13; memilah keadaan

664 65 11
                                    

Seharian ini, Zavian memang tidak keluar kamar. Selain karena titah Lazuar, dia juga memilih untuk mendekam di sini supaya tidak dipukuli lagi. Zavian terduduk di ranjangnya, ia hanya menyelimuti lututnya, tapi kedua tangannya memeluk diri sendiri. Beberapa jam ini dia tidak melakukan apa-apa selain melamun, memandangi jendela, atau bermain lego, bahkan mempelajari buku-buku sekolah sekaligus membaca novel-novel klasik. Zavian menyibukkan diri, sengaja mengalihkan pikiran dari rasa takut dan sosok Sarona.

"Vian laper," Lantas, Zavian memegangi perutnya, selain sudah berbunyi sejak tadi, di sana juga mulai terasa sakit, "Papa kayanya ngga masak."

Lazuar memang sengaja mengunci kamar Zavian dari luar, ia berharap anak itu meintrospeksi kesalahannya dan bisa merasa jera. Namun, apa yang ada di pikiran Zavian tidak seperti ekspektasi Lazuar. Dia tahu dikurung seharian merupakan hukuman untuknya, tapi dia tidak bisa merenungi apapun selain berfokus menikmati dunianya sendiri lagi.

Namun, sepersekian detik kemudian, Zavian dengar pintu depan dibuka, artinya Lazuar sudah pulang.

"Kamu kenapa buntutin aku terus?"

Lucy tidak membalas Lazuar, setelah melepas sepatu dan meletakkan tas, dia bergegas mencari keberadaan Zavian—yang tidak dia temukan di penjuru rumah, "Vian mana? Katamu, hari ini dia ngga sekolah, kan?"

"Kamu ke sini ternyata cuman demi anak yang ngga suka sama kamu itu?"

Lucy tidak butuh ejekan Lazuar, tapi dia tidak bisa melangkah semakin masuk ke dalam—bagaimanapun, belum ada ikatan resmi di antara mereka, dia tidak mau menimbulkan fitnah apapun di lingkungan ini.

Alhasil, Lucy memutuskan untuk memeriksa kamar Zavian. Saat dia memutar kenopnya, pintu ini malah tidak terbuka.

"Laz! Kamu kunciin Vian?"

Lazuar akhirnya mendekat, "Iya," Lantas, dia membuka kunci kamar itu, "Biar dia ngerti apa salahnya."

"Laz! Tega kamu! Terus, Vian belom makan?"

Lazuar hanya mendengus remeh, tapi Lucy berharap Zavian tidak pingsan. Begitu dia masuk ke sana, seisi kamar ternyata gelap gulita, tirai pun tertutup rapat, ceceran lego ada di lantai, juga ada buku dan novel yang halamannya sengaja dibuka asal. Ternyata, Zavian masih meringkuk di atas ranjang, kali ini dia pura-pura tidur saat Lucy semakin mendekat padanya.

"Vian. Vian pasti laper, ya? Yuk, makan dulu sama Tante. Ada ayam goreng, tuh. Vian suka, kan?"

Namun, Zavian masih memunggungi Lucy, enggan membayangkan seberapa enaknya makanan itu, dia bahkan menahan liurnya sendiri hingga perutnya kembali berbunyi. Biarpun ada bujukan, Zavian tetap tidak suka cara wanita ini yang menyamai Sarona—menurutnya, seperti ingin menggantikan ibunya dan dia benci itu.

"Vian. Vian ngga boleh nahan laper, kan seharian udah ngga makan. Nanti sakit, terus ngga bisa sekolah lagi, gimana?"

Meski suara Lucy sudah melembut, Zavian tetap mengeraskan hatinya. Tapi, Lucy tidak bisa menyerah di sini, ia akhirnya berpindah ke sisi seberang demi bisa menemukan seraut wajah Zavian. Sayangnya, saat itu juga Zavian kembali membelakanginya. Lucy sempat kecewa, terlebih dengan sikap Zavian barusan menyatakan bahwa dirinya ditolak.

"Kalo disuruh makan, ya makan!"

Namun, saat ada teriakan Lazuar di ambang pintu, Zavian reflek terduduk.

"Jangan cari perhatian kamu!"

Lucy mengesah, lagi-lagi Lazuar menggagalkan aksi pendekatannya dengan Zavian.

"Kenapa, sih? Marah-marah mulu," Lucy menegur Lazuar, tapi dia memasang senyum untuk Zavian, "Yuk, Vian. Tante temenin makan."

Karena Zavian enggan mendapati amukan Lazuar lagi, ia terpaksa menurut. Ia turunkan gengsinya, ia terima ajakan Lucy.

Mimosa [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang