"Mama minta maaf."
Semula, Lucy menggenggam masing-masing tangan Sasta dan Jafar, tapi dia buru-buru melepaskan saat Jafar tampak tak nyaman, sedangkan Sasta justru siap kembali menegur kembarannya itu.
"Menurut Jafar, Mama pasti egois banget, ya? Mama pasti ngga mikirin perasaan Jafar, kan?"
Sasta menelan ludah sebelum melirik raut muka Jafar.
"Menurut Jafar, permintaan Mama buat nikah lagi ini pasti udah kaya Mama ngeduain mendiang Papa. Bener?"
Jafar berdeham, tapi dia tak bisa menyembunyikan seberapa kelimpungannya dia menghadapi Lucy, "Iya."
"Bukan kesalahan fatal juga," Sasta tiba-tiba menyahut, "Mama ngapain bujukin Jafar, sih? Dia udah gede, udah mahasiswa. Dia bukan bocah, bukan anak SD lagi. Ngga bisa semua-semua harus dingertiin dan dimaklumin buat Jafar, dianya aja yang mikirin diri sendiri, ngga pernah mikirin perasaan Mama—"
"—nyerocos mulu lo."
Lucy menghela napas saat Jafar mendorong kursinya dan mulai berdiri, ia lemparkan tatapan tak suka untuk Sasta sebelum berderap meninggalkan meja makan. Namun, Helma ternyata sudah berdiri tepat di belakang punggung Jafar, wajah keriput itu mengulas senyum berarti sehingga Jafar menurut saat dituntun untuk duduk kembali.
"Oma ngerti perasaan kamu, Far."
Sasta mengesah, sayangnya ia enggan berkomentar lagi hingga Lucy mengedip padanya, memberi isyarat agar dia jaga sikap sebentar di depan Helma.
"Lagian, aku ngga ngelarang. Silahkan, kalo mau lanjut," desis Jafar, nadanya menajam, "Ya, aku emang masih kekanakan kaya kata Sasta, tapi aku cuman ngungkapin apa yang aku rasain, kok. Emang salah?"
"Ngga, Far," Helma terus meladeni semua omongan Jafar, sampai-sampai Sasta muak sendiri, tapi Lucy sedang menunggu waktu yang tepat untuk menyambung, "Gimana kalo Jafar tinggal sama Oma aja? Biarin di rumah ini tempat keluarga baru Mama kamu tinggal."
"Mami, ngga bisa gitu, dong. Jafar kan anak aku juga. Aku ngga bisa kepisah sama Jafar. Kalo dia selalu berdua sama Sasta, ya sampe kapanpun akan begitu. Ngga ada salah satunya di sini, satunya lagi di sana," Lucy terpaksa menyerobot, "Jafar, dengerin Mama. Mama janji, dengan adanya Om Lazuar sama Vian, ngga akan ngubah keadaan apa-apa. Kita sama kaya biasanya. Mama juga ngga bakal pilih kasih, semua sama rata. Ketiganya anak Mama—"
"—Mama anggep anak autis itu anak Mama juga?"
Entah bagaimana, tapi Lucy sepertinya salah bicara.
"Ya udah, kalo lo ngga suka, lo ikut Oma aja. Mama udah ngga perlu mohon-mohon lagi ke Jafar. Biarin dia mau ngapain, tinggal di mana, tinggal sama siapa. Biarin dia urus dirinya sendiri," Sasta mendadak meninggikan suaranya, sejak tadi dia sudah menahan dan kini sudah saatnya diledakkan, "Lagian, kaya bisa aja idup tanpa Mama."
Karena ejekan Sasta barusan, Jafar jadi turut tersulut.
"Far," Namun, sebelum Jafar sempat membalas ucapan Sasta, Helma justru memanggilnya dengan intonasi rendah, "Ya udah, kita setuju dulu aja. Kita liat sampe mana Mama kamu beneran mau pegang janjinya," Seraya bilang begitu, tatapannya hanya terarah pada sepasang mata Lucy.
"Oma dukung Mama nikah sama duda yang punya anak autis itu?"
Helma mengangguk, "Sabar, ya, Far. Buat sekarang, kita turutin mau Mama kamu ini," Ada tekanan dalam tiap penggal kata di sederet kalimat barusan, mungkin hanya Lucy yang menyadarinya, "Kalo ada yang berubah di rumah ini maupun di sikap Mama kamu, Jafar bisa lapor ke Oma, ya?"
"Oma ngga bisa gini, ini namanya nyerah. Kita harus nentang."
Sasta reflek melengos saat Helma mengelus dada Jafar, memintanya berlapang hati, "Ngga, ini bukan nyerah. Percaya sama Oma, ya?" Kemudian, tatapan Helma tetap berakhir di senyum tipis Lucy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mimosa [✓]
JugendliteraturJUDUL SEBELUMNYA [SORROWFUL MISERY] Zavian tidak bisa memilih dia akan terlahir di keluarga siapa dan dalam keadaan bagaimana, tapi takdir Tuhan ternyata suka sekali bermain dengannya. Ia dibenci semua orang hanya karena dia tidak beruntung. Di usia...