Bab 9b

2.4K 427 26
                                    

 Setelah apa yang dilihat hari itu, sikap Cleora berubah 180 derajat. Biasanya, suka sekali membantah dan melakukan hal yang membuat Drex marah. Tapi, belakangan ia sangat penurut. Makan teratur tanpa banyak protes, saat senggang lebih suka berdiam diri di kamar dan tidak membuat keributan. Yang diijinkan mengunjunginya hanya Mateo, itu pun tidak lama. Cleora berubah menjadoi boneka hidup yang seakan tidak punya tujuan.

Saat menatap hutan lebat di depannya, Cleora sering berpikir dengan dada sesak. Kenapa semua keluarga membuangnya. Kenapa orang tuanya tidak berusaha untuk menemukannya. Apakah ia tidak cukup berharga untuk mereka? Sanga ayah menggunakan penculikannya untuk mendapatkan simpati publik dan naik jabatan. Mereka mencaci Drex, menghinanya hingga membuat seluruh masyrakat benci, pada kenyataannya justru berbeda. Lukas dengan mudah melupakannya dan kini sibuk berkencan dengan Carolina, kakaknya sendiri. Apakah mereka benar-benar sudah menganggapnya mati? Ia berpikir seperti itu selama berhari-hari dan membuat hatinya makin lama makin muram.

"Cleora, ini aku!"

Suara ketukan dari luar membuat Cleora yang melamun tersadar. Ia terburu-buru membuka pintu dan mendapati Drex ada di depannya. Laki-laki itu sepertinya hendak pergi ke suatu tempat, memakai kemeja putih lengan panjang dengan celana kulit hitam dan sepatu but. Penampilan Drex seperti aktor yang terlahir di era delapan puluhan.

"Tuan Drex, ada apa?" sapanya lembut.

Drex mengamati Cleora dari atas ke bawah, lalu masuk tanpa banyak kata. Berdiri di pojokan, ia mengamati keadaan kamar yang rapi. Bantal dan selimut tertata dengan benar, sprei pun tidak berantakan sama sekali. Di meja kaca kecil, tidak ada tumpukan botol-botol berisi alat-alat kecantikan yang biasanya digunakan para perempuan. Ia mendesah, menyadari kalau Cleora hanya sekedar menumpang hidup di rumah ini.

"Aku akan pergi ke suatu tempat. Apa kamu mau menitip sesuatu?"

Pertanyaan Drex membuat Cleora tertegun lalu menggeleng lemah. "Nggak ada, Tuan."

Drex sekali lagi mengamati sekeliling kamar. "Tempat ini, terlalu dingin dan biasa saja untuk ukuran kamar seorang gadis. Kamu bisa mengubah tatanan, menambahi barang, atau apa pun itu yang kamu mau. Bilang saja sama Baron dan dia akan mendapatkan semua yang kamu inginkan."

Tanpa sadar Cleora tersenyum menatap Drex. Setelah pulang dari kota waktu itu, mereka jarang bertemu. Hanya sesekali saat makan malam karena Drex lebih banyak di luar bersama dua anak buahnya. Dipikir lagi ternyata Drex adalah orang yang sangat perhatian. Tidak kejam seperti yang dikatakan orang-orang.

"Terima kasih, tapi aku suka kamar ini apa adanya."

Drex berdehem sesaat. "Mungkin, segala macam pakaian memang bisa kamu pakai, tapi maksudku kebutuhanmu yang lain. Misalnya make up atau skincare."

Kedua kalinya Cleora terkejut mendengar penawaran Drex. Apakah ia tidak salah dengar? Laki-laki itu menawarkan perawatan wanita untuknya? Apakah Drex berpikir kalau ia berencana tinggal di tempat ini selamanya?

Cleora menggeleng. "Nggak perlu, Tuan. Terima kasih. Mungkin satu hal yang bisa kamu lakukan untukku. Itu pun kalau nggak bikin berat."

"Apa?"

"Aku ingin bekerja, menghasilkan uang dan hidup mandiri." Cleora memalingkan wajah ke arah jendela dan mengulum senyum. "Orang-orang sudah menganggapku mati, nggak mungkin aku kembali ke rumah. Lebih baik kalau aku hidup di tempat lain dan memulai semuanya dari awal."

Drex menatapnya tajam. "Kamu yakin?"

"Tentang apa?"

"Tidak ingin kembali ke rumah?"

Cleora mengangguk tegas, sudah mantap dengan keputusannya. "Iya, yakin sekali."

"Mereka sudah bersikap tidak adil padamu, Cleora. Kenapa kamu harus diam dan menerimanya begitu saja?"

Pengantin TawananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang