11; melarikan diri

879 78 11
                                    

Zavian tadinya ingin menginap di rumah Elvan, tapi Sarona selalu berpesan padanya untuk jangan pernah merepotkan orang lain selama dia bisa mengatasi masalahnya sendiri. Ketika Nire menunggu Zavian sampai melewati pagar rumahnya sana, gerimis pun mulai berjatuhan.

"Cepet masuk, Vian. Jangan ujan-ujanan," Zavian gamang sejenak, bagaimanapun dia memang tidak ingin pulang, "Aduh, ada jemuran. Ibu lupa. Ibu masuk dulu, ya, Vian."

Setelah anggukan Zavian, Nire pun tak menunggunya lagi. Ia ditinggal sendiri bersama rintik-rintik yang mulai menderas ini, kedua tangannya meraba pagar, dia tidak punya nyali sama sekali untuk menggesernya. Meskipun takut akan hujan masih mendominasi, tapi membayangkan amukan Lazuar yang akan menyambutnya jika ia putuskan untuk masuk justru lebih menakutkan.

Zavian menggeleng, dia memilih untuk tidak pulang malam ini.

Sekian detik bergelut dengan pikirannya sendiri, Zavian pun berakhir memacu langkah-langkahnya untuk berlari kecil, demi menemukan tempat berteduh di manapun itu. Namun, petir-petir mulai saling menyambar di atas sana, seketika membuatnya bergidik ngeri, ia merinding, ia menggigil, tapi dia belum memayungi dirinya sendiri.

Zavian akhirnya terhenti di komplek pertokoan yang sudah tutup.

"Dingin, Ma. Vian kedinginan."

Sekalipun, Zavian memeluk dirinya sendiri, hal itu sama sekali tak menghalau dingin yang menggerogoti sampai ke tulangnya. Ia membeku, gigi-giginya bergemeletuk, bahunya juga bergetar. Zavian merindukan pelukan ibunya. Ia masih ingat bagaimana Sarona menghandukinya, mengeringkan rambutnya, mengganti bajunya, dan membuatkannya susu hangat. Sarona selalu melakukan itu setiap ia kehujanan.

"Mama, Vian takut hujan. Vian sekarang takut hujan."

Lantas, Zavian merosot di lantai tanpa alas. Ia benamkan wajah di balik kedua sikunya sendiri, berharap hujan ini cepat reda sehingga ia tak perlu berlama-lama menguatkan diri dari ketakutannya.

"Kalau Vian hilang, Papa ngga akan nyariin Vian, kan?" bisiknya pada tiupan udara yang semakin dingin, "Kalau Vian mau nyusulin Mama, gimana caranya?"

Terakhir, Zavian tidak sadar sudah terlelap. Ia rasa percuma melawan ketakutannya terhadap hujan, tidak akan ada yang mendengar teriakan histerisnya di tempat sesepi ini, tidak akan ada yang memeluknya begitu dia merasakan sakit di ulu hatinya.

Hujan hanya akan terus mengingatkannya pada Sarona.

***

Lazuar sudah bersiap untuk tidur. Dia sudah di ranjangnya, membolak-balik badan di lahan seluas ini—yang biasa dia tempati berdua dengan Sarona, tapi sekarang terasa kosong penuh kehampaan. Ya, karena hanya dia sendiri di sini, di kamar ini.

"Biasanya, kalau dia menginap, Bu Nire pasti ngasih tau."

Lazuar enggan peduli, tapi memang dia belum mengantuk sama sekali. Entah kenapa, dia mendadak gusar setiap jarum jam bergerak ke kanan dan sekarang sudah menunjuk angka satu dini hari.

"Udahlah, besok juga pulang," Lazuar menepis isi benaknya sendiri, sekali lagi dia jajal peruntungannya untuk memejamkan mata, ternyata tetap nihil, "Kalo dia ilang, bakal makin panjang urusan," Alhasil, Lazuar terduduk sesegera itu dan dengan terpaksa menahan ketidaksopanannya, dia menelepon Nire.

Tidak ada sahutan setelah beberapa nada sambung.

"Masa ganggu istri orang cuman demi anak autis ngga tau diri," Lazuar jadi menyesal, dia kepayahan merutuki dirinya sendiri, "Uh, tapi ada El. Coba tanya El."

Kebetulan, Lazuar memang menyimpan nomor Elvan. Dia yakin Elvan pasti belum tidur, remaja-remaja normal seumurannya memang masih keranjingan main game sampai dini hari. Hal wajar itu adalah hal yang tidak bisa dilakukan Zavian karena baginya yang paling penting adalah bermain di dimensinya sendiri tanpa memedulikan orang lain.

Mimosa [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang