Asap rokok membaur dengan asap cerutu. Aroma tembakau dan alkohol mendominasi udara di dalam ruangan. Beberapa laki-laki duduk di sofa besar dengan meja kayu panjang berlapis kaca di depan mereka. Botol-botol berisi minuman keras berjajar dengan toples berisi cemilan. Beberapa pelayan tampak keluar masuk untuk memenuhi permintaan orang-orang. Ada yang memesan sushi, steak, dan makanan berat lainnya. Tidak ada yang peduli dengan berat badan mereka yang berlebihan dengan lemak menggelambir di perut dan paha, membuat jas yang mereka pakai membengkak.Orang-orang itu sibuk bicara tentang proyek, uang, dan juga kesempatan besar untuk mendapatkan jabatan. Tidak ada yang peduli kalau obrolan mereka terdengar sangat mengerikan bagi orang tertentu. Mereka tidak peduli asalkan bisa mendapatkan semua yang mereka inginkan.
"Apa kamu sudah mendengar kabar tentang Drex Camaro?" Seorang laki-laki berjas cokelat mengisap rokok dan bertanya pada orang yang duduk di seberangnya. "Dia menangkap Felix."
Laki-laki berjas biru mengangguk. "Aku sudah mendengarnya, sama seperti Cleora. Tidak ada yang tahu kemana bajingan itu membawa mereka!"
Gumaman kembali terdengar di antara mereka. Ada yang mengernyit, tak sedikit yang saling pandang sambil berdecak.
"Apa Felix akan buka mulut?"
"Bisa jadi, kalau disiksa."
"Tidak peduli seberapa hebatnya Drex, tidak akan bisa menemukan barang itu."
"Bagaimana dengan gadis yang ditawannya?"
Kali ini semua mata tertuju pada laki-laki yang baru saja mencopot jasnya. Menyadari semua pandangan terarah padanya, laki-laki itu tersenyum tipis. Jenis senyuman yang diharapkan mampu menenangkan semua orang. Ia harus menunjukkan rasa tenang pada orang-orang di depannya, kalau tidak ingin dihabisi. Orang-orang ini memang terlihat ramah, tapi sejujurnya mereka sangat kejam dan tidak segan membunuh untuk membungkam mulut orang yang dirasa mengancam. Dirinya harus hati-hati, kalau tidak ingin terkena masalah. Sudah banyak hal buruk yang terjadi padanya, tanpa perlu ditambah masalah lain.
"Kalian tidak usah pikirkan gadis itu. Sudah ada orang yang menangani," jawabnya pelan.
"Kamu tidak takut Drex akan membunuhnya?"
Laki-laki itu mengangkat bahu. "Aku rasa Drex tidak sebodoh itu, membunuh gadis yang tidak tahu apa pun."
"Kamu ingin menyingkirkan gadis itu? Menumbalkannya?"
"Kalau diperlukan."
Pernyataan dingin laki-laki itu tidak bisa meyakinkan semua orang tapi tidak ada yang membantah. Mereka saling pandang, memutuskan dalam diam untuk menunggu. Tidak ada gunanya merasa panik sekarang, karena tidak ada yang tahu di mana keberadaan Drex. Laki-laki kejam itu tidak bisa ditebak langkahnya, sementara ini mau tidak mau mereka mengorbankan Felix. Sedangkan nasib Cleora, ditentukan sendiri oleh gadis itu, apakah bisa tetap hidup atau tidak, tergantung keberuntungannya.
**
Waktu terasa berjalan lambat bagi Cleora. Ia tidak tahu hari, tidak peduli pada waktu. Satu-satunya yang menjadi fokus utamanya adalah bagaimana bisa keluar dari rumah Drex. Di rumah besar ini, nyaris sepi setiap saat. Drex bersama dua pengawalnya sering bepergian. Kadang hanya sehari, tapi di lain waktu bisa berhari-hari. Sekali Cleora melihat mereka pulang dalam keadaan berlumuran darah. Tidak ada yang tahu apa yang sudah mereka lakukan di luar.
Teman Cleora di rumah ini hanya Mateo.Anak laki-laki itu setia menemaninya berjalan-jalan di sekitar rumah. Sesekali ia mengajari Mateo menulis dan membaca, setidaknya kegiatan itu mengalihkannya dari rasa takut dan marah karena terkurung di rumah Drex.
Malam-malam saat berbaring di ranjang, ia sering memikirkan orang tuanya dan Lukas. Mereka pasti mengkuatirkannya. Apakah mereka menangisinya? Masih terekam di otaknya, jeritan sang mama saat melihatnya diangkat oleh Drex. Ia berharap sang mama tidak jatuh sakit karena dirinya.
Apakah Lukas baik-baik saja? Apakah laki-laki itu menderita dan bersedih karena memikirnnya? Ia ingin sekali memberi kabar pada kekasihnya itu, kalau dirinya masih hidup dan sedang berjuang untuk bisa keluar dari sini. Sayangnya, ia tidak tahu harus berbuat apa. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan sekarang adalah mengamati keadaan dan berusaha mencari celah untuk keluar dari rumah ini.
"Mateo, kamu percaya kalau di hutan itu ada binatang buas?" tanya Cleora saat mereka berjalan-jalan di halaman depan.
Mateo mengangguk. "Percaya, Miss."
"Kenapa? Bisa jadi itu hanya kebohongan?"
Kepala kecil Mateo menggeleng cepat. "Nggak, Miss. Saya pernah ketemu beberapa binatang. Waktu itu saya pikir anjing, saya kejar dan ternyata srigala. Untung ada Tua Drex, kalau tidak pasti saya sudah mati diterkam."
"Aneh juga kenapa membangun rumah di tengah hutan?"
"Biar aman, Miss. Tuan Drex tidak suka diganggu, tidak suka keributan. Kalau ada yang membuatnya tidak senang, tidak segan-segan akan mengusir orang itu.'
Sesuatu menggugah dalam diri Cleora mendengar penuturan Mateo. "Drex tidak suka keributan?"
Mateo mengangguk. "Iya, Miss."
"Pasti tida suka ditentang juga."
"Tuan Drex akan marah kalau ada yang berani menganggunya. Saya mendengar dari Pak Baron, Tuan Drex bisa membunuh orang yang membuatnya kesal."
Senyum tersungging di bibir Cleora. Ia menyadari ada satu hal yang bisa membuat Drex marah dan megusirnya. Bukahkah di sini tidak ada satu pun perempuan. Cleora tahu pasti ada alasan di baliknya. Drex tipe orang yang tidak suka keributan dan seorang perempuan bisa membuat satu masalah yang besar dengan hanya satu tindakan.
Cleora menoleh saat terdengar pintu pagar membuka dan tak lama mobil hitam besar memasuki halaman. Dari dalam muncul Drex dengan dua pengawalnya. Cleora tetap berdiri di tempatnya, menolak untuk pergi. Ia ingin membuktikan pada laki-laki itu kalau tidak takut dengan apa pun, bahkan Drex sendiri.
"Selamat sore, Tuan Drex!" Mateo menyapa dengan riang.
Drex menghentikan langkah di depan mereka, bertanya dengan suaranya yang dalam. "Sedang apa kalian?"
"Berjalan-jalan, Tuan," jawab Mateo nyaring.
Drex menatap Cleora dan gadis itu membuang muka. Tanpa mengatakan apa pun, meninggalkan keduanya di halaman. Jenggala maju, mengusap rambut Mateo.
"Aku punya mainan baru untumu. Ayo, ikut aku!"
Mateo mengangguk gembira. "Benarkah, Tuan?"
"Kapan aku bohong."
"Asyik!"
Cleora mengamati Drex dan yang lainnya masuk ke rumah, tertinggal hanya dirinya di halaman. Otaknya berpikir cepat tentang rencana untuk mengacaukan kedamaian di rumah ini. Ia teringat tumpukan pakaian baru di lemari yang disapkan Drex untuknya. Dari pakaian tidur, gaun, bahkan bikini. Ia tersenyum simpul, bergegas naik ke kamar dan menjalankan rencananya.
Dari tempatnya berdiri, Drex melihat Cleora menaiki tangga. Wajah gadis itu terlihat berbinar-binar. Ia mengernyit, merasa heran melihatnya. Ia merasa aneh, karena Cleora yang biasanya selalu memberontak, akhir-akhir ini terlihat lebih kalem. Makan, tidur, dan berjalan-jalan di sekitar rumah dengan Mateo, tidak ada yang aneh dengan keseharian gadis itu.
**
Di Karyakarsa sudah bab 28
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Tawanan
RomanceKisah kedua dari keluarga Camaro, sang mafia Drex Camaro yang menculik pengantin orang lain, Cleora dan menjadikan tawanannya. Semuanya bukan tanpa sebab, keberadaan Cleora justru membahayakan bagi banyak orang. Bagaimana kisah Cleora yang harus men...