Bab 8a

2.3K 446 16
                                    

"Bagaimana?"

"Belum siuman, Tuan. Tapi, demamnya sudah mulai reda."

"Bahaya untuk nyawanya?"

"Saya kira, dia sudah melewati masa kritisnya. Semoga bisa secepatnya sadar."

Selama beberapa hari, Cleora dilanda demam dan hanya terbaring di ranjang. Drex membawa seorang dokter dan suster untuk merawatnya. Ada gigitan anjing di tangan dan kakinya, serta tubuhnya luka-luka karena cakaran. Dengan tubuh yang penuh luka dan kulit lebam, Cleora pingsan selama berhari-hari.

Tidak ada yang tahu, kapan gadis itu akan siuman. Dokter sudah mengupayakan yang terbaik. Drex menawarkan diri untuk membawa ke rumah sakit yang lebih besar dan lengkap tapi ditolak oleh sang dokter.

"Yang sakit bukan hanya tubuhnya, tapi juga jiwanya. Dia harus punya semangat hidup. Sepertinya, pasien ini tidak ingin sadar kembali."

Perkataan sang dokter membuat Drex tertegun. Ia menatap Cleora yang berbaring dengan perban membalut tubuh. Terlihat kecil dan pucat di atas ranjang besar. Sebenarnya, gadis ini mati atau hidup, tidak ada urusan denganya. Ia hanya perlu mengubur di tanah kalau memang Cleora tidak selamat, tapi nuraninya menolak untuk bersikap kejam. Apa yang baru saja didengar dari dokter membuatnya berpikir.

Setelah semua orang meninggalkan kamar dan hanya tersisa dirinya bersama gadis yang sedang tak sadarkan diri, Drex mendekat. Meraih tangan Cleora dan meremasnya. Jari jemari gadis itu terlihat mungil dalam genggamannya. Ia mengusap wajah Cleora yang pucat, mengingat saat pertama kali membawanya ke rumah ini. Sangat cantik dalam balutan gaun pengantin. Hari ini, kecantikan itu disingkirkan rasa sakit.

Ia menyelusuri tubuh Cleora, menyadari kalau terlihat sangat kurus. Apakah Cleora tidak pernah makan selama di rumah ini, ataukah gizi makanan tidak ada yang masuk ke tubuh karena terlalu tertekan? Drex tidak tahu. Cleora bergerak dan Drex menarik genggamannya tapi jemari gadis itu mencengkeram kuat.

"Mama, Mama, sakiiit. Maaa!"

Drex menghela napas panjang, mendengar gadis itu mengigau. Sepertinya, Cleora memang merindukan keluarganya. Entah dorongan apa yang membuat Drex mengusap kening Cleora dan berbisik lirih. "Kalau memang kamu ingin bertemu keluargamu, cepatlah sadar."

Cleora terus merintih dalam tidur. Drex bangkit dengan salah tingkah. Ia ingin menarik tangannya tapi Cleora terus menggenggam kuat. Akhirnya, ia hanya bisa duduk dan menunggu gadis itu kembali pulas.

Di lantai bawah, Baron menatap Mateo yang menunduk. Semenjak insiden Cleora di hutan, bocah itu tidak berhenti menyalahkan diri sendiri.

"Kamu nggak mau makan juga?" tegur Baron.

Mateo menggeleng. "Miss masih sakit."

"Memang. Kamu berencana mau mati kelaparan kalau Miss Cleora nggak siuamn?"

Lagi-lagi Mateo menggeleng. "Aku salah, ha-harusnya awasi Miss." Air mata bocah itu menetes dan membasahi pipi.

Baron menghela napas panjang, dari kesal menjadi kasihan sekarang. Ia mengerti Mateo tertekan, meskipun tidak ada yang menyalahkan dirinya, anak itu tetap bersedih. Terlebih saat melihat kondisi Cleora yang belum stabil. Mateo menganggap, dirinya lalai menjaga Cleora.

"Tuan Drex tidak menyalahkanmu. Kenapa kamu menangis?"

"Ta-tapi, Miss belum siuman."

"Dia akan siuman sebentar lagi." Jenggal muncul, menatap makanan di dalam piring yang masih utuh dan bocah yang sedang duduk dengan air mata berderai. Mendengar ucapannya, Mateo mendongak penuh harap.

"Be-benarkah, Tuan?"

Jenggal mengangguk. "Mana pernah aku bohong padamu. Tuan Drex sedang merawatnya dan aku yakin, paling lambat besok dia akan siuman. Sebaiknya kamu makan yang banyak, karena begitu Miss Cleora bangun, kamu harus menjaganya."

Pengantin TawananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang