Bab 24a

1.9K 381 21
                                    

Ketegangan menguar di depan wastafel antara dua perempuan cantik yang berdiri berhadapan. Mereka bertatapan dengan cara pandang yang berbeda. Cleora, menatap penuh keheranan. Sedangkan Sabrina menatap dengan kebencian disertai rasa kesal. Entah bagian mana dari dalam diri Cleora yang membuatnya benci, tidak ada yang tahu.

"Kamu mengatakan aku lemah? Apa dasarnya?" tanya Cleora.

Sabrina menjentikkan kuku. "Kamu pasti tidak bisa bela diri. Jenis perempuan yang hanya bisa menangis saat kena masalah. Menunggu Drex datang untuk menyelamatkanmu. Benarkan?"

"Aku tidak pernah membuat masalah untuk suamiku."

"Benarkah? Bukankah Drex yang tidak suka pamer, mengadakan pesta di hotel bintang lima? Semua demi apa? Hanya demi kamu."

"Itu, adalah pesta pernikaha kami."

"Tepat sekali. Kamu adalah orang kota, yang terbiasa hidup glamour. Dengan tingkat sosial yang palsu, sedangkan orang-orang seperti Drex. Ups, salah. Seperti kami, terbiasa menentang maut. Berkubang dengan senjata tajam. Menurutmu, apakah mungkin kalian serasi?"

Cleora menggigit bibir, tentu aja kalau mau jujur memang tidak ada kecocokan antara dirinya dan Drex. Tapi, bukankah sebuah hubungan akan istimewa kalau menyatukan dua hal berbeda menjadi satu?

"Serasi atau tidak, kenapa kamu nggak tanyakan langsung pada suamiku. Karena dia yang melamarku lebih dulu."

Sabrina menegang. "Apa?"

Cleora tersenyum. "Dia yang melamarku lebih dulu. Melontarkan ide untuk menikah. Tentu saja, aku nggak nolak. Karena punya suami sehebat Drex adalah impian para perempuan bukan?"

Sabrina tidak menyanggah perkataan Cleora, tentu saja itu adalah kebenaran. Tidak ada perempuan yang sanggup mengelak dari pesona Drex. Tidak peduli kalau laki-laki itu dianggap biang kejahatan. Bukankah perempuan memang selalu suka dengan laki-laki yang dianggap berbahaya? Makin berbahaya, makin sudah didapatkan, makin suka mereka. Begitu pula dirinya. Sabrina tidak habis pikir, kalau laki-laki seperti Drex akan melamar seorang perempuan. Sungguh hal yang mengejutkan untuk didengar.

"Aku mendengar desas desus, kalau kamu dulunya adalah pengantin yang diculik Drex."

Cleora mengangguk. "Itu kebenaran, bukan desas desus."

"Kalau begitu kamu punya calon suami? Kamu meninggalkannya demi Drex? Perempuan tak setia macam apa kamu?"

Cleora mulai kesal dengan caci maki Sabrina. Ia menepuk westafel, berdiri dengan kepala tegak dan tanpa senyum. "Sedari tadi kamu memakiku macam-macam. Perempuan lemah, perempuan nggak setia. Hidupku, biar aku yang mengatur. Kita nggak saling kenal, jangan saling senggol. Kalau kamu memang menyukai Drex, dan suamiku tidak menerimanya. Jangan limpahkan kekesalanmu padaku!" Meninggalkan dapur, ia menuju meja makan. Ternyata, pelayan sudah membereskan semua.

Baron muncul dengan loyang di tangan, mengatakan baru saja pergi ke supermarket untuk membeli bahan kue. Laki-laki itu tertegun, saat melihat Sabrina berdiri di dapur dengan sorot mata tertuu ke arah Cleora

"Miss perlu sesuatu?" tanyanya.

Cleora menggeleng. "Nggak ada." Ia pun berlalu, meninggalkan Baron menuju teras samping untuk bergabung bersama suaminya.

Sabrina beranjak, menyusul ke teras. Namun, tidak duduk di samping Drex melainkan ke kursi malas dekat kolam. Melirik ke arah Drex yang merangkul Cleora. Ia tidak habis pikir, laki-laki keras seperti Drex justru memilih perempuan lemah untuk dinikahi. Masih banyak perempuan yang tangguh, berani, dan juga cantik, kenapa harus Cleora?

Sabrina menatap langit yang cerah, membayangkan masa-masa mengenal Drex. Dari awal Drex datang, ia sangat menyukai laki-laki itu. Laki-laki yang menyembunyikan lukanya karena kematian ayah angkat, harus berjuang untuk mendapatkan posisi seperti sekarang. Ia ada di sana, saat laki-laki itu bekerja keras, siang dan malam untuk menbangun kerajaan bisnisnya. Apa yang didapatkannya? Bukan cinta atau hati Drex, melainkan pengkhianatan.

  **

Para laki-laki berpakaian hitam sekitar sepuluh orang, berkumpul di ruangan dengan dinding berwana bata. Mereka duduk mengelilingi meja kotak dari granit, di mana di atasnya berserak barang-barang dari mulai rokok, asbak, cerutu, sampai permen. Orang-orang itu berpakaian bagus dengan merek terkenal, menunjukkan tentang status sosial mereka. Perbincangan berkisar tentang saham, bisnis, dan sesekali nama Drex masuk dalam topik.

Salah seorang laki-laki bangkit dari sofa, berdiri menghadap ke arah teman-temannya. Di jasnya tersemat manset burung rajawai. Tidak ada yang tahu apakah itu simbol untuk perkumpulan, atau hanya manset biasa tanpa makna. Laki-laki itu berdehem, meminta perhatian. Segala gumaman dan percakapan, mereda seketika.

"Aku ada kabar baik bagi kalian?"

Suara laki-laki itu berat dan serak, seperti orang yang sedang sakit tenggorokan. Pernyataannya membuat para laki-laki yang berada di ruangan, saling menatap dengan wajah bergairah senang.

"Apakah dari sang tuan?" celetuk salah seorang laki-laki.

Laki-laki dengan manset rajawali mengangguk. "Benar, dari sang tuan."

"Ada apa, cepat katakan! Sudah berbulan-bulan sama sekali tidak ada kabar atau intruksi apa pun dari sang tuan. Padahal, kami sedang menunggu!" Seorang laki-laki bertubuh gemuk bicara lantang.

"Kalian tahu kenapa Tuan harus bersembunyi bukan? Persoalan di Sajiwa Klub, bukan hal main-main. Kalian pikir, Dante akan membiarkan masalah yang hampir membunuh istrinya, berlalu begitu saja?"

Orang-orang saling pandang dan mengangguk muram. Peristiwa Sajiwa Klub memang membuat mereka terpukul. Tapi, bukan berarti tidak bisa diselesaikan.

"Kami pikir, sang tuan punya cara untu membereskan urusan kita."

"Memang, dengan kematian Benito, lalu Geomar yang melarika diri, agak sulit bagi kita untuk bersikap terang-terangan. Sang tuan berpesan, kalian harus tetap bekerja dalam diam dan tidak menarik perhatian," ucap laki-laki dengan maset rajawali.

"Sampai kapan?"

"Apakah kami nggak bisa seperti dulu?"

Keriuhan di depannya membuat laki-laki bermaset rajawali merasa muak. Ia memandang orang-orang di depannya dengan kemarahan terpendam. Kenapa orang-orang itu hanya memikirkan soal uang kecil, sedangkan mereka bisa mendapatkan lebih banyak kalau sabar menunggu.

"Bukankah sang tuan sudah mengatakan akan membantu kita? Jangan cemas soal uang. Yang kalian cemaskan adalah Drex Camaro!"

"Kenapa dengan bajingan itu? Bukahkan kita tidak bersinggungan dengannya?"

Si laki-laki bermaset menggeleng dengan senyum kecil. "Kalian salah. Drex adalah saudara Dante. Menurutmu, apa yang akan terjadi kalau kita tidak berhati-hati?"

Semua terdiam, mencerna perkataan si laki-laki bermanset. Seorang Dante sudah berhasil membuat tuan mereka bersembunyi, apalagi kini ditambah dengan Drex. Meskipun tidak puas, tapi mereka mengerti untuk tetap diam. Demi masa depan, demi kekayaan yang lebih besar, diam adalah emas.

.
.
.
Tersedia di google playbook

Pengantin TawananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang