"Enak, Tuan." Cleora menggigit daging yang ditusuk pakai garpu.
Drex melakukan hal yang sama dan mencecap rasanya. Tidak jauh berbeda dengan masakan Baron. "Lumayan."
"Supnya juga enak."
"Cleora, aku ingin meminta satu hal padamu."
Cleora mengangkat wajah dari piringnya. "Iya, Tuan?"
"Sepertinya, kamu harus berhenti memanggilku Tuan, kita sudah menikah. Bukankah ada panggilan lain yang lebih cocok?"
Cleora mengedip bingung, mengunyah daging dengan perlahan. Permintaan Drex membuatnya sedikit kebingungan. Ia bukannya tidak ingin memanggil Drex dengan sebutan lain, tapi sepertinya tidak ada yang pantas untuk digunakan.
"Ada satu, Tuan," ucapnya lambat-lambat.
"Apa?" Drex menusuk daging dan menguyahnya. Menatap istrinya yang terlihat bingung dengan tatapan geli.
"Itu, Sa-sayang."
"Baiklah, itu panggilan yang cocok."
Cleora terbelalak. "Tuan, nggak keberatan dipanggil, sayang?
"Tidak! Kenapa harus keberatan? Kita suami istri, dan aku juga akan berusaha memanggilmu begitu."
Semua berubah terlalu cepat bagi Cleora. Kemarin, ia masih seorang gadis dengan nasib buruk yang nyaris mati karena bom. Malam ini, ia adalah istri Drex Camaro dan sedang mendiskusikan panggilan untuk mereka.
Cleora tersenyum, mengambil satu buah roti dan mencelupkannya ke dalam saos keju sebelum memakannya. Sepertinya, menikah dengan Drex adalah sebuah anugrah besar untuknya dan ia sedang bersyukur atas itu.
Keesokan harinya, mereka chek out dari hotel. Semua pegawai hotel berjajar di lobi dan membungkuk saat mereka keluar. Selain Drex dan Cleora, juga ada Baron, Mateo, dan tentu saja si kembar. Mereka menggunakan satu mobil dengan si kembar saat meninggalkan hotel. Cleora menatap jalan-jalan kota yang ramai, menyipit karena silaunya matahari.
Setelah keluar dari hotel, ia membuka ponselnya. Tidak ada pesan atau panggilan, karena memang tidak ada satu pun orang yang tahu nomor barunya. Kendaraan mereka melewati gedung dewan. Cleora terpikir tentang sang papa dan apa yang dilakukan keluarganya. Apakah mereka masih marah dengannya? Selanjutnya melewati gedung yang ia tahu adalah milik Dario. Apakah Lukas ada di dalam gedung? Ia mendengkus, entah kenapa merasa yakin kalau mantan tunangannya itu sedang tidak bekerja. Sekarang baru disadari, kalau Lukas ternyata bukan tipe pekerja. Lebih banyak keluyuran di luar untuk minum atau bermain dengan teman-teman kaya-nya. Entah apa yang membuat Cleora dulu menyukainya.
Cleora menyadari mereka tidak ke arah jalan menuju rumah, melainkan komplek mahal di kota. Ia tidak sempat bertanya saat kendaraan berhenti di depan rumah besar berlantai tiga dengan cat warna putih. Ada dua penjaga di depan pintu yang dengan sigap membuka gerbang.
Kendaraan berhenti di teras, Drex mengajak Cleora turun. Saat menginjakkan kaki di halaman luas, Cleora kagum dengan teras rumah yang disanggap empat pilar besar. Ia hendak bertanya soal rumah in, tapi Drex berkata lebih dulu.
"Selamat datang, Sayang. Ini rumah kita."
Cleora terbelalak. "Ini rumah kita?"
Drex mengangguk, meraih tangan istrinya dan membawanya masuk. "Kita akan tingga di sini untuk beberapa saat. Pulang sesekali ke rumah di tengah hutan untuk berlibur. Bisa dikatakan, waktu kita aka banyak dihabiskan di sini."
"Kenapa?" tanya Cleora sambil mengamati interior rumah yang mewah dan megah. Semua furniture terbuat dari kayu asli yang diukir dan elegan. Sofa besar, lukisan, pembatas ruangan berupa lemari kaca putar dengan kayu yang dipelitur mengkilat.
"Karena kamu perlu bersosialisasi." Drex meraih bahu istrinya dan mengusap pipinya dengan lembut. Hanya ada mereka berdua di ruang tengah, si kembar dan yang lainnya menghilang tanpa suara. "Kamu bisa melakukan banyak hal kalau tinggal di sini. Berbeda dengan rumah kita di hutan."
Cleora tersenyum. "Padahal, aku suka tinggal di sana."
"Aku pun sama, tapi untuk kelancaran bisnis. Rumah ini cocok. Kamu bisa melakukan apa pun yang kamu mau. Merombak dekorasi, menambah furniture, atau membeli barang apa pun. Bebas."
Cleora tidak bisa menahan rasa bahagianya. Untuk pertama kalinya, merasa sangat dicintai. Padahal, Drex sama sekali tidak pernah mengucapkan kata cinta untuknya. Itu tidak penting, seiring berjalannya waktu ia yakin kalau suaminya akan benar-benar mencintainya.
"Nyonya, ada kolam renang dan kolam ikan!" Mateo muncul dengan wajah berbinar. Cleora meninggalkan suaminya dan mengikuti Mateo.
Drex berdiri di tempatnya, menatap punggung istrinya yang menjauh. Ia merogoh ponsel dan melakukan panggilan cepat.
"Aye, saudaraku. Bagaimana kabar keponakanku?"
Terdengar suara Dante dari telepon. "Keponakanmu baik-baik saja. Bagaimana? Pernikahannya berjalan lancar?"
"Iya, lancar."
"Aku dan Blossom tidak sabar ingin bertemu ipar kami."
Drex tersenyum. "Kita akan bertemu segera, setelah aku menangkap Geomar."
"Aye, semoga secepatnya. Karena aku mendapat informasi, menteri turun dari jabatannya. Apakah menurutmu dia terlibat?"
"Bisa jadi, kirimkan data menteri dan biarkan aku selidiki."
"Aye!"
***
Extra
"Apa kamu mendengarnya?" Jenggala menyenggol tulang rusuk Janitra.
"Apa?"
"Tuan memanggil sayang pada istrinya."
"Lalu?"
"Bukankah itu romantis? Tuan kita ternyata sangat romantis. Aku jadi ingin punya istri. Eh, mau kemana kamu? Aku belum selesai bicara!"
Janitra bergerak menjauh, meninggalkan Jenggala yang masih mengguman tidak jelas.
.
.
.
.
Tersedia di google playbook. Yang sudah membeli buku, akan dikirim segera.https://play.google.com/store/books/details/Nev_Nov_Pengantin_Tawanan?id=IYy0EAAAQBAJ
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Tawanan
RomansaKisah kedua dari keluarga Camaro, sang mafia Drex Camaro yang menculik pengantin orang lain, Cleora dan menjadikan tawanannya. Semuanya bukan tanpa sebab, keberadaan Cleora justru membahayakan bagi banyak orang. Bagaimana kisah Cleora yang harus men...