Tiba di bawah, Drex dan yang lain belum muncul. Ia berinisitif membantu Baron tapi laki-laki itu menolaknya.
"Sebaiknya, Miss duduk saja di sofa, menunggu Tuan Drex turun. Nanti saya buatkan cemilan yang enak."
Cleora terbelalak. "Aku sudah makan. Tadi juga makan es krim. Kenyang."
"Tenang saja, Miss. Cemilan ini enak dan tidak akan terlalu membuat kenyang."
Cleora menghela napas panjang, menuruti perkataan Baron. Ia mengenyakkan diri di atas sofa dan berpikir kalau selama tinggal di sini, tak ubahnya seperti anak bungsu. Baron adalahnya ayahnya dalam arti kata yang lain. Laki-laki itu merawatnya, memberinya makan, dan selalu memastikan dirinya senang. Ia menatap jendela yang gelap, membayangkan sosok papa dalam ingatannya. Haman adalah papa yang baik, memberikan semua yang ia butuhkan, hanya saja tidak pernah ada kedekatan emosional antara mereka. Haman selalu sibuk bekerja, dan jarang sekali di rumah apalagi untuk bercengkrama.
Cleora mengingat bagaimana dulu melewati hari. Pagi kerja, sore pulang, malam berkencan dengan Lukas. Hari libur ia gunakan untuk menjadi pekerja sosial di panti asuhan atau panti jompo. Sang mama sangat sibuk dengan pekerjaan sebagai nyonya dewan. Menghadir banyak acara, pertemuan, dan belum lagi arisan. Mereka hanya bertemu saat makan malam, dan hanya sekali atau dua kali akan dilewati dengan makan bersama. Selebihnya, mereka menjalani hidup sendiri-sendiri.
Ingatan Cleora tertuju pada kakak perempuannya. Carolina yang cantik, dambaan semua laki-laki bujangan di kota. Mempunyai usaha garmen dengan merek fashion sendiri. Glamour, sexy, dan menawan, tidak heran kalau Carolina dianggap perempuan paling cantik di kota. Ia tidak heran kalau akhirnya Lukas jatuh cinta padanya.
"Hei, kamu melamun?"
Jenggala muncul dan mengaggetkannya. Cleora mengangguk. "Iya, sedang berpikir."
Laki-laki pirang itu duduk di sampingnya. "Tentang keluargamu?"
"Hah, kok tahu."
Jenggala mengangkat bahu. "Beritanya ada di mana-mana. Mereka menginginkanmu kembali dan menikah dengan laki-laki licik dan kurang ajar itu!"
"Jenggala! Tutup mulut!"
Drex muncul dengan celana panjang dan kemeja hitam. Terlihat gagah seperti laki-laki malaikat dalam film romatis. Cleora menahan napas saat melihatnya. Drex menghampiri Cleora, mengamati gadis itu. Jenggala menyingkir diam-diam ke meja makan.
"Kamu sudah tahu tentang Dario?" tanya Drex.
Cleora mengangguk. "Sudah."
"Bagaimana menurutmu?"
Pertanyaan yang ambigu dari Drex membuat Cleora kebingungan. Ia berpikir sesaat sebelum menjawab. "Bukannya aku menjadi tawanan di rumah ini?"
Drex memasukkan kedua tangan dalam saku. "Sebenarnya, aku sudah mendapatkan barang-barangku kembali. Secara garis besar, perjanjianku dengan laki-laki itu juga selesai. Aku tidak akan melarang kalau kamu ingin pergi dari sini."
Cleora tidak menjawab, menunduk menekuri lantai. Akhirnya tiba waktu di mana dirinya dibebaskan. Entah kenapa, ia sama sekali tidak senang. Ia hanya menggeleng saat Drex menarinya mengobrol di meja makan. Dadanya terasa sesak, merasa sengsara tak ubahnya anak kecil yang diusir dari rumah. Ia menatap ke arah ruang makan, di mana Drex duduk menghadap ke arahnya dengan Jenggal dan Janitra bicara cepat tentang bisnis.
Pandangan mereka bertemu, untuk kali ini Cleora tidak memalingkan wajah. Ia ingin mengatakan pada Drex melalui pandangan mereka yang bertemu, kalau dirinya tidak ingin pergi dari sini. Sayangnya, bukan haknya untuk memutuskan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Tawanan
RomansaKisah kedua dari keluarga Camaro, sang mafia Drex Camaro yang menculik pengantin orang lain, Cleora dan menjadikan tawanannya. Semuanya bukan tanpa sebab, keberadaan Cleora justru membahayakan bagi banyak orang. Bagaimana kisah Cleora yang harus men...