44; amarah

565 37 5
                                    

Ternyata Sasta dan Jafar bisa mengurus kepulangan Zavian, sehingga setibanya Lazuar dan Lucy di kantor polisi, mereka berpapasan karena prosesnya baru saja selesai. Zavian tidak mengatakan apa-apa, sepanjang kakak-kakak tirinya berbicara dengan para Polisi, dia tetap asik memutar kincir anginnya. Kemudian sekarang, Lucy tiba-tiba saja menghambur ke pelukannya.

“Ya ampun, Vian. Ka—kamu ngga papa? Kenapa pake kabur segala?”

Zavian diam, tapi mata bulatnya menyendu begitu bertemu tatap dengan Lazuar, hingga Lucy menjauhkan diri darinya dan memegangi kedua bahunya, dia seketika merasa gagal memenuhi permintaan ayahnya. 

“Sasta, Jafar. Makasih, ya, udah ngewakilin Mama nolongin adeknya.”

Jika Sasta mengulas senyum tipis, maka Jafar hanya mendecih remeh. Begitu mereka sama-sama mengesah, Lazuar pun mengambil porsinya, “Makasih, ya, Sas, Far. Maaf lagi-lagi Vian ngerepotin kalian berdua.”

Kemudian, Sasta mengangguk, tapi Jafar melengos. Tanpa perlu menunggu lagi, Jafar mengajak Sasta untuk pergi ke mobil dan bersiap untuk kembali ke Jakarta. Namun, Lucy menyetop anak-anaknya, dia beralih dari Zavian menuju tangan-tangan si kembar yang kini ia satukan di genggamannya.

“Buat tanda terima kasih, gimana kalo kita sekalian liburan? Mumpung besok kan Minggu. Kalian ngga ada kelas, Vian juga ngga sekolah. Oh, iya,” Lucy teringat informasi dari Elvan bahwa Zavian sempat membahas Lembang dengannya, “Vian tadi mau ke Lembang, ya? Gimana kalo kita ke sana?”

Zavian mengernyit seketika—dari mana dia tau? Meski terus membatin dalam belenggu kesangsian, ia tetap menurut saat Lucy menggamit jemarinya.

“Aku capek. Kalian aja. Gue bawa mobilnya, ya, Sas.”

“Far,” rajuk Lucy, “Ayo, ikut aja. Udah lama kan kita ngga refreshing.

“Terus, Oma gimana? Ditinggal di rumah sendiri?”

Lucy tergelagap sejenak, baru memberi alasan, “Semalem doang, Far. Besok pagi kita pulang. Lagian, di rumah kan banyak orang,” Tentu yang dia maksud adalah para pelayannya. Lantas, dia melirik Lazuar demi meminta pendapatnya, “Kamu setuju, kan, Laz?”

Lazuar pun tidak membantah, apapun yang membuat Lucy bahagia dia jelas siap mengabulkannya, “Yah, selama anak-anak mau, aku juga mau. Kalo satu ngga ikut, mending ngga usah, biar adil, biar enak. Gitu aja menurut aku,” Tentu dengan sengaja dia merujuk pada Sasta dan Jafar, tentang Zavian, dia sepenuhnya tidak peduli.

“Aku sebenernya ada tugas, sih.”

“Sas,” bujuk Lucy, “Dikerjain sepulangnya aja masih keburu, kan?”

“Tapi, kalo Jafar ngga ikut, aku juga ngga ikut, Ma.”

Zavian menyimak interaksi di depannya, tapi dia tetap memusatkan atensi menuju si kincir angin—memandanginya terus menerus, memutarnya berulang kali, dan dia sama sekali tidak sadar bila kegiatan yang dia lakukan ini mengingatkan Lazuar akan masa lalu. 

Momen di mana Sarona selalu membuatkan kincir angin dari origami untuk Zavian.

“Berenti.”

Lazuar mendesis tidak tahu menuju siapa, sebab dia tidak memandang ke arah Zavian, jadi Lucy dan anak-anaknya pun seketika bingung.

“Berenti apa, Laz—”

“—berenti, saya bilang!” Lantas, Lazuar terburu memangkas jarak dan merampas kincir angin di tangan Zavian, dia juga tak segan menginjaknya; hingga remuk, hingga hancur, dan jadi berantakan seberantakan hati Zavian.

Namun, dalam memori Lazuar hanya terisi suara-suara Sarona.

“Vian suka warna apa? Mama punya banyak origami yang bisa dijadiin kincir angin, nih.

Mimosa [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang