Semua orang kalang kabut, tapi Zavian tidak tahu harus melakukan apa. Semenjak ambulance membawa Helma bersama Lucy dan Lazuar, dia jadi merasa kikuk. Tadi, dia begitu saja diajak naik mobil bersama Sasta dan Jafar, hingga mereka akhirnya menyusul ke rumah sakit sini. Lucy menangis di pelukan Lazuar sambil terduduk di ruang tunggu, sekalian menanti kabar selanjutnya sebab Helma masih ditangani di dalam IGD.
“Berarti, Papa ngga bisa nonton Vian.”
Keluhan Zavian barusan tertangkap pendengaran Jafar, sehingga dia terburu mencekal kerah jaket adik tirinya itu, “Heh! Bisa-bisanya lo ngga ngerasa bersalah udah nyeburin Oma ke kolam renang?!”
Zavian mendadak ciut, ia takut setengah mati setelah disembur amukan menggelegar Jafar, tapi orang-orang di lorong ini masih mengamatinya sedemikian rupa, “Vian ngga dorong Oma, Vian tadi bingung. Soalnya, Oma kaya susah napas, Vian ngga tau harus ngapain. Terus tiba-tiba, Oma jatuh. Vian mau nolongin, cuman Vian ngga bisa berenang—”
“—ngga usah alesan, Anjing!” Teriakan Jafar membahana, sampai-sampai Sasta perlu turun tangan untuk menjauhkannya dari Zavian. Lantas, dia tuding wajah polos di depannya ini, masih dengan amarah membuncah di ubun-ubun, “Coba kalo gue ngga aus, gue ngga bakal turun ke dapur, terus nengok ke kolam renang. Kalo ngga ada gue, lo jadi pembunuh Oma!”
Zavian terhenyak seketika, ia ingat bagaimana Lazuar selalu mengatainya sebagai pembunuh Sarona. Jelas dia tidak mau dikatai sebagai pembunuh Helma juga. Karena dia memang bukan pembunuh. Jadi, Zavian menggeleng terus menerus, matanya kembali bergerak liar, jari-jarinya tertaut satu sama lain, dan bibirnya ia basahi berulang kali. Dia tidak tahu harus mengatakan apa lagi untuk meredakan emosi Jafar.
“Udah, ah. Vian takut sama lo, Far.”
Jafar pun reflek melirik Sasta yang sedang memegangi dadanya agar tak mendekat ke Zavian lagi, “Terus, lo terima aja ini anak nyelakain Oma?!”
“Kan dia udah jelasin, ngga gitu kronologisnya.”
Jafar mendengus, “Lo percaya?”
Kini, Sasta terdiam, sampai akhirnya Lazuar bergabung di tengah mereka, dengan terpaksa meninggalkan Lucy yang sungguh masih tidak bisa mengurai pikiran kalutnya. Di suasana setegang ini, Lazuar tidak bisa tersenyum untuk Jafar maupun Sasta, jadi dia buru-buru menarik lengan Zavian, cukup kasar, agar berpindah ke sisinya.
“Maaf, ya, Sas. Maaf, ya, Far. Om minta maaf ngewakilin Vian.”
Zavian seketika mendelik, tidak terima Lazuar berkata demikian, jadi dia menyambar, “Uh, tapi Vian ngga ngapa-ngapain—”
“—diem!” Giliran Lazuar yang membentak Zavian, hingga anak itu otomatis mengkerut.
Sasta dan Jafar bergeming, lantas memilih untuk menemani Lucy yang tidak bisa menghentikan tangisannya. Tersisa Lazuar dan Zavian di sudut sini, begitu tatapan Lazuar menajam seiring dengan genggamannya yang menguat, Zavian meringis kesakitan.
“Akh. Papa, ta—tangan Vian sakit. Na—nanti ngga bisa nulis jawaban.”
Tanpa perlu berpamitan lagi, Lazuar segera menyeret Zavian agar menjauh dari jangkauan Lucy dan anak-anaknya. Tiba-tiba saja, mereka sudah di balkon, serta merta Lazuar mendorong Zavian hingga punggungnya menabrak pembatas. Terang saja Zavian spontan memekik, sebab yang dia dapati adalah tanah dari lantai duabelas gedung ini.
“Pa. De—dengerin Vian,” Zavian memohon, dia berusaha melepaskan diri dari tekanan tangan besar Lazuar yang terus mendorong dadanya. Kini, ia hanya bertahan untuk memijak di sini menggunakan kaki-kakinya saja, “Vian ngga boong. Vian bukan pembunuh. Papa ja—jangan jatuhin Vian ke ba—bawah.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Mimosa [✓]
Dla nastolatkówJUDUL SEBELUMNYA [SORROWFUL MISERY] Zavian tidak bisa memilih dia akan terlahir di keluarga siapa dan dalam keadaan bagaimana, tapi takdir Tuhan ternyata suka sekali bermain dengannya. Ia dibenci semua orang hanya karena dia tidak beruntung. Di usia...