17; distraksi

579 61 9
                                    

Rombongan bus tiga sudah turun semua. Daru juga sudah memastikan bahwa tidak ada satupun anak kelasnya tertinggal di dalam, sehingga dia segera menyusul masuk ke pelataran candi. Ia temukan Zavian berjalan sendiri di barisan paling belakang, padahal dia selalu antusias untuk hal-hal seperti ini, jadi tidak mungkin dia tidak memilih tempat di depan sana.

"Vian," panggilan Daru seketika membuat Zavian menoleh padanya, "Kok sendirian? Udah dapet kelompoknya, kan? Sama siapa aja? Ini udah pada mencar, lho."

Zavian akhirnya memperhatikan sekitar, memang benar bahwa semua teman-temannya sudah menemukan spot masing-masing untuk tugas observasi kelompok ini, tapi demi apapun dia bukannya tidak mau bergabung dengan kelompok yang telah ditentukan.

"Vian juga ngga tau. Vian kayanya ditinggal. Jumlah anak sekelas kan ganjil, sisa satu, sisa Vian, doang."

Daru merasa sangsi, sehingga dia perlu memeriksa catatannya sebentar dan menemukan nama Zavian yang sederet dengan nama Yusril dan Hilman. Ini memang satu-satunya kelompok beranggota tiga orang, sedangkan lainnya bekerja secara berpasangan. Mungkin, sesuai pernyataan Zavian, dia memang dikecualikan.

"Vian bisa sendiri, kok. Vian bisa ngerjain tugas kelompok sama tugas individunya. Ngga papa, enakan sendiri."

Daru menggeleng, "Aturannya ngga gitu, Vian. Mm, padahal Vian kan pinter, ya. Harusnya mereka seneng kalo sekelompok sama Vian. Mumpung tugasnya ngga perlu dipresentasiin dan cuman dikumpulin, Bapak bantu cari temen, ya," Ia juga tak habis pikir dengan kelakuan remaja jaman sekarang, yang terlalu terang-terangan mengucilkan seseornag yang dianggap berbeda dengan mereka, "Kalo gitu, Bapak tanya wali kelas sebelah dulu. Siapa tau, ada yang mau masukin Vian jadi anggotanya."

Belum sempat Zavian mencegah, Daru sudah berlalu menghampiri Idwan, wali kelas IPA 2, kelas Liyas dan Callice. Kebetulan, Idwan sedang mengawasi anak-anak kelasnya yang sedang berdiskusi di rerumputan itu, jadi dia cukup senggang untuk Daru ajak mengobrol sebentar. Setelah Daru menjelaskan maksudnya, Idwan pun memandangi kelompok-kelompok yang telah terbentuk itu.

"Di sini ada yang kelompoknya mau tambahan satu anggota?"

Namun, semua murid menunduk dalam-dalam setelah tahu siapa yang dimaksud Idwan—pasti Zavian, karena kini dia berdiri di belakang Daru. Liyas menatap bergantian, antara Callice dan Zavian, dia dapati bahwa Callice ragu untuk mengangkat tangan, sedangkan Zavian masih saja bermain dengan menghentak kaki-kakinya sendiri.

"Saya, Pak!"

Liyas melebarkan matanya saat tahu Callice berakhir menawarkan diri.

"Saya sama Wari mau sekelompok sama Vian."

Bahkan, Liyas yakin Callice tak perlu menghasut Wari, karena tampaknya mereka berdua tidak keberatan. Justru, yang tidak terima adalah dirinya. Tanpa aba-aba, Callice begitu saja mengabaikan perasaannya sekarang.

"Wih, pacar lo sekarang seleranya bukan lo lagi, Yas."

Liyas spontan melempar tatapan tajam menuju Liam, yang baru saja mengatainya demikian, "Diem lo, ngga ada urusan. Tetep ngga sebanding gue sama dia."

"Yah, kan lo sama cewe lo juga lagi perang dingin, ati-ati aja."

Daru tersenyum sumringah, dia lantas meminta Zavian agar segera duduk melingkar di tempat Callice dan Wari, "Sana, Vian. Udah nemu kelompoknya, tuh. Makasih, ya, Cal. Makasih, ya, War," Begitu kedua murid perempuannya itu tersenyum, ia pun beralih pada Idwan, "Thanks, Bro. Tinggal dulu ngawasin yang lain, ya. Nitip Vian."

Anggukan Idwan mengantar kepergian Daru dari halaman yang ditempati anak-anak kelas IPA 2 ini.

"Hai, Vian."

Mimosa [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang