"Papa—"
"—Bu Nire, El, maaf. Lagi-lagi ngerepotin," Lazuar sengaja memotong panggilan Zavian, dia buru-buru menghadap Nire dan El begitu saja, "Makasih banyak atas bantuannya."
Zavian terpaksa menelan kekecewaan, tapi ia memang sudah terbiasa diabaikan begini sehingga dalam benaknya dia hanya menganggap bahwa Lazuar memang tak dengar suaranya. Namun, Lucy sepertinya paham perasaan Zavian, jadi dia menggantikan Lazuar dengan berdiri di sebelah ranjang situ walaupun sama sekali tak diberi atensi. Zavian memalingkan wajahnya, entah mengapa ada rasa kesal di dadanya, mendadak dia jadi teringat Sarona hanya karena kedatangan orang baru ini.
"Ngga apa-apa, Pak. Sebagai tetangga, emang udah seharusnya saling bantu gini. Apalagi setelah Mbak Rona udah ngga ada, saya jadi ngerasa punya tanggung jawab buat jagain Vian," Nire tersenyum ramah, lantas melirik pada Elvan yang seberusaha itu menyembunyikan berengutannya, "El juga gitu. Ya, kan?"
Karena ada sikutan yang tiba-tiba saja menyenggol rusuknya, Elvan dipaksa mengangguk kikuk, bahkan ketika tatapannya tak sengaja bertemu dengan tatapan Zavian, ia menolak.
"Cepet sembuh, ya, Vian. Nurut sama Papa, obatnya juga diminum rutin, makannya juga jangan sembarangan. Ya?" Nire menyambung lagi, ia kini mengelus sebelah lengan Zavian beberapa kali, baru berpaling menuju Lazuar dan Lucy, "Kalo gitu, saya nganter El ke sekolah duluan, ya, Pak, Bu."
Setelah mendapat anggukan dari Lazuar dan Lucy, Nire pun buru-buru mengajak Elvan agar keluar ruang inap Zavian.
"Papa," Namun, setelah Zavian hanya ditinggal dengan Lazuar dan Lucy, dia justru merasa takut, "Vian kan tadi bilang sakit, tapi Papa ngga mau denger. Vian tadi udah ngga kuat, jadi pas bangun ternyata udah di sini. Papa jangan marah, ya?"
Lucy menunggu tanggapan Lazuar, tapi yang dia dapati hanya air muka penuh kemurkaan, disusul dengan napas tersengal dan tangan-tangan terkepal. Karena kasihan dengan Zavian yang sepertinya sudah paham suasana seperti apa ini, Lucy jadi menawarkan diri untuk berada di tengah keduanya.
"Papanya Vian ngga marah, kok," Lucy tersenyum sumringah, tapi Zavian menganggapnya sebagai suatu ancaman, "Nah, sekarang, Vian istirahat lagi aja, ya?"
"Tante siapa? Siapanya Papa?" Ternyata, Zavian sama sekali tak gentar menyuarakan kegelisahannya, dia begitu saja menembak tepat sasaran, "Kenapa ada di sebelah Papa terus?"
"Oh iya, kenalin, Tante ini atasan sekaligus temen lama Papanya Vian. Vian boleh panggil Tante Lucy aja," Lucy masih tersenyum selebar mungkin, "Maaf kalo Tante lancang, ya."
Lucy mengerti sikap ajaib Zavian yang dimaksud Lazuar salah satunya baru terjadi ini. Dia terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya dan sebagai orang normal Lucy harus bisa memaklumi.
Zavian mengerjap sebentar, dia tidak menanggapi Lucy, tapi tatapan penuh harapnya masih mengarah pada Lazuar.
"Papa kenapa—"
"—malu-maluin aja kamu," Lazuar memutus, nadanya meninggi beberapa oktaf, "Ngga malu kamu sering-sering ngerepotin Bu Nire sama El? Muka El udah keliatan masam banget tadi. Ngga sadar kamu?"
"Tapi, Vian ngga boong, Pa. Vian emang sakit—"
"—kenapa cuman sakit? Harusnya sekalian mati aja—"
"—Laz!" Lucy segera menyambar, ia benar-benar tak habis pikir dengan Lazuar yang bisa semudah itu menyakiti perasaan Zavian, "Vian ini anakmu, bisa-bisanya kamu enteng banget bilang gitu sebagai seorang Ayah?"
Meskipun lanjutan Lucy disampaikan sambil berbisik, Zavian tetap bisa mendengarnya.
Lazuar sengaja menghindari kejaran tatap Lucy, ia memalingkan wajah ke arah lain, baru berdesis, "Abis ini, beres-beres. Sakitmu itu ngga parah, bisa dirawat di rumah. Ngga usah manja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mimosa [✓]
Подростковая литератураJUDUL SEBELUMNYA [SORROWFUL MISERY] Zavian tidak bisa memilih dia akan terlahir di keluarga siapa dan dalam keadaan bagaimana, tapi takdir Tuhan ternyata suka sekali bermain dengannya. Ia dibenci semua orang hanya karena dia tidak beruntung. Di usia...