Di ruang depan Drex masih menghadapi penduduk kota yang penasaran dengannya. Setelah sapaannya pada para pengusaha dan pejabat, kini satu per satu dosa-dosanya dikuliti. Dari mulai pembakaran kantor polisi, pembunuhan enam orang di jalan utama, pembobolan hotel yang dihuni seorang wakil menteri yang berkunjung ke kota ini dan masih banyak lagi. Mereka tidak dapat menyebutkan satu per satu karena merasa dosa Drex terlalu banyak."Sudah bicaranya? Kalau sudah, aku harus pergi." Drex menatap sekilas pada ponselnya yang berdering dan melihat nama Cleora. "Kalian harus mengingat wajahku, siapa tahu aku akan muncul di depan pintu rumah kalian."
Orang-orang mulai berkasak-kusuk. Walikota berdiri gelisah. Sebenarnya, ia harus maju untuk menunjukkan kekuasaannya sebagai pimpinan kota ini, tapi di sisi lain ia juga merasa takut dengan Drex. Laki-laki bermata abu-abu itu memang terlihat tenang, tapi tidak ada yang tahu apa yang tersimpan di bawah permukaan. Seorang Drex yang terbiasa mengendalikan kejahatan terbesar di negara ini, tidam mungkin datang ke pesta kalau tidak punya tujuan.
"Drex, bi-bisakah kita bicara di tempat privat?"
Drex menggeleng. "Aku nggak ada waktu untuk meladenimu Pak Walikota."
"Ta-tapi, orang-orang takut padamu."
"Sudah seharusnya. Biar mereka tahu, untuk tidak mencari masalah denganku." Drex menatap Dario, kepala polisi, dan orang-orang yang bergerombol di sudut ruangan.
Dario maju, tapi ditahan oleh Vikar.
"Hati-hati."
Dario melotot. "Kamu kepala polisi dan diam saja melihatnya mengancam kita?"
Vikar menggeleng. "Tentu saja aku tidak diam saja. Tapi keselamatan penduduk kota harus dipertimbangkan."
Dario mendengkus jengkel, merasa tidak berdaya menghadapi Drex. Tapi, ia tahu kalau yang dikatakan Vikar memang benar. Mereka harus hati-hati saat menghadapi Drex. Tidak ada yang tahu, apa rencana laki-laki itu dan gerakannya tidak tertebak. Drex datang hanya berdua dengan pengawalnya dan juga Cleora. Pasti laki-laki itu tidak berniat untuk membuat kerusuhan.
Drex mengabaikan Dario, kembali berteriak. "Aku tekankan sekali lagi. Aku tahu siapa yang sudah mengambil barangku. Akan aku pastikan, kalau aku mendapatkannya. Siapa pun yang berani main-main denganku, nyawa taruhannya!"
Selagi Drex bicara, Jenggala bergerak pelan di antara orang-orang yang berkerumun. Ia mencari seseorang dan menemukan Madhavi berdiri di dekat pintu tengah. Perempuan itu menatap Drex dan menikmati pertunjukan. Jenggala mendekatinya, menyentuh lengannya dan berbisik.
"Madhavi! Tuan Drex menginginkanmu."
Madhavi terbelalak lalu menggeleng. "Nggak, aku nggak mau. Aku nggak salah."
"Salah atau tidak, tetap saja kamu harus ikut kami!"
"Tidaaak!"
Keributan terjadi saat Madhavi menolak untuk mengikuti Jenggala. Perempuan itu berkelit dan mengunakan ilmu bela diri untuk memukul Jenggal. Sayangnya, Madhavi bukan tandingan Jenggala. Dalam waktu singkat, perempuan itu sudah bertekuk lutut.
Jenggala belum berdiri dengan benar saat satu serangan lagi datang. Kali ini dari dua laki-laki yang sedari tadi mengawasi Madhavi. Satu tangan mencengkeram lengan Madhavi, dan lengan lain menghalau serangan, Jenggal bergerak sigap untuk melumpuhkan dua orang itu.
"ANGKAT TANGAN! POLISI! JANGAN BERGERAK!"
Pintu ruang pesta menjeplak terbuka. Segerombolan polisi masuk dan mengacungkan senjata ke arah Drex yang menatap mereka dengan pandangan bosan.
Vikar maju untuk berteriak lantang. "DREX CAMARO! KAMU DITAHAN KARENA TELAH MENCULIK CLEORA DAN MENIMBULKAN KERIBUTAN. MENYERAH DAN IKUT KAMI UNTUK MEMPERTANGGUNG JAWABKAN PERBUATANMU!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Tawanan
RomansaKisah kedua dari keluarga Camaro, sang mafia Drex Camaro yang menculik pengantin orang lain, Cleora dan menjadikan tawanannya. Semuanya bukan tanpa sebab, keberadaan Cleora justru membahayakan bagi banyak orang. Bagaimana kisah Cleora yang harus men...