35; jendela mobil

711 83 6
                                        

Demi menemukan siapa pelaku yang berani memukul Zavian, Lucy bersikeras mengantar Zavian sendiri ke sekolah. Di sepanjang perjalanan, mereka tidak menukar banyak obrolan, hanya sekadar pertanyaan basa-basi Lucy yang dijawab sesuai fakta oleh Zavian, bahkan dengan sengaja mengesampingkan insiden penguncian semalam. Namun, Zavian sama sekali tidak merasa sakit hati terkait perlakuan tersebut, dia justru sibuk memikirkan alasan Callice menangis kemarin.

"Udah sampe, Vian."

Lucy berujar tanpa mengarahkan tatapan menuju Zavian, dia malah celingukan di antara sekian siswa-siswi yang berjubel di gerbang sana—mencari seseorang.

"Mana anak yang mukul Vian?"

Zavian diam, tapi tetap menyampirkan ransel di punggung, lalu melepas sabuk pengaman, dan terakhir memutuskan untuk bicara, "Vian ngga mau ngurusin itu lagi, jangan dibahas terus," Dia hanya enggan memperpanjang masalah, toh dia baik-baik saja sekalipun masih belum paham apa salahnya membenahi poni Callice yang ternyata dianggap fatal itu.

"Ngga bisa, Tante ngga terima," Lucy justru bersiap menuruni mobil, "Tante mau nemuin wali kelas Vian aja."

"Ngga mau!"

Lucy terhenyak seketika begitu Zavian membalasnya dengan teriakan keras.

"Vian kan udah bilang ngga mau!"

"Iya, Vian. Sori, Tante lancang," Lucy terpaksa mengalah dalam sekejap, "Udah, jangan marah-marah, ya."

Alhasil, Zavian buru-buru meninggalkan Lucy yang masih tercenung di mobil. Dia tidak menoleh ke belakang lagi, bahkan sebelumnya tak mengucap apa-apa. Karena dia paling benci didesak, dia tidak suka maunya mendapat penolakan. Bagaimanapun, Lucy memang harus maklum dan mempertebal kesabarannya untuk menghadapi anak seistimewa Zavian. Dia tidak boleh gegabah, dia dilarang sembarangan, semua tindakan membutuhkan perasaan.

"Semoga suatu saat nanti Vian mau ganti panggilan Tante jadi Mama, ya."

***

"Lo ngapain berdiri depan kelas gini? Tumben amat."

Sapaan Renja barusan hanya Elvan anggap sebagai angin lalu. Ia tetap bersandar di dinding sambil menyilangkan kaki dan melipat tangan, menunggu Zavian. Setidaknya, jika dia ada di sini, kemungkinan Liyas akan menyerang anak itu bisa menipis.

"Kemaren, Liyas mukul Vian," Akhirnya, Elvan bercerita hingga Renja kelepasan memekik begitu saja, "Alesannya? Jelas gara-gara Callice. Heran gue, udah punya cowo masih aja gatel, mana gatelnya sama Vian yang jelas-jelas ngga normal."

Renja sampai tak bisa berkedip, "Serius? Di Perpus situ Liyas berani mukul Vian?"

"Lo liat aja pipi Vian ntar. Ada bekas memarnya," Elvan mendengus, tapi tiba-tiba menegak saat Liyas ternyata datang lebih dulu dan hampir melewatinya, "Yas, sini dulu."

Liyas berdecak, demi apapun dia ingin menghindar dan segera berlalu ke kelasnya saja, tapi ternyata Renja sudah menuntunnya agar berhadapan dengan Elvan, "Apalagi? Udah kelar, kan? Insiden kemaren mau lo kasusin? Mau lo laporin ke guru-guru biar orang tua gue dipanggil juga?"

"Lo didik cewe lo bener-bener, deh," Elvan menekan, sengaja mengabaikan topik yang dibawa Liyas, "Yas, bukan salah Vian, dia itu bego ngga ngerti soal cinta-cintaan."

Karena ada nama Zavian, Liyas berakhir melengos, "Kenapa lo jadi belain Vian? Udah mulai kasian? Udah mulai prihatin? Maksud lo juga ngarah kalo Callice yang buka hati buat Vian gitu? Gue percaya cewe gue, ya, El. Jelas-jelas ini karna sikap kurang ajar anak autis itu, bisa-bisanya lo nuduh Callice—"

"—kalo Callice ngga deketin Vian mulu, Vian juga ngga bakal jadi punya perasaan, Tolol!"

Mendadak, Elvan jadi emosi sampai-sampai Renja harus menahan amukannya, lantas mereka semua merasa sangsi dengan seruan itu hingga Liyas memicing penuh tuntutan.

Mimosa [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang