Cleora menatap hamparan hutan pinus yang teduh dari balkon tempatnya berdiri. Ada kemisteriusan yang tampak di antara rapatnya pepohonan dan juga gesekan ranting yang tersapu angin. Di dalam hutan ada banyak penghuni, entah itu anjing liar atau beruang. Awalnya, ia tidak percaya tapi setelah mengalami sendiri kecelakaan waktu itu dan nyaris merenggut nyawanya. Peristiwa yang membuatnya berubah pikiran tentang Drex.
Mengedarkan pandangan ke hutan yang luas, Cleora tidak tahu bagaimana rumah ini dibangun. Apakah mereka mempunya tenaga kerja misterius. Kalau dilihat dari banyaknya anak buah yang mengepung balai kota, Cleora yakin tentang itu. Ia sangat percaya kalau di sekitar rumah ini, anak buah Drex tersebar. Ia menyipit saat melihat sosok Drex melewati jalan samping. Laki-laki itu keluar dari rumah yang berada di belakang. Apakah itu tempat mengurung Felix dan Madhvi? Cleora menghela napas, menyugar rambutnya yang sebatas bahu dan berusaha memperingatkan diri sendiri untuk tidak banyak ikut campur. Ia hanya menumpang di rumah ini, alangkah lebih baik kalau menutup mulut.
Rumah besar dan tingkat dengan halaman sangat luas, ada deretan mobil mewah. Beberapa pelayan yang selalu terlihat bekerja, Cleora bisa menduga kalau kekayaan milik Drex sangat tidak terbatas. Apakah Drex menjalankan bisnis haram, menyelundupkan segala macam barang dari luar negeri, membunuh orang-orang yang dianggap tidak sepaham bisa membuat laki-laki itu kaya raya? Sungguh sebuah dunia yang tidak dikenalnya.
Selama hidup, Cleora hanya tahu tentang belajar dan bekerja. Satu-satunya hal yang dilakukan di luar rutinitasnya adalah menjadi relawan kemanusiaan. Menolong korban banjir, kebakaran, dan sebagainya. Tapi, sama sekali tidak menduga kalau orang seperti Drex, ada wujud nyata di dunia. Selama ini ia hanya mendengar selentingan tentang betapa kejamnya laki-laki itu. Tentang Drex yang sangat berkuasa. Tadinya berpikir itu hanya rekaan dari orang-orang yang melebih-lebihkan sosok Drex. Setelah mengenal sendiri, bahkan yang didengar tidak mencapai 50 persen dari kebenarannya.
"Cleo, sedang apa kamu?"
Suara Drex mengangagetkannya. Ia tidak mendengar langkah kaki laki-laki itu. Ia menoleh sambil tersenyum. "Menikmati angin dari balkon, Tuan."
Drex menghampiri dan berdiri di sebelahnya. "Kamu menangis?"
"Nggak, kenapa harus menangis?"
"Bisa jadi karena kenyataan yang menimpamu."
Cleora tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan tusukan rasa sakit hati yang menggelitik di dada. Apakah ia kesal karena keluarganya? Tentu saja. Ia sangat marah dan merasa tidak dihargai. Padahal, ia anak Haman dan Kiyoko, tapi mereka menganggapnya seolah anak yang dipungut dari jalan.
"Sampai sekarang aku nggak habis pikir, kenapa mereka tega berbuat begitu. Maksudku, nggak ada kesalahan besar yang aku lakukan. Selama ini aku menjadi anak yang baik. Kenapa harus dibuang?"
Drex melirik Cleora, mendengarkan dalam diam keluh kesah gadis itu. Ia berpikir, mungkin sudah saatnya gadis itu tahu yang sebenarnya. Tidak bijak membiarkan Cleora terus menebak-nebak.
"Kamu ingin tahu kenapa aku menculikmu?"
Perkataan Drex membuat Cleora berdiri tegak. Gadis itu tanpa ragu mengangguk. "Iya, Tuan."
Drex menunjuk sofa di belakang mereka. "Duduklah. Kita bicara sambil mengopi dan makan cemilan. Bukannya para gadis suka makan yang manis-manis saat sedang gundah?"
Cleora tidak tahu dari mana Drex tahu soal kebiasaan para gadis. Bisa jadi hidup laki-laki itu tidak melulu soal bisnis. Ia yakin, di hidup Drex pasti ada banyak sekali perempuan. Tidak mungkin laki-laki setampan dia tidak punya kekasih. Cleora merasa heran sendiri karena mengakui ketampanan Drex.
Baron datang membawa seteko kopi dan sepiring cup cake vanilla. Cleora merasa kalau laki-laki itu keren, bisa memasak semua hal. Dari makanan sampai cemilan.
"Enak?" tanya Drex saat melihat Cleora menggigit cup cake dan menjilati sisa-sisa gula di ujung jari.
Cleora mengangguk. "Sangat."
"Manis sepertinya."
"Sangat."
Drex menunggu Cleora menghabiskan kuenya sebelum mulai bicara. Ia sendiri menikmati secangkir kopi pahit. Tak urung ia merasa kagum dengan Cleora, setelah peristiwa di balai kota, sama sekali tidak terlihat sedih. Mungkin, gadis itu menyembunyikan rasa sedihnya dengan baik.
"Kalau aku pergi nanti, pasti kangen sama masakan Baron yang enak."
Drex mengernyit. "Pergi ke mana?"
Cleora menatapnya heran. "Pergi kemana? Tentu saja dari rumah ini. Memangnya aku harus tinggal di sini selamanya."
"Iya, kalau memang diperlukan."
Cleora menatap heran. "Kenapa, Tuan?"
"Untuk satu dan lain hal. Dengarkan baik-baik ceritaku. Ini tentang kamu, dan alasan kenapa kamu diculik.
Drex menjeda ucapannya, mengambil cerutu dari dalam kotak dan menyulutnya. Baron memang pengertian, mengerti kalau secangkir kopi memang nikmat dengan nikotin. Diam-diam ia mengamati bagaimana Cleora terlihat tegang. Sunyi di sekitar mereka, tidak ada suara apa pun selain kicau burung yang berterbangan di antara daun. Si kembar ada di bawah, menonton pertandingan bola dari televisi layar lebar dengan tenang. Tidak biasanya mereka begitu, mungkin karena tahu kalau Drex ingin bicara serius dengan Cleora.
"Setengan tahun lalu, aku mengirim barang ke negara bagian Barat. Total ada tiga truk berisi barang-barang yang susah didapatkan di sini. Saat itu, sedang ada masalah di tempat lain, dan aku bersama si kembar tidak ada waktu untuk mengawal truk. Di tengah jalan, barang kami dijegal. Sopir dan pengawalku dibunuh. Barang-barang diambil, entah oleh siapa. Aku berusaha mencari tahu, melacak orang-orang yang terlibat sampai akhirnya, bertemu dengan satu laki-laki."
Drex mengembuskan asap dan menghela napas panjang. "Laki-laki ini memberiku nama-nama untuk diselidiki. Dia juga punya koneksi kuat yang akan membantuku mencari pelaku perampasan barang, tapi dia meminta satu hal sebagai balas."
Cleora mengedip, mendengarkan cerita Drex dengan tegang.
"Kamu tahu apa yang dia minta?" Drex menatap Cleora tajam dan gadis itu menggeleng lemah. "Kamu! Dia meminta aku menculikmu dan menawanmu di sini."
Cleora memejam, tangannya terkepal. Jantungnya berdetak tidak karuan. "Ke-kenapa?"
Drex menggeleng. "Aku belum tahu apa alasannya. Dia hanya bilang, kalau kamu akan lebih baik ada di sini. Bukan di kota itu."
Cleora menghela napa panjang. "Siapa orang itu? Ma-maksudku, siapa laki-laki itu?"
"Aku tidak bisa mengatakan padamu siapa laki-laki itu Cleora. Ada banyak hal yang harus aku jaga dan rahasiakan sebagai kesepakatan kami berdua. Aku menginginkan barang-barangku kembali. Dia menginginkanmu tetap di sini. Karena itu, kamu akan tetap di sini sampai—"
"Kamu menemukan barang-barangmu, Tuan Drex?"
Drex mengangguk. "Sebagian itu, sebagian lagi, dia mengijinkanmu untuk pergi kalau keadaan sudah aman?"
Cleora berdiri, mengacak rambutnya dengan frustrasi. Baru kali ini ia mendengar cerita tidak masuk akal tentang dirinya. Bagaimana ada orang yang tidak ia kenal, berani mengatur-aturnya. Ia mempunyai keluarga, sahabat, dan pekerjaan. Ia punya kehidupan untuk dijalani. Lalu kenapa ada orang asing yang membuat semua hal dalam hidupnya menjadi rumit. Siapa orang itu? Apa salahnya sampai harus dibuat seperti ini? Setahunya, ia tidak pernah berutang pada orang lain, apalagi sampai membuat seseorang merasa sakit hati dan menaruh dendam.
Cleora menatap Drex dengan pandangan intens. "Tuan Drex, apa yang bisa aku lakukan untuk bebas dari orang itu? Maksudku, tidak menjadi targetnya lagi."
Drex tersenyum tipis. Hal yang sangat jarang terlihat dari dirinya. "Maaf, Cleo. Tapi tidak ada yang bisa kamu lakukan. Orang ini, bukan hanya tahu soal siapa pelaku perampasan barang-barangku, tapi juga mempunya petunjuk siapa pembunuh ayahku."
Cleora melotot. "Ka-kamu punya ayah?"
Drex mengangkat sebelah alis. "Tentu saja. Kamu pikir aku lahir dari batu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Tawanan
RomansaKisah kedua dari keluarga Camaro, sang mafia Drex Camaro yang menculik pengantin orang lain, Cleora dan menjadikan tawanannya. Semuanya bukan tanpa sebab, keberadaan Cleora justru membahayakan bagi banyak orang. Bagaimana kisah Cleora yang harus men...