap tertutup. Sekelebatan, sosok laki-laki tinggu besar yang berusaha mendobrak pintu.

"Paa, bagaimana ini?" Cleora menjerit.

Baik Haman maupun Kiyoko memucat, memandang pengepung mereka.

"Cleo, menjauh dari pintu!" perintah Haman pada anaknya.

"Ta-tapi, Pa--,"

"Mereka bisa melukaimu. Menjauh dari pintu!"

Belum sempat Cleora bergerak, pintu didobrak terbuka. Ia terbeliak, menatap seraut wajah dengan sepasang mata abu-abu yang menatapnya beringas.

"Apa mau kalian?" Haman berteriak saat pintunya juga membuka. Laki-laki itu tak lama terkulai saat tengkuknya dipukul oleh pistol.

"Papaaa!" Kiyoko dan Cleora berteriak bersamaan.

"Keluar!" Si mata abu-abu berusaha meraih tangan Cleora.

"Lepaskan aku! Lepaskan!"

Cleora berusaha mengindar dari tangkapan laki-laki bermata abu-abu, dengan sang mama berusaha memeluknya. Seorang laki-laki berambut pirang, menahan Kiyoko sambil menodongkan senjata. Cleora terus berkelit tapi sayangnya laki-laki itu sangat kuat. Dalam satu kali tarikan, Cleora keluar dari dalam mobil.

"Aargh! Mau apa kamu?!" Cleora menggunakan seluruh tenaganya untuk memukul laki-laki itu tapi sia-sia. Ia seakan sedang beradu pukul dengan baja. Ia tersentak, saat tubuhnya diangkat dan dalam satu ayuan, diletakkan di bahu laki-laki itu. "Turunkan akuuu! Lepaskan! Dasar bajingan! Apa maumu!"

"Cleoraaa!" Kiyoko berteriak, melihat anaknya diculik sementara suaminya tergeletak tak sadarkan diri. Ia ingin keluar dari mobil tapi takut dengan todongan senjata. Akhirnya, ia hanya bisa pasrah dan berlinang air mata, saat melihat anak gadisnya dimasukkan dalam mobil. "Cleoraaa!"

Suara tembakan berhenti, mobil yang semula menghadang mereka kini pergi. Kiyoko yang telah terbebas dari todongan senjata, kini meratap dan mengelus wajah suaminya sementara dari kejauhan terdengar sirine polisi. Tubuh para pengawal mereka bergelimpangan di jalanan dengan berlumuran darah.

Di dalam mobil hitam besar yang melaju dengan kecepatan tinggi, Cleora meronta dan melakukan apa saja untuk bisa bebas dari para penculiknya. Ia bahkan berusaha untuk memukul, menggigit, atau pun melukai laki-laki bermata abu-abu yang masih memeluknya.

"Dasar sialan! Kurang ajar! Turunkan akuuu!"

Dari depan seorang laki-laki berambut pirang menatap Cleora yang mengamuk dengan bosan. "Tuan Drex, apa perlu perempuan itu aku lumpuhkan?"

Laki-laki yang dipanggil Drex menggeleng. "Aku bisa sendiri."

Cleora terbelalak, saat menyadari siapa yang memculiknya ternyata Drex Camaro. Ia tidak pernah berurusan dengan laki-laki itu, kenapa mereka menculiknya? Jalan hidupnya selama ini baik baik dan dan tidak pernah ada sangkut paut dengan mafia. Ia meneguk ludah, berusaha menahan rasa takut bercampur marah.

"Drex Camaro, bajingan kamu. Lepaskan aku!" teriak Cleora, rasa marahnya mengalahkan rakut. "Kenapa kamu menculikku? Apa salahku sama kamu, hah!"

Drex tidak bergeming, menatap calon pengantin yang mengamuk. Tanpa ketara Drex mengulurkan tangan dan memukul pelan tengkuk Cleora dan tak lama perempuanm itu terkulai di sampingnya. Ia menghela napas panjang, memiringkan kepala untuk menatap perempuan bergaun pengantin yang tak sadarkan diri di sebelahnya. Satu misi telah selesai, dan ia yakin setelah ini akan banyak orang-orang yang mengejarnya.

Drex merapikan tudung yang menutupi wajah perempuan itu, membuka dan menatap lekat-lekat pada Cleora yang memejam. Wajah polos yang telah kehilangan mimpinya untuk menikah karena telah diculik. Tersenyum tipis, ia meraba pipi Cleora dengan buku jari dan berucap pelan.

"Kasihan sekali! Impianmu untuk menikah hancur, Gadis Kecil!"

Suara Drex teredam oleh deru mesin mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi menembus jalanan berkelok yang diapit oleh pohon-pohon di kanan kirinya. Deru mesin meninggalkan jejak ban di tanah kering, sementara sinar matahari menyelusup masuk melalui celah daun dari rimbunnya pohon. Dua jam berikutnya, mobil berhenti di sebuah rumah berlantai dua yang berada di tengah hutan pinus. Rumah itu dikelilingi pagar tinggi, tanpa satu pun tetangga.

Drex mengedip, menatap pengantin di sampingnya dan tersenyum simpul. "Selamat datang di rumahku, Cleora."

Pintu mobil mengayun terbuka, Drex mengangkat tubuh Cleora dan membawanya ke lantai dua.

**

Extra

Si pirang berdecak heran melihat sang tuan membopong gadis itu ke atas. "Bisa aku yang melakukan. Kenapa Tuan Drex repot-repot?"

Saudaranya si rambut perak mendengkus. "Jangan harap kamu bisa menyentuh gadis itu?"

"Kenapa?"

Tidak ada jawaban, si rambut perak melangkah tenang meninggalkan saudaranya.

"Hei, kenapaaa!"

.

.

.

(Bab 3-4 sudah tersedia di Karyakarsa)

Pengantin TawananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang