10; terbelenggu kecaman

721 70 9
                                    

Lucy otomatis berdiri di depan Zavian dan terang-terangan menghadang serangan Lazuar, ia juga terengah, sama seperti mereka.

"Kok bisa kamu sejahat ini sama anak sendiri, sih, Laz?" Lucy memang masih tidak habis pikir, bahkan setelah Lazuar membuang wajah dan menghindari tatapannya, "Udahlah. Jangan marahin Vian terus, orang aku juga ngga kenapa-kenapa."

"Sekarang emang ngga papa," Lazuar tiba-tiba mencicit, ia sengaja melempar dengusan menuju Zavian yang bersembunyi di belakang punggung Lucy, "Tapi, dia bisa kapan aja nyelakain siapapun itu. Kaya dia nyelakain istriku—"

"—Vian mau ke kamar!"

Zavian buru-buru menyerobot dan berlari begitu saja, enyah dari pandangan Lazuar dan Lucy.

"Apa maksudmu?"

Lazuar tahu Lucy jelas penasaran, tapi dia percaya ini bukan waktu yang tepat untuk mengingat kembali bagaimana Sarona berakhir meninggalkannya untuk selamanya. Dia juga membiarkan Lucy terus mengejar, sementara dia terduduk di sofa sambil meremas rambutnya sendiri. Luka lama itu terbuka kembali, masa-masa kelam di mana dia harus menabur bunga dan mengelus nisan mendiang Sarona.

"Kamu ngga bilang kalo Vian yang bikin istrimu—"

"—emang dia yang bikin Sarona pergi, Lucy!" Lazuar tak tahan lagi, ia loloskan teriakannya, meski hujan deras di luar sana juga sigap meredamnya, "Kalo ngga demi dia, Sarona ngga akan mati sia-sia gini!"

"Kamu pasti masih syok, jadi wajar nyalahin gini—"

"—you don't even know," Lazuar berdesis, dalam setiap kata itu mengandung penekanan yang enggan dibantah, sehingga Lucy pun mundur teratur, "Vian itu bukan anak autis biasa, dia itu pembunuh!"

Lucy mengerjap, masih membeku di tempatnya berdiri, dia bukan memikirkan Lazuar, tapi dia terpusat menuju Zavian.

Jika Lazuar bisa menaruh dendam dan rasa sebenci ini, apakah hidup Zavian akan aman dan baik-baik saja?

Ia tak yakin.

"Laz," Lucy akhirnya mendekat lagi, kedua tangannya berusaha meraih tangan-tangan terkepal milik Lazuar, "Gimana kalo kita menikah aja?"

Seketika itu, Lazuar melebarkan matanya.

***

"Mama, Vian kangen Mama."

Zavian telungkup di atas ranjangnya, ia benamkan wajah di bawah bantal sekaligus terisak di sana. Namun, sepersekian detik kemudian, gedoran Lazuar di pintu kamar membuatnya berjingkat.

"Buka! Udah berani ngunci sekarang?!"

Zavian reflek terduduk, ia mengusap lelehan air matanya, lalu melangkah perlahan menuju pintu, tanpa berniat membukanya.

"Buka! Budek juga kamu sekarang?!"

Jika dia mempersilahkan Lazuar masuk, maka dia bisa berakhir mengenaskan lagi. Kakinya saja baru sembuh sebentar, mana mungkin akalnya membiarkan dia setor diri? Zavian menggeleng, mulai panik, ia mondar-mandir ke sana kemari, jemarinya saling memilin, dan tatapannya bergerak liar. Demi apapun, dia ketakutan.

BRAK! BRAK! BRAK!

Gedoran Lazuar semakin membabi buta dan Zavian justru membeku di tempatnya berdiri.

"Misi, Om!"

Namun, Zavian terkesiap saat mendengar teriakan Elvan di depan sana, dia lantas kembali menempelkan telinganya di pintu demi mendapati langkah-langkah tergopoh Lazuar yang menjauh dari kamarnya.

"Maaf ganggu, Om."

Elvan tersenyum super lebar seraya mengangsurkan sekotak risol mayo yang tampak baru selesai digoreng ini kepada Lazuar.

Mimosa [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang