Bab 7b

2.2K 416 14
                                    

Di ruang tengah, Drex memberi perintah pada Jenggala yang berdiri di sisi jendela dengan rokok di tangan.

"Minta penjaga mengawasi. Sepertinya dia berniat melarikan diri."

Jenggala mengangguk. "Baik, Tuan."

"Beri perintah pada Mateo juga. Untuk tidak meninggalkannya sendiri, kemana pun perginya harus ditempel."

"Bagaimana dengan Felix?" Janitra muncul dari ruang tengah. "Kita memang sudah mendapatkan setengah dari barang-barang kita, tapi justru yang paling penting belum ditemukan. Aku sudah mencoba berbagai cara penyiksaan, dan laki-laki itu menutup mulut."

Drex menghela napas, memikirkan situasi genting yang sedang mereka hadapi. Kali ini yang mereka hadapi adalah orang-orang yang melakukan kejahatan dengan lebih terorganisir dan rapi. Orang-orang itu tahu kalau mereka menawan Felix dan tidak berniat untuk membebaskan laki-laki itu.

"Aku menduga, di belakang Felix dan Cleora adalah orang yang sama," gumam Drex.

"Apa kita akan melepaskan gadis itu?" tanya Janitra.

Drex menatap pengawalnya dan menggeleng. "Aku pastikan, kalau dia dilepas maka mayatnya akan kita temukan keesokan hari di selokan dan orang-orang menuduh kita yang melakukannya. Jangan, tahan dulu di sini. Sampai kita tahu kebenarannya."

Drex meriah cerutu dan mengisapnya. Duduk di kursi kayu, ia melihat bayangan Cleora yang melintas dari lorong samping. Semua masalah berputar-putar di otaknya. Tentang Felix, Cleora, dan musuh dalam selimut. Ia mendapatkan kisi-kisi kalau semua ini berhubungan dengan pembunuh Jack Mo, ayah angkatnya. Dalang yang sama, dan sekarang sedang bermain-main dengannya. Ia harus cepat menemukan keberadaan Geomar, untuk penyelidikan lebih lanjut. Drex sudah memberinya peringatan kalau mantan walikota itu ada di kota ini.

"Jenggala, turunkan orang terbaik kita. Temukan Geomar secepatnya!"

Jenggala mengangguk. "Baik, Tuan."

"Janitra, siapkan keperluan kita. Lusa kita berangkat ke arah Utara. Bisa jadi tiga sampai lima hari kita tidak kembali."

"Baik, Tuan."

Cleora menahan napas, saat mendengarkan ucapan Drex. Ia sengaja menghentikan langkah di lorong samping dan menguping pembicaran mereka. Siapa sangka akan mendengar berita yang demikian menggembirakan. Mereka akan pergi beberapa hari, lusa berangkat. Berarti tidak banyak waktunya untuk bersiap-siap. Meninggalkan tempatnya berdiri, benak Cleora dipenuhi rencana. Ia harus mempersiapkan senjata, melewati hutan pasti tidak mudah. Menyelinap keluar tanpa diketahui Baron, ini yang sulit. Namun, Cleora berpendapat kalau ingin hasil terbaik, harus berusaha.

Keesokan harinya, ia meminta Mateo mengambilkan pisau paling tajam di dapur. Saat anak kecil itu bertanya ingin digunakan untuk apa, dengan tenang ia berujar.

"Aku suka membuat ketrampilan dari kayu dan daun, Mateo. Perlu pisau biar hasilnya bagus. Lagi pula, kamu nggak kasihan melihatku mati bosan?"

Tanpa banyak rintangan, anak itu datang dengan pisau lipat yang ternyata sangat tajam.

"Dari mana kamu mendapatkan ini?" tanyanya kagum.

"Dari Tuan Jenggala, katanya hadiah untuk saya Miss. Ini saya pinjamkan pada Miss."

Satu masalah terlewati. Cleora masih memikirkan hal lain. Ia sudah menyiapkan tas kecil beris barang-barang pribadi dan sedikit makanan serta air. Semua bisa didapatkan dengan mudah dari dapur. Cleora mengambilnya dengan bantuan Mateo tentu saja. Bocah itu akan melakukan apa pun keinginannya asalkan ia memberikan alasan yang tepat. Mengobrak-abrik lemari, ia menemukan jaket dan celana kulit. Tidak lupa sepasang sepatu kets. Cleora cukup puas dengan apa yang didapatkannya. Ia meminta pada pelayan untuk meminjamkanya santer. Pelayan bertanya untuk apa dan ia menjawab sambil lalu.

"Membuat kerajinan tangan." Ia menunjuk tumpukan kayu dengan pisau, lem dan tali di atas meja. Tanpa banyak tanya, seorang pelayan memberikannya santer.

Di hari kepergian Drex, ia masih bersikap baik. Tetap makan bersama mereka dan duduk diam, mendengarkan celoteh Jenggala. Ia berusaha sebaik mungkin untuk tidak menimbulkan kecurigaan. Tidak berusaha menentang Drex dengan melakukan hal-hal yang bisa memancing kemarahan laki-laki itu. Saat melihat kendaraan Drex meninggalkan rumah, kelegaan membanjirinya. Akhirnya, ia punya kesempatan keluar dari rumah ini.

Malam pertama kepergian Drex, Cleora menyiapkan dan memeriksa barang-barang yang akan dibawanya. Mendapati tidak ada yang tertinggal, ia memutuskan besok malam untuk melarikan diri. Untuk memuluskan rencana, ia memerlukan bantuan Mateo.

Ia berpura-pura sakit dan menginginkan makan malamnya diantar ke dapur. Meminta dengan sangat pada Mateo yang kuatir, kalau dirinya ingin minum jus buatan bocah itu. Tentu saja, Mateo menurut. Kekacauan ditimbulkan oleh bocah itu saat hampir meledakkan alat pembuat jus dan membuat Baron mengomel.

Memanfaatkan situasi saat Baron lengah, Cleora yang sudah berganti pakaian menyelinap keluar. Ia tahu, sekarang adalah jam makan malam para pelayan dan mereka tidak akan memergokinya. Rencana Cleora berhasil, ia bernapas dengan tersengal saat berdiri di luar pagar rumah Drex yang gelap. Menghirup udara malam yang segar, dengan senyum terkembang.

"Akhirnya, aku bisa keluar juga. Yang perlu aku lakukan, hanya menyusuri jalanan ini." Cleora bergumam kecil. Mulai melangkah dalam gelap. Di atas langit sinar bulan membayangi langkahnya dengan remang-remang. Ternyata, semua tidak semudah yang dibayangkan Cleora. Jalanan setapak ini penuh dengan semak-semak. Ia nyaris terjatuh saat terantuk batu besar. Mengusap luka di telapak tangan, Cleora kembali melanjutkan perjalanannya. Ia memikirkan tentang Mateo dan semoga anak itu tidak mendapat masalah karenanya.

Ia tidak tahu, sudah berapa lama berjalan. Situasi makin lama makin pekat dengan pepohonan yang rapat. Dengan cemas Cleora mengamati sekitarnya yang gelap. Sepertinya ia tersesat di tengah hutan.

"Bukannya aku menyusuri jalanan setapak? Kenapa ada di sini?"

Ia mengamati sekelilingnya yang gelap. Rasa takut menggerogoti hati. Berhara tidak bertemu binatang buas dan mati diterkam mereka. Setelah meneguk air dari botol kecil yang dibawanya, Cleora kembali melanjutkan perjalanan. Meraba dalam gelap dan berjalan secepat yang ia bisa, Cleora tidak menyadari ada banyak pasang mata menatapnya. Ia berdiri dengan kaku saat mendengar suara dengkuran keras. Ia tidak dalah dengar itu adalah dengkuran anjing atau bisa jadi srigala.

"Aku harus secepatnya keluar dari sini," gumamnya pada malam yang gelap.

Ia menjerit saat tanah yang dipijaknya ternyata longsor. Tubuhnya terguling guling dan senter di tangannya menyala terang. Ia bangkit dengan terngengah dan menyadari kalau suara dengkuran dan dengkingan makin lama makin banyak.

Cleora menahan tangis, merogoh pisau lipat di tas dan berusaha membuka dengan tangan gemetar. "Aku tidak akan mati di sini. Aku akan melawan mereka." Suaranya serak menahan tangis dan rasa takut.

Meskipun tubuhnya terasa lunglai dan tidak bertenaga, ia tetap berusaha tegak dengan piasu teracung di depan dada. Ia menjerit saat sesuatu yang besar dan hitam menerjangnya. Taring yang tajam mengoyak kakinya dan ia menancapkan pisau di binatang itu.

Aroma darah yang keluar dari kakinya, memancing lebih banyak binatang yang datang. Cleora tersengal, menangis dan meratapi nasibnya yang harus mati dikoyak binatang buas itu. Ia memasrahkan diri saat melihat beberapa binatang menerjang ke arahnya. Entah dari mana datangnya keinginan itu, ia berteriak nyaring sambil menutupi wajah.

"Drex Camaro! Tolong akuuu!"

Cleora terkapar pingsan saat tubuhnya diterjang sesuatu yang berat dan ganas. Tidak menyadari kalau beberapa orang menghampiri. Bunyi letusan senjata terdengar dan di atas Cleora berdiri Drex dengan senjata laras panjang terkokang.

**

Extra

Jenggala menyibak daun dan pepohonan yang rapat dengan senter menyala di kepala dan senjata teracung. "Semoga gadis itu masih hidup."

Janitra menatap sosok sang tuan yang berada di depan mereka. "Semoga saja."

"Berani sekali dia melarikan diri."

"Bosan mungkin."

Jenggala mendengkus. "Ya, bosan hidup!"

Terdengar suara jeritan dan Drex menghilang dalam kegelapan.
.
.
.
.
.
.
.
Di Karyakarsa sudah bab 30

Pengantin TawananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang