Selama hampir seminggu Drex tidak kembali ke rumah. Rasa malu yang awalnya dirasakan Cleora, memudar dan kini menjadi penantian. Ia menunggu Drex kembali dengan harap-harap cemas. Apakah pekerjaan Drex sangat sulit? Apakah laki-laki itu akan selamat? Tidak ada yang bisa diajak bicara di rumah besar ini. Para pelayan hanya muncul saat bekerja lalu menghilang secara misterius. Mateo masih kecil, tidak tahu apa pun. Sedangkan Baron, tidak akan pernah membuka mulut tentang urusan tuannya. Cleora seorang diri, terperangkap dalam imajinasinya.
Ia menatap ponsel di tangan. Tidak pernah lupa untuk membawa benda itu kemanapun ia pergi. Seakan-akan ponselnya akan berdering setiap saat dan nama Drex muncul di layar. Sayangnya, harapan itu tidak akan pernah menjadi kenyataan.
Di hari ketujuh Drex pergi, Cleora yang merasa bosan terus berada di kamar, mencoba menonton televisi di ruang tengah. Ia mencari tayangan yang menarik seperti film atau musik. Justru mendapati dirinya masuk berita. Ia menaikkan volume, dan membiarkan suara dari televisi menembus ruang tengah.
"Kami menemui pengusaha sekaligus miliarder Pak Dario. Beliau mengatakan kalau anaknya, Lukas. Masih berharap bisa menjalin hubungan dengan Cleora, yang saat ini berada dalam tawanan mafia kota. Saat kami konfirmasi tentang hubungan Lukas dengan Carolina, beliau juga mengatakan kalau mereka hanya berteman. Berikut wawancaranya."
Wajah Dario muncul memenuhi layar, berkata di depan banyak kamera yang menyorot wajahnya kalau merasa sedih dengan insiden di balai kota. Laki-laki itu memaki dan mengutuk keras Drex, mengatakan sebagai penjahat nomor satu yang wajib dimusnahkan. Dario juga mengatakan, rela mengeluarkan banyak uang untuk menangkap Drex.
"Masalahnya, siapa yang berani melawan seorang Drex Camaro? Sebelum kita menghunus senjata, kita sudah lebih dulu ditebasnya. Karena itu, kinerja penegak hukum wajib untuk ditingkatkan. Sebagai warga sipil, kita bergantung pada polisi untuk melindungi."
Dario menampilkan wajah memelas sekaligus licik, untuk mempengaruhi orang-orang agar citra dirinya sebagai orang baik dan teraniaya terlihat jelas. Kata-kata selanjutnya membuat Cleora mengernyit.
"Aku khusus berpesan pada Cleora, mungkin saja dia akan melihat tayangan ini. Nak, kamu akan baik-baik saja. Kami akan membebaskanmu dari penjahat itu dan kamu tetap bisa menikah dengan Lukas. Karena kalian ditakdirkan bersama."
Dario membungkuk lalu masuk ke gedung tempatnya berkantor, tidak meladeni pertanyaan wartawan yang bertubi-tubi. Cleora menghela napas panjang, mematikan televisi. Moodnya seketika menjadi buruk. Tidak habis pikir dengan pola pikir Dario. Bagaimana mungkin laki-laki itu menginginkannya tetap bersama Lukas setelah pengkhianatan laki-laki itu. Apakah mereka tidak berpikir bagaimana perasaan Carolina? Kakaknya sudah pasti tidak akan diam saja diperlakukan tidak adil seperti ini.
Cleora juga ingin tahu, bagaimana pendapat orang tuanya. Apakah sang papa membiarkan saja Dario menginjak-injak harga diri anak perempuannya, atau diam saja karena sokongan besar untuk jabatan ketua dewan kota? Ia tidak tahu. Entah kenapa, makin hari ia makin merasa kalau urusan di luar rumah Drex begitu pelik dan mengerikan.
"Miss, mau makan es krim?"
Baron mendadak muncul dari belakang dan membuat Cleora berjengit kaget. Ia tersenyum. "Kamu buat es krim sendiri?"
Baron mengangguk. "Es krim istimewa, dihidangkan di atas wafel panas. Kalau Miss mau yang lebih special, bisa dicampur potongan buah."
"Ah, opsi kedua lebih enak. Aku kenyang, nggak mau lagi makan wafel."
Cleora sedang menikmati es krim dengan potongan buah segar di teras rumah, mendengarkan suara-suara serangga dari hutan. Mateo sedang di kamarnya, belajar dan dirinya justru sibuk merenungi nasib sambil mengunyah. Ia tidak tahu, akan kemana nanti kalau Drex membebaskannya. Barangkali, ia minta diantar ke kota lain, mencari pekerjaan dan tinggal di sana. Rasanya pasti menyedihkan tapi setidaknya itu opsi terbaik saat ini.
Dari kejauhan terdengar deru kendaraan, dengan lampu yang menyorot ke arah halaman. Cleora meletakkan mangkok berisi es krim, bangkit dari kursi saat pintu gerbang membuka. Sebuah mobil off road hitam muncul dari kegelapan dan berhenti di halaman.
Janitra muncul lebih dulu, diikuti oleh Jenggala. Tak lama, Drex keluar dari jok belakang. Tanpa sadar Cleora tersenyum cerah, mengabaikan dadanya yang berdebar keras. Mulai kapan ia menyukai situasi di mana melihat Drex seolah melihat orang yang paling penting untuknya? Ia melambai, seolah sedang menunggu kakak-kakaknya yang baru pulang kerja. Yang membalas lambaianya adalah Jenggala. Laki-laki pirang itu setengah berlari menghampirinya.
"Hai, apa kamu merindukan kami?"
Cleora mengangguk serius. "Tentu saja."
"Wow, aku merasa tersanjung."
Cleora tergelak lalu terdiam saat melihat darah di lengan Jenggal. "Kamu berdarah?"
Jenggala mengangkat lengannya. "Ini bukan apa-apa, hanya—"
Perkataannya terputus saat Janitra memukul bagian kepalanya. "Ayo, masuk!"
"Kenapa? Aku mau ngrobrol bentar sama Miss."
"Masuk!"
Jenggal tidak bisa menolak saat Janitra menarik tangannya. Cleora menatap keduanya sambil tertawa kecil dan terhenti saat Drex berada tiga langkah di depannya. Laki-laki itu masih sama seperti minggu lalu, sehat, bugar, dan tampan. Seminggu tidak bertemu, rasanya seperti berpisah berminggu-minggu. Cleora ingin mengatakan sesuatu tapi bayangan tentang cumbuan malam itu, membuat tenggorokannya parau dan sulit untuk mengeluarkan suara. Sampai akhirnya, Drex lebih dulu menyapa.
"Sedang apa kamu di teras?"
Cleora menunjuk mangkoknya di atas meja kecil. "Makan es krim."
"Enak?"
"Sangat."
"Baron memang ahlinya membuat kudapan. Aku rasa, dia senang kamu di sini. Keahliannya terpakai."
Cleora tersenyum kecil, menggigit bibir bawah. Begitu banyak yang ingin ia ucapkan saat melihat Drex, kembali tertelan di tenggorokan. Awalnya, ia sudah merencanakan untuk bertanya ini dan itu saat bertemu, nyatanya otaknya kosong. Ia bahkan tidak ingat, apa saja yang hendak diucapkan.
"Kalian sudah makan malam?"
"Sudah, Tuan."
Drex mengulurkan tangan untuk mengusap pipi Cleora dan tangannya tergantung di udara saat gadis itu menggerakkan kepalanya secara reflek.
"Kami belum makan. Kamu mau tetap di sini untuk menemani kami atau mau ke atas?"
Cleora mengangguk keras. "Di sini. Aku akan temani kalian makan."
"Bagus, temui kami setengah jam lagi."
Drex berlalu, meninggalkan Cleora termangu sendiri di teras yang kembali sepi. Ia menghela napas panjang, menyesali kebodohannya. Drex hanya ingin mengusap pipinya, tapi Cleora ketakutan seolah laki-laki itu akan mencekiknya.
"Dasar bodoh! Kamu bahkan sudah menyerahkan tubuh, tapi takut disetuh?" Cleora memaki dirinya sendiri.
Menunduk untuk menatap pakaiannya yang sangat sederhana, berupa minidress katun yang sama sekali tidak menarik untuk dilihat. Bukankah Drex memintanya menemani makan? Kalau begitu, ia harus berganti pakaian yang pantas. Melesat masuk dan meninggalkan mangkok berisi es krim yang sudah mencair di atas meja dapur, Cleora bergegas menaiki tangga. Masuk ke kamar, membuka lemari dan memilih pakaian dengan bingung. Tidak boleh terlalu mencolok, karena bukan pesta. Tidak boleh terlalu sederhana, karena bukan ingin tidur. Hampir setengah isi lemari ia aduk-aduk, sampai akhirnya memutuskan untuk memakai rok hitam pendek, dengan blus merah. Pakaian santai tapi tetap terkesan anggun. Puas dengan pilihannya, Cleora bergegas turun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Tawanan
RomanceKisah kedua dari keluarga Camaro, sang mafia Drex Camaro yang menculik pengantin orang lain, Cleora dan menjadikan tawanannya. Semuanya bukan tanpa sebab, keberadaan Cleora justru membahayakan bagi banyak orang. Bagaimana kisah Cleora yang harus men...