Bab 10b

2.2K 421 46
                                    

Malam ini, ia meminta Baron memasak kambing guling. Meminta Cleora turun dan makan bersama mereka di teras belakang. Ada Mateo tentu saja dan Cleora yang tidak bisa menolak bujukan bocah itu, turun dengan sedikit terpaksa. Drex mengulurkan sepiring daging kambing dan anggur untuknya.

"Makan yang banyak. Kamu terlalu kurus."

Cleora tersenyum. "Benarkah?"

"Iya, rasanya kamu bisa ambruk karena tiupan angin."

"Lucu, tapi aku cukup kuat. Bahkan untuk memukulmu sampai jatuh, Tuan Drex."

Drex mengangkat sebelah alis tapi tidak mengatakan apapun. Mereka duduk bersebelahan di kursi kayu, melihat bagaimana Jenggal dan Janitra adu minum. Mateo makan dengan lahap irisan daging yang disodorkan Baron.

"Cleora, aku akan mengajakmu ke pesta akhir Minggu ini."

Cleora yang sedang mengunyah daging, terdiam. Menatap Drex dengan bola matanya yang besar. "Pesta apa?"

"Pesta di balai kota."

"Hah, akan ada pesta di sana?"

"Benar, kalau kamu mau, aku akan mengajakmu ke sana. Bayangkan, apa yang akan terjadi kalau mereka tahu kamu masih hidup."

"Ta-tapi, apakah itu bagus?"

"Kamu nggak mau balas dendam? Maksudku, menunjukkan pada mereka kalau kamu masih hidup dan bugar? Jangan biarkan orang-orang itu membunuhmu Cleora."

Cleora mengunyah daging dalam mulutnya perlahan. Ajakan Drex sungguh membuatnya tergoda. Ia memang ingin sekali datang ke pesta dan bertemu Lukas serta Carolina. Selain itu juga bertemu orang tuanya. Ingin bertanya apa maksud mereka membuangnya. Namun, di sisi lain ia takut kalau ternyata semua di luar kendali.

"Untuk apa kamu mengajaku ke sana. Pasti bukan hanya untuk aku bukan?"

Drex mengangguk. "Memang, aku akan mengakui dengan jujur. Ada sesuatu yang aku cari di sana. Aku akan membawamu, barangkali kamu merindukan keluargamu."

Jawaban Drex yang jujur membuat Cleora menghela napas panjang. Ia menatap Mateo, lalu pada si kembar yang minum sambil berisik. Kehidupan di sini cukup tenang untuknya, tapi Cleora sadar di sini bukan rumahnya. Suatu saat ia harus pergi dan mencari rumahnya sendiri. Sebelum itu terjadi, ia harus menuntaskan dulu masalahnya.

"Baiklah, aku akan ikut denganmu. Tapi, aku nggak punya gaun dan juga peralatan make up."

"Baron tahu ukuran pakaianmu, dia akan membantumu. Untuk make up dan skincare, tulis aja apa yang ingin kamu beli dan berikan padanya. Kalau bisa besok kamu udah kasih daftarnya, biar apa yang kamu butuhkan bisa didapat tepat waktu sebelum ke pesta."

Cleora mengangguk. "Baiklah, aku mengerti."

Drex melirik Cleora yang menunduk. Gadis itu seperti memikul beban yang amat berat di pundak. Tidak pernah tersenyum, dan wajahnya selalu murung. Ia meneruskan makan, membiarkan Cleora larut dalam pikirannya.

Seperti yang diminta Drex, Cleora menulis semua barang yang dibutuhkan untuk persiapan ke pesta. Dari mulai make up, gaun, sepatu, tas, sampai barang lain seperti pengering rambut. Ia memberikan daftar itu pada Baron sambil meminta maaf kalau dirasa terlalu banyak. Baron menenangkannya sambil tersenyum.

"Tenang saja, Miss. Barang-barang ini tidak akan menguras kantong Tuan Drex."

Cleora tidak tahu seberapa kaya seorang Drex Camaro, tapi sedikit menduga kalau uang dan asetnya pasti banyak sekali. Beredar desas desus tentang bisnis ilegal Drex yang menghasilkan banyak uang. Tapi, ia tidak mau tahu karena itu bukan urusannya.

Keesokannya barang-barang yang diminta Cleora datang. Total ada lima koper besar yang diantarkan ke kamarnya. Satu koper berisi make up dan semua perawatan wajah. Koper lain berisi sepatu baru dalam berbagai model, belum lagi tas, dan juga gaun-gaun. Semuanya adalah barang dengan merek terkenal. Cleora tidak habis pikir dibuatnya. Ia hanya minta beberapa barang dan Drex membelikannya banyak sekali.

Di malam pesta, ia merias sendiri wajahnya. Meluruskan rambut dan memakai gaun merah menyala dengan sepatu senada. Untuk tas, ia memilih warna hitam yang terbuat dari kulit buaya. Semua pasti tahu kalau tas itu berharga mahal. Keluarga dan Lukas boleh membuangnya, tapi malam ini ia akan mengejutkan mereka. Gaun yang dipilihnya cukup provokatif. Tanpa lengan dengan bagian punggung terbuka. Ia memakai perhiasan dari berlian untuk menutupi punggungnya. Cukup sexy tapi juga cantik. Jujur saja, Cleora merasa sangat gugup saat menuruni tangga. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi malam ini di pesta. Di lantai dasar, Drex dan yang lainnya sudah menunggu. Sepertinya s kembar juga akan ikut, dilihat dari cara berpakaian mereka yang rapi.

"Miss Cleora, Anda cantik sekali," puji Mateo.

Cleora tersenyum pada anak kecil itu. "Terima kasih, Sayang."

Jenggala bersiul. "Wow, memang cantik dan sexy."

Cleora mengedipkan sebelah mata pada si pirang. "Terima kasih. Tapi, masih kalah sexy dengan kamu yang memakai jas."

Jenggala menepuk dadanya dengan bangga. "Aku memang sexy."

Drex berdehem, menghentikan percakapan mereka. "Kita berangkat?" Ia mengulurkan lengan pada Cleora yang menyambutnya sambil tersenyum gugup.

"Kita berangkat."

Drex menuntunnya ke mobil, dengan Jenggal dan Janitra berada di depan mereka.

"Aku akan memberimu ponsel, yang terhubung khusus pada kami. Maksudku, padaku dan si kembar. Hubungi kami, kalau ada masalah. Apa kamu mengerti?"

Cleora menatap Drex heran. "Bukankah kamu juga ada di pesta?"

Drex mengangguk. "Memang, tapi seandainya terjadi sesuatu dan kita terpisah, pastikan kamu meneleponku."

"Baiklah, aku akan mengingatnya."

Di dalam mobil, Drex memberikan ponsel yang dijanjikan. Mereka berangkat saat senja baru saja turun. Cleora memperhatikan alam yang temaram, berubah menjadi gulita. Jarak tempuh ke kota memang cukup lama, tidak heran kalau mereka berangkat lebih awal.

Apa yang akan terjadi di pesta nanti? Sanggupkan Cleora menghadapi orang tua dan Lukas yang membuangnya. Apa reaksi mereka kalau tahu, dirinya yang dianggap mati ternyata masih hidup? Cleora terjebak dalam pikirannya, hingga tanpa sadar meremas jemari Drex. Ia tetap larut dalam pikirannya, dan tidak menyadari tatapan intens Drex untuknya, serta remasan lembut di jemarinya.

**

Extra

Jenggala menatap bayangannya di cermin lalu menyeringai. "Aku sangat tampan dalam balutan jas pesta. Senjata apa yang cocok untuk dibawa ke sana?" Ia bertanya pada Janitra yang sedang memakai jas dengan warna berbeda.

"Bazoka," jawab Janitra sambil lalu.

Jenggala mengernyit. "Apa kita akan meledakkan balai kota?"

"Kalau diperlukan."

"Ide bagus, aku akan menaruhnya di bagasi."

Pengantin TawananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang