Bab 19b

1.9K 416 34
                                    

Di lantai dansa, Drex tidak dapat menahan rasa gemas saat melihat istrinya yang setengah mabuk. Cleora berputar-putar dalam pelukannya sambil terkikik. Wajahnya memerah dengan sikap yang penuh rayuan. Sesekali Cleora mengecup pipinya, di lain waktu bahkan dengan berani menggesekkan tubuhnya pada kejantanannya. Drex merasa seolah dirinya sedang ditantang untuk menahan kesabaran.

"Berapa banyak wine yang kamu minum?" tanyanya.

Cleora mengerjap. "Berapa banyak? Segini?" Dua jarinya terangkat di udara.

"Kamu mabuk."

"Nggak, hanya sedang menikmati pernikahan kita."

Drex tersenyum tipis, meremas lembut pinggang istrinya yang ramping. "Kamu menikmati acara kita?

"Tentu saja, Tuan. Aku merasa seperti princess dan kamu adalah pangeranku."

"Senang kalau kamu menikmatinya. Semoga kamu bahagia."

Kata-kata Drex tertelah oleh tawa Cleora. Saat musik berubah menjadi hentakan gembira, Cleora menjerit dan berjingkrakan di tempatnya. Tidak peduli pada orang-orang ia meliukkan tubuh dan menari dengan gembira. Drex berusaha untuk tetap memegang jemarinya karena tidak ingin istrinya terjatuh. Drex memberi tanda pada Jenggal yang berdiri tak jauh dari lantai dansa. Tak lama, laki-laki pirang itu datang membawa nampan berisi air putih dan obat penawar alkohol.

"Apa ini?" tanya Cleora saat gelas diulurkan Drex untuknya.

"Minumlah sedikit, dan telan obat ini. Pesta kita masih panjang, jangan sampai kamu tersungkur duluan di lantai dansa."

"Aku nggak mabuk."

"Sedikit. Ayo, jadi istri yang baik dan jangan membantah."

Cleora mencebik tapi tetap meminum air yang disodorkan Drex. Setelah menelan penawar mabuk, ia kembali menari. Drex membiarkannya dan hanya memegang tangannya dari samping. Sampai akhirnya Cleora mengaku kelelahan dan ia membimbingnya ke meja mereka.

"Aku sangat bahagia, Tuan Drex." Cleora memeluk Drex dan tanpa malu mengecup bibir laki-laki itu. Untunglah, meja mereka kosong dan tidak ada satupun orang bersama mereka.

Drex mengusap rambut istrinya. "Terima kasih. Sudah bahagia."

"Hihihi, jadi pengantin tawanan bukan hal buruk ternyata. Jauh lebih baik dari pada berada di antara keluargamu tapi mereka menatap seolah aku seonggok sampah yang layak untuk didaur ulang."

Suara Cleora yang awalnya senang berubah sendu. Drex mengusap wajahnya. "Kenapa jadi sedih?"

Cleora menggeleng. "Mereka nggak mengaku soal bom. Menganggap kalau itu sabotase dari orang luar. Padahal, jelas-jelas mobilnya terparkir di depan rumah. Bayangkan jadi aku, Tuan Drex. Apa kamu tidak sedih?"

Drex menangkup wajah Cleora. Mengusap perlahan dari dahi sampai bibir. Ia menyukai lekuk wajah Cleora yang terlihat biasa saja, tapi anehnya sangat cantik di matanya. Apakah Cleora sadar betapa imiut dan menggemaskan dirinya?

"Cleora, kita akan memecahkan misteri tentang kamu satu per satu. Aku janji."

Cleora tersenyum. "Terima kasih, Tuan."

Baron datang membawa Mateo dan mereka mengucapkan selamat pada kedua mempelai.

"Aku sudah menyiapkan kado untukmu, Miss." Mateo berucap dengan bangga.

"Wah, benarkah? Aku menunggunya. Kamu sudah makan, Mateo?"

Mateo menggeleng. "Belum, Miss. Tuan Janitra baru saja menjemputku datang."

"Kalau begitu, kita makan bersama," ucap Baron. Memanggil beberapa pelayan untuk menghidangkan makanan.

Drex meneguk minumannya perlahan, menatap istrinya yang tertawa bersama Mateo. Ia menyukai tawa Cleora, lebih dari apa pun. Tidak suka saat gadis itu bersedih dan menangis. Dari ujung matanya ia melihat Janitra dan bangkit dari kursi.

"Baron akan menemani kalian. Aku akan menyapa para tamu."

Cleora tersenyum dan mengangguk, lalu kembali makan sambil berbincang dengan Mateo serta Baron. Drex menuju tempat pengawalnya, menyingkirkan beberapa orang laki-laki yang mencegat langkahnya. Ia mengenal mereka sebagai orang-orang kaya di kota. Saat ini, ia sedang tidak ingin bicara dengan mereka.

"Apa semua aman?" tanyanya pada Janitra.

Janitra mengangguk. "Sejauh ini aman. Di luar, terjadi beberapa bentrokan antara orang-orang kita dengan beberapa penjahat tidak dikenal tapi, berhasl dilumpuhkan."

"Siapa mereka?"

"Mengaku hanya penjahat kota yang ingin melihat pesta."

"Kamu percaya itu?" tanya Drex.

Janitra tersenyum tipis. "Tentu saja tidak, Tuan. Saat ini Jenggala sedang menanganinya. Semoga saja polisi tidak ikut campur, Tuan."

Drex mengangguk, menatap kepala polisi yang sedang mengobrol dengan Dario. Laki-laki itu tidak mungkin tidak tahu kalau ada kerusuhan di luar. Bisa jadi sengaja membiarkannya karena ingin mengacaukan pestanya. Drex tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

"Janitra, kamu sebar orang-orang kita untuk mencari tahu apa yang dilakukan polisi. Semakin diam mereka, semakin mencurigakan."

Janitra mengangguk. "Baik, Tuan."

Laki-laki berambut kelabu itu membalikkan tubuh dan meninggakan Drex yang berdiri tertegun di dekat dinding. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang terhitung cukup tenang untuk sebuah pesta pernikahan. Rupanya, orang-orang tahu sedang berada di mana. Setidaknya, itu membuatnya cukup tenang. Jangan sampai mereka melakukan hal yang menyulut kemarahannya dan membuatnya meledakkan tempat ini.

"Tuan Drex, masih ingat saya?"

Suara perempuan yang feminin membuat Drex menoleh. Ia menatap Carolina, terdiam untuk beberapa saat. Bukankah perempuan itu tadinya memakai gaun putih, kenapa berubah menjadi merah dengan belahan dada yang pendek? Kapan Carolina berganti pakaian?

"Apakah Tuan Drex berkena untuk mengobrol dengan saya?"

**

Extra

Jenggala dan Janitra menatap beberapa orang yang mereka tangkap dan dikurung di sebuah gudang kosong. Jenggala mendengkus, menatap saudaranya.

"Mau kita apakan mereka?"

Janitra menatap laki-laki botak yang meronta di lantai. "Mereka belum mengaku?"

"Belum? Kita pukul?"

Janitra mendengkus. "Jangan buang-buang tenaga dan waktu. Pesta pernikahan masih panjang dan kita belum makan serta minum."

"Ah, benar juga. Jadi?"

"Masukkan anjing-anjing dan lepas. Kita lihat bagaimana mereka menghadapi mereka."

Jenggal tersenyum licik. "Wow, kamu memang kejam, bro."

Saat tiga ekor anjing dibawa masuk ke ruangan, orang-orang itu menatap ketakutan. Jenggala maju, mengusap leher salah satu anjing.

"Karena kalian memilih untuk menutup mulut, dengan terpaksa kita main keras. Kita lihat, apakah kalian masih tutup mulut saat gigi anjing ini mengoyak kulit kalian."

Teriakan menyayat dan penuh ketakutan terdengar dari dalam ruangan saat Jenggal dan Janitra melepaskan anjing dan menutup pintu di belakang mereka.
.
.
.
.
.
Kabar baik, cerita ini akan PO tanggal 25 nanti

Pengantin TawananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang