Bab 10a

2.3K 418 12
                                    

Madhavi membawa Drex ke ruangan pribadinya. Perempuan itu menolak untuk melepaskan tangan laki-laki yang menggenggamnya. Baru kali ini ia merasa sangat terlindungi di saat tempatnya terjadi kerusuhan. Drex dengan tenang membawanya keluar dari perkelahian, menyingkirkan pada laki-laki yang berusaha ingin menjamahnya. Hati Madhavi dibuat bergetar. Ia memutari laki-laki itu, membuka kain sari yang menutupi tubuh dan membiarkan dadanya yang putih terlihat menyembul. Biasanya para laki-laki akan melotot saat melihatnya membuka kain, tapi Drex berbeda. Laki-laki ini justru memalingkan wajah ke arah jendela bertirai merah.

"Kamar yang bagus."

Madhavi tersenyum, mengayunkan lengannya di sekeliling leher Drex. "Siapa namamu, Tampan. Begitu berani menolongku."

Drex menatap tanpa senyum. "Apakah seringa da perkelahian di tempat ini?"

Madhavi mengangkat bahu, dadanya ikut terangkat. "Saat-saat tertentu. Tapi sepertinya malam ini paling ganas. Biasanya, dipicu oleh laki-laki mabuk. Apa kamu tidak minum malam ini?"

"Tidak, aku baru saja datang saat tirai panggung dibuka."

"Wah-wah, aku merasa beruntung bisa mempunyai tamu sepertimu." Jemarinya bergerilya, turun ke dada Drex yang bidang. Madhiva membasahi bibir, merasa tertarik pada Drex yang luar biasa tampan. Tidak peduli dengan sikapnya yang dingin. Laki-laki lain akan bertekuk lutut saat melihatnya, tidak sabar ingin melucuti pakaiannya. Baru kali ini ia menemui laki-laki yang bahkan menyentuhnya pun tidak. "Kamu berminat minum sesuatu yang dingin?"

Drex menggeleng. "Tidak, aku harus pergi."

"Eit, kita belum selesai mengobrol." Madhavi mendekatkan tubuhnya, tanpa malu menggesekkan tubuhnya. "Apa kamu nggak merasa panas? Mau buka kemeja?"

Drex menatap perempuan yang tidak sabar ingin bercinta dengannya. Dalam hati ia merasa geli karena tidak menyangka semudah ini menggoda seorang Madhavi. Ia melepaskan pelukan perempuan itu dan tanpa banyak kata mengangkat Madhavi ke ranjang dan membaringkannya. Ia tersenyum kecil, mengusap pipi dan dagu Madhavi yang merona.

"Aku suka laki-laki yang main secara terang-terangan." Tangannya kembali melingkari lengan Drex, tidak sabar ingin melumat bibir laki-laki itu.

"Sabar, malam masih panjang," bisik Drex. Meraih selendang Madhavi. "Kita akan bermain sangat liar dan panas. Aku pastikan kamu berteriak puas."

Madhavi menggigit bibir. "Be-benarkah?"

"Ehm, harus ikuti caraku."

Drex mengikat tangan Madhavi dengan seledang. Menyingkap kain di bagian bawah dan memastikan tidak ada senjata. Lalu turun dari atas tubuh Madhavi.

"Kamu mengikatku, untuk apa?" desah Madhavi.

Drex menatap tajam. "Untuk Felix."

Tepat saat itu, musik di luar terhenti. Madhavi yang semula menggeliat, kini terbelalak. Menatap Drex dengan pandangan tajam.

"Siapa kamu?"

"Siapa aku nggak penting. Yang aku perlu tahu, di mana kalian menyembunyikan kiriman dari Selatan. Orang-orangmu menghentikan kiriman itu, membajaknya, dan menyembunyikannya. Kamu, Felix, dan beberapa orang lagi terlibat."

Madhavi terbelalak lalu menghela napas panjang. "Siapa kamu? Kenapa menuduhku?" Ia meronta, berusaha terbebas dari belitan selendang. "Aku hanya pengelola klub. Mengerti apa aku soal kiriman barang."

"Benarkah Madhavi? Aku punya foto-fotomu saat berkumpul dengan Felix. Kalian membahas sesuatu? Untuk kamu tahu Felix ada di tanganku."

Madhavi kaget sampai tidak bisa bicara. Menelan ludah perlahan. "Kamu Drex Camaro?"

"Binggo!"

Madhavi memucat lalu berteriak. "Toloong! Toloong aku. Toloong!"

Drex membiarkannya berteriak. "Percuma, tidak akan ada yang mendengarmu. Mereka saat ini sedang sibuk melerai perkelahian."

"Kamu mengacaukan tempat ini!"

"Benar sekali. Akan lebih kacau lagi kalau anak buahku menyulut api. Ayo, Madhavi. Pilih tempat ini atau kesetian pada kelompokmu. Terserah."

Madhavi menggigit bibir, memaki dalam hati karena sudah kecolongan. Ia sudah diingatkan berkali kali kalau Drex sedang gentayangan untuk mencari orang-orang yang mengambil barangnya. Ia tidak pernah menduga kalau laki laki tampan dan menawan ini ternyata Drex. Bukankah orang-orang suka menggambarkannya sebagai manusia kejam dan suka membunuh? Berpenampilan awut-awutan dan berambut pirang? Drex yang ada di hadapannya, jauh dari kesan itu.

"Kamu menemui orang yang salah. Aku tidak tahu menahu soal barang itu."

Drex mengedip. "Benakah? Lalu, untuk apa kamu bertemu Felix?"

"Itu-itu hal lain."

"Terus berkelit tidak akan membuatmu selamat, Madhavi. Perlu kamu tahu, aku bukan orang yang mudah kasihan dengan perempuan." Drex menekan kaki Madhavi dan jeritan kesakitan terdengar nyaring di kamar. "Baru kaki, apa sekarang aku berlanjut ke leher?" Ia mencengkeram leher Madhavi dan membuat perempuan itu kehabisan napas.

Tangan Madhavi menggapai-gapai udara, menggeleng dan merintih untuk meminta ampun. Drex melonggarkan cekikannya dan Madhavi bernapas tersengal.

"Bu-bukan aku yang mengambil barangmu. Ta-tapi mereka, orang-orang itu. Aku nggak kenal, aku hanya membeli apa yang mereka tawarkan."

"Alkhohol milikku?"

"Iyaa, dan tembakau. Tapi, yang lain aku sungguh tidak tahu." Madhavi menggeleng keras.

"Orang-orang itu, siapa mereka?"

"Orang-orang kota, pengusaha, dan setiap kali bertemu mereka memakai topeng. Felix pasti mengatakan hal yang sama denganku."

Drex mengendurkan cengkeramannya. Menatap Madhevi tanpa kata. Ia lebih suka membunuh orang dari pada membiarkannya bicara, tapi dalam kasus ini berbeda. Madhavi seorang perempuan bagaimanapun juga.

"Bagaimana aku bisa bertemu mereka?"

Madhavi menghela napas. "Minggu depan, ada pesta di balai kota. Mereka biasanya ada di sana."

"Kamu datang?"

Madhavi mengangguk.

"Bagus. Aku akan membiarkanmu hidup untuk menyampaikan pesan kalau aku datang ke pesta itu. Jangan lebih dari itu Madhavi, harus kamu ingat, aku bisa membakar tempat ini kapa pun aku mau, kalau kamu banyak bicara!"

Drex menjauh dari tempat tidur, membiarkan Madhavi tetap terikat. Tiba di dekat pintu terdengar teriakan.

"Drex, bawa gadis itu! Gadis yang kamu culik. Dia adalah kartu truf!"

Drex tidak menjawab, keluar dan menutup pintu dengan rapat. Ia menyusuri lorong, menuju tempat perkelahian. Di sana, banyak manusia bergeletakan di lantai, ia hanya melihat sekilas sebelum melanjutkan langkah menuju mobil, di mana Jenggala dan Janitra sudah menunggu.

Madhiva mengatakan ada pesta Minggu depan di balai kota. Ia bisa datang ke sana dan membawa Cleora. Kenapa harus ada Cleora? Apa maksudnya dengan mengatakan kalau gadis itu adalah kartu truf? Apa yang dilakukan gadis itu sampai ingin dibuang oleh mereka? Beribu pertanyaan muncul di benaknya dan ia sama sekali tidak punya jawaban.

Saat menculik Cleora, ia punya pertimbangan sendiri. Ada deal-deal yang tidak bisa ditolak dari pekerjaan itu. Namun, saat melihat Cleora dibuang oleh keluarganya sendiri, rasa iba merayapinya. Gadis itu tidak tahu apa-apa. Selalu berpikiran baik terhadap setiap orang, terlibat dalam konspirasi dari orang-orang serakah dan jahat.

Drex mengamati dalam diam, bagaimana sikap Cleora yang berubah akhir-akhir ini. Gadis itu cenderung lebih diam, dan menutup diri. Jiwanya seolah meredup karena kesedihan. Ia tidak menyalahkannya kalau sampai begitu, karena siapun akan mengalami hal yang sama, pastis ama sedihnya seperti Cleora.
.
.
.
.
Di Karyakarsa sudah bab 33-34

Pengantin TawananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang