Cleora berbaring dengan mata terbuka menatap langit-langit kamar. Ia merebahkan diri di ranjang selama hampir dua jam dan matanya sama sekali tidak ingin terpejam. Pikirannya dipenuhi tentang Drex dan tawaran pernikahan laki-laki itu. Bom yang meledakkan mobil yang dikendarainya, memang sesuatu yang mencurigakan. Ia yakin benar, ada orang-orang yang menginginkan kematiannya. Tapi, kenapa? Ada apa? Misteri demi misteri menghantuinya. Cleora dibuat tidak berdaya dengan peristiwa yang menimpanya akhir-akhir ini.
"Kamu pasti berpikir, bisa jadi aku yang memasang jebakan bom di mobil, atau juga pertanyaan lain, seperti kenapa membiarkan orang-orang itu memasang bom di mobilku. Jawaban yang pertama, bisa kamu telaah sendiri, untuk apa aku repot-repot menyiapkan scenario untuk hidupmu. Aku bisa membunuhmu kapanpun aku mau. Sedangkan jawaban untuk pertanyaan nomor dua adalah, aku ingin melihat, sejauh mana mereka bertindak demi kamu."
"Mereka itu, siapa?" tanya Cleora.
"Banyak orang. Sekumpulan pecundang yang menginginkan kematianmu."
Cleora terbelalak. "Kenapa? Aku salah apa?"
Drex menatap Cleora dengan pandangan lembut. "Kamu tidak salah apa pun."
"Ka-kalau begitu, kenapa aku harus dibunuh?"
"Suatu saat kamu akan tahu itu. Aku sedang membantumu menyelidikinya. Sebelum mereka berhasil menyentuhmu lagi, aku ingin kamu berlindung atas namaku. Karena itu, pikirkan tentang lamaranku."
Cleora tidak habis pikir, barang apa yang diinginkan orang-orang itu darinya. Apakah ada sesuatu yang berharga yang dimilikinya? Karena ia tidak punya alasan lain. Ia tidak pernah menjadi saksi pembunuhan sampai orang-orang itu harus terancam dengan keberadaannya. Ia juga bukan kaya raya, punya harta melimpah, ataupun jabatan penting di suatu tempat yang membuat mereka menginginkan kematiannya.
Orang tuanya sama sekali tidak membantunya dalam hal ini. Ia ingin sekali bercerita tentang masalahnya, mencuruhkan perasaannya, sayangnya tidak ada orang yang bisa mendengarkannya. Semenjak berpacaran dengan Lukas, satu per satu temannya menjauh. Mereka menganggap Lukas terlalu sombong dan bukan teman yang baik. Sekarang Cleora menyadari kalau dirinya sendirian. Hanya ada Drex yang menawarkan perlidungan. Laki-laki dingin dan kejam, yang rela mempertaruhkan semuanya untuk melindunginya. Hanya, Drex dan tidak ada yang lain.
"Mungkin memang sudah takdir, aku menikah dengan Drex," gumam Cleora pada dinding kosong. Keputusan yang diambilnya memang sedikit sulit, tapi setidaknya ini adalah jalan keluar terbaik. "Menikah dengan laki-laki itu, mungkin tidak memberikan cinta tapi menawarkan perlindungan. Sepertinya, memang jalan kami harus bersama.
Setelah mengambil keputusan, secara perlahan Cleora tertidur. Bisa jadi karena terlalu banyak beban pikiran, saat tertidur pun dihantui mimpi buruk. Rumah kayu di tengah hutan, senyum mengerikan dari laki-laki yang memakai topeng badut, dan juga kebakaran. Ia terbangun dengan napas tersengah dan tubuh bersimbah keringat. Matahari sudah cukup tinggi.
Saat turun untuk sarapan, ia mendapati Drex dan si kembar sudah tidak ada. Tapi, Baron mengatakan kalau Drex menunggu Cleora di ruang keluarga lantai dua. Pertama kalinya Cleora menginjak tempat itu dan dibuat terpesona dengan pemandangannya yang luar biasa. Drex duduk di balik meja besar, sedang mengerjakan sesuatu.
"Ruangan yang bagus," puji Cleora gembira.
"Kamu suka?" tanya Drex.
Cleora mengangguk. Mengagumi sungai kecil yang baru pertama ia sadari keberadaannya. Selama ini, ia selalu melihat bagian depan rumah. Kalau pun ke belakang, ditutup oleh tembok tinggi. Tidak nmapk sungai dan binatang kecil yang melompat di sepanjang alirannya.
"Apa itu kelinci?" tunjukkan antusias.
"Iya, itu kelinci."
"Wow, rumahmu seperti kebun binatang." Cleora mengalihkan pandangan pada Drex. "Bagaimana kamu bisa membangun rumah di tengah hutan? Bukankah butuh ijin, tenaga yang sangat banyak, dan juga mahal?"
Drex tersenyum. "Semua bisa dilakukan asal ada uang."
Cleora menghela napas. "Kamu benar. Uang adalah segalanya."
Drex mengamati gadis yang berdiri di sebelahnya dengan intens. Melihat bagaimana ada tanda hitam di bawah kelopak mata. Sepertinya tadi malam, Cleora tidak tidur dengan nyenyak. Gadis ini mengingatkannya akan Athena. Umur mereka kurang lebih sama. Entah di mana adik perempuannya kini berada.
"Kamu sudah memikirkan lamaranku?"
Cleora mengangguk sambil menggigit bibir. "Sudah."
"Lalu?"
"Aku menerimanya Tuan Drex. Lamaranmu. Meskipun aku bukan perempuan yang punya harta, kedudukan, atau pun orang tua yang kaya raya, tapi aku pastikan akan setia. Selama kita terikat pernikahan."
Drex tersenyum simpul, meraih bahu Cleora dan menatap dengan mata berbinar. Senyum jenaka dan menggoda keluar dari bibirnya dan membuat Cleora terpana. Tidak biasanya laki-laki dingin dan kaku itu tersenyum demikian ramah dan cerah.
"Aku hargai janjimu. Kamu juga harus mendengar satu hal dariku. Saat kita sudah menikah nanti, kamu akan bertemu banyak orang, entah itu laki-laki atau perempuan. Mereka orang-orang berbahaya dalam duniaku. Mereka akan berusaha mendekatimu, entah untuk hal baik atau buruk, karena kamu adalah istriku. Perlindungan akan aku berikan, bukan hanya dari masalahmu tapi juga masalahku. Kalau ada perempuan datang, mengatakan hal macam-macam tentang hubungan kami, kamu harus mengingat satu hal, Cleora. Kalau kamu adalah istriku. Orang lain tidak lagi penting. Mengerti?"
Cleora mengangguk. "Mengerti, Tuan."
"Biasakan untuk menghilangkan panggilan tuan, kita suami istri. Pikirkan panggilan lain yang lebih enak didengar."
Kali ini Cleora ternganga bingung. "Aku ha-harus manggil apa, Tuan? Anu, maksudku ... aku bingung."
Drex mengusap rambutnya. "Pelan-pelan saja carinya. Karena kamu calon nyonya rumah di sini, semua tempat terbuka untukmu. Termasuk ruangan ini dan kamarku. Selama kita tinggal di sini, kita akan menggunakan kamarku. Ah, ya, ada banyak rencana untukmu di masa depan. Untuk mempermudahnya, aku sudah membeli rumah untukmu di kota."
"Kita akan tinggal di kota?" tanya Cleora.
Drex mengangguk. "Iya, kita akan tinggal di kota. Agar kamu mudah melakukan semua hal yang ingin kamu lakukan. Apa pun itu. Satu lagi—"
"Ya?"
"Upacara pernikahan kita juga di kota. Kita akan mengundang semua orang, termasuk orang tuamu dan orang tua mantan tunanganmu."
"Haruskah itu?" tanya Cleora kuatir. Tidak bisa membayangkan kekacauan yang terjadi kalau sampai orang tuanya dan Lukas tahu pernikahannya. Bisa-bisa, mereka merobohkan tempatnya menikah.
Drex mengangguk. "Mereka harus datang. Agar mereka tahu kalau kamu adalah istriku."
"Ba-baiklah Tuan."
Cleora menghela napas panjang, memasrahkan semua hal pada Drex. Ia tidak mempunyai kekuasaan apa pun di sini, bahkan mungkin hidupnya. Lepas dari keluarganya, masuk dalam pelukan Drex, sepertinya tidak jauh berbeda. Banyak orang mengatakan kalau Drex adalah laki-laki yang berbahaya, justru menurutnya tidak ada laki-laki selembut dan begitu perhatian dengannya selain Drex.
"Cleora, jangan terlalu kuatir. Semua akan baik-baik saja."
"Iya, Tuan. Aku harap seperti itu."
Drex mendekat, mengusap tengkuk Cleora dan berbisik. "Aku akan memberimu sesuatu untuk melupaka hal yang meresahkan."
Cleora menatap bingung. "Se-seperti apa, Tuan?"
"Ini."
Drex menyentuh dagu Cleora, membuka bibirnya dan menyarangkan ciuman lembut. Cleora tidak dapat menolak saat bibirnya dilumat. Ia terengah tanpa sadar dan mengalungkan lengannya di leher Drex. Mereka saling memagut, mencium, dan terhenti saat terdengar deheman keras.
"Maaf, menganggu!"
Jenggala muncul dengan senyum cerah membuat rambutnya yang piring makin terlihat terang. Senyum jahilnya sama sekali tidak menunjukkan penyesalan karena sudah menganggu. Drex menjauhkan bibirnya dari Cleora, meski begitu tetap memeluk gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Tawanan
RomanceKisah kedua dari keluarga Camaro, sang mafia Drex Camaro yang menculik pengantin orang lain, Cleora dan menjadikan tawanannya. Semuanya bukan tanpa sebab, keberadaan Cleora justru membahayakan bagi banyak orang. Bagaimana kisah Cleora yang harus men...