12; menolak pulang

761 65 4
                                    


"El, bisa ngga kita jalan-jalan dulu?"

Seketika itu, Elvan berhenti melangkah, ia spontan berbalik menuju Zavian yang menundukkan kepalanya, baru berteriak tak serantan, "Lo tau ngga ini jam berapa, hah? Lo tau ngga udah bikin gue, Nyokap gue, sama Bokap lo ngga tidur, hah? Semua gara-gara lo dan masih bisa lo minta jalan-jalan? Udah gila!" Begitu ia terengah, Zavian akhirnya mendongak, dia tunjukkan wajah ketakutannya sekarang.

"Papa Vian ngga tidur? Papa Vian nungguin Vian pulang?"

Elvan mengesah, lagi-lagi merasa frustasi, "Iya lah! Ya masa dia ngga khawatir sama anaknya sendiri? Walopun, lo autis! Heh! Ini udah tinggal berapa langkah lagi kita sampe, ngga usah ngadi-ngadi, deh!" Kemudian, dia sengaja menyeret kasar tangan Zavian, tidak peduli bahwa cekalannya ini mungkin membekaskan lingkaran merah.

"El," Zavian memohon, ia berusaha melepaskan diri dari paksaan Elvan, tapi ternyata mereka sudah sampai di depan rumahnya, "Vian tidur di kamar El, ya? Di bawah ngga papa, El."

"Ngga!" Elvan berseru lantang, "Masuk sekarang lo! Gue ngantuk!"

Begitu Elvan mendorong Zavian ke pagar, Nire tergopoh keluar rumah, begitu pula dengan Lazuar yang turut menyusul. Elvan buru-buru mengubah ekspresinya, dia berhasil mengatur napas sebelum memasang senyum terbaik.

"Om, Vian udah aku temuin," Elvan berujar sambil melirik Zavian, "Aku tidur dulu, ya, Om."

Lazuar belum sempat mengucap terima kasih, tapi Elvan sudah lebih dulu melenggang masuk ke rumahnya. Sedangkan, Nire tidak bisa menyembunyikan rasa leganya saat mendapati Zavian di sini. Maka, tanpa ijin siapapun, Nire pun memeluk Zavian, entah mengapa, hanya dengan mendapati sosok ini, mendiang Sarona selalu mendominasi ingatannya.

"Ya ampun, Vian. Ibu kira kamu kenapa-kenapa, syukurlah kalo ngga papa," Lantas, dia menjauhkan diri, baru memegangi kedua bahu Zavian, "Lain kali, jangan kaya gini lagi, ya? Ibu panik, tau. Papa kamu juga pasti takut."

Zavian mengangguk samar, dia justru tidak ingin Nire menyuruhnya masuk ke rumah ini, dia tidak ingin ditinggal berdua saja dengan Lazuar. Namun, ternyata Nire tidak memahami maksud tersirat dari tatapan memelasnya.

"Ya udah, sana cepet tidur. Nanti ngga usah sekolah, biar samaan kaya Elvan. Ibu bikinin surat ijinnya sekalian," Nire sempat mengusap puncak kepala Zavian sebelum beralih sebentar menuju Lazuar, "Tuh, Papa Vian udah ngantuk, kasian. Vian nurut sama Papa, ya."

Zavian tergelagap sejenak saat Lazuar tiba-tiba merangkulnya, tapi ada remasan kuat di salah satu bahunya hingga ia harus meringis sepintas.

"Vian selalu nurut sama Papa, tapi—"

"—makasih, Bu, atas bantuannya yang berharga banget ini. Makasih juga buat Elvan, kalo ngga ada El mungkin Vian ngga ketemu. Besok, biar saya beliin jajanan buat ucapan terima kasih ke El, ya," Lazuar harus segera memutus kalimat Zavian sebelum Nire berpikir macam-macam, "Kalo gitu, saya sama Vian masuk dulu, maaf sekali lagi udah ngerepotin Ibu sama El."

Nire mengulas senyumnya, meski dadanya terasa sesak sebab ayah dan anak ini harus hidup berdua saja sekarang, "Ngapain Bapak sampe segitunya. Udah makasih aja cukup, Pak. Sama-sama, ya. Sampe besok, Vian," Lalu, ia memundurkan langkah sambil melambai singkat, baru menghilang di balik pagar rumahnya.

"Papa—"

"—mau ngomong apa kamu tadi?"

"Vian cuman—"

"—cuman apa? Mau ngadu? Kamu kabur gara-gara ngga mau dihukum, kan?" Lazuar terus memotong semua ucapan Zavian, jelas semakin menciutkan nyali remaja ini, "Sekarang, masuk ke kamarmu! Ngga usah keluar dan bikin malu lagi!"

Mimosa [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang